“EA Sports, it’s in the game!” Siapa yang tak kenal dengan jargon ikonik ini? Selama puluhan tahun, FIFA bersama EA Sports adalah raksasa yang bersatu mendobrak pasar gim sepak bola internasional. Namun, kini keduanya sedang berperang. Tak sekadar jadi penonton, Konami menyambut perang ini dengan kompetitor anyar bertajuk United Football League (UFL).
Sudah genap dua tahun sejak EA dan FIFA mengumumkan perceraian usai bekerja sama setelah 30 tahun. Ya, Anda tidak salah dengar. Sudah 30 tahun lamanya EA menggunakan nama FIFA pada sampul depan gim sepak bola mereka.
Hubungan EA dan FIFA bermula pada tahun 1993 silam. Kala itu, Amerika Serikat akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994. EA, yang bermarkas di California, Amerika Serikat, terpikir untuk memanfaatkan euforia demi membangun properti intelektual baru. Tentu produk yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah gim simulasi sepak bola.
Untuk memperbesar peluang keberhasilan atas rencana itu, EA mengambil langkah cukup nekat. Mereka menghubungi federasi sepak bola internasional alias FIFA untuk kerja sama. Hubungan keduanya pun saling menguntungkan.
Nama besar FIFA diyakini akan mendongkrak merek gim. Sementara FIFA mendapat cuan besar dari persenan penjualan gim. Selama tiga dekade, FIFA mendapat uang senilai 150 juta Dollar AS atau sekitar Rp2 triliun dari setiap edisi gim sepak bola yang dirilis.
Persahabatan keduanya pun dimulai dengan gim bertajuk FIFA International Soccer yang dirilis pada akhir Desember 1993. Kehadirannya langsung menggebrak pasar video gim. Sebab, dalam gim sepak bola tersebut EA tidak menggunakan pakem grafis 16 bit yang tengah populer kala itu.
EA berinovasi dengan teknologi isometrik yang lebih canggih. Gim sepak bola perdana mereka pun rilis di konsol SNES (Super Nintendo Entertainment System) dan SEGA Megadrive.
Namun, pada mulanya para pemain tidak bisa menggunakan klub, melainkan hanya tim nasional saja. Pemain yang digunakan pun hanya karakter fiktif. Baru pada 1995, EA merilis FIFA 95. Di gim ini para gamer sudah bisa memainkan klub-klub kesayangan mereka.
Premier League, Bundesliga, La Liga, Ligue 1, Serie A, Eredivisie dan Major League Soccer (MLS) adalah tujuh kompetisi yang dihadirkan pada FIFA 95. EA juga memperkenalkan teknologi Virtual Stadium yang menampikan stadion akan terlihat di layar saat permainan dimulai.
FIFA 98 menjadi salah satu edisi paling ikonik. Edisi ini menjadi unik karena menghadirkan timnas Indonesia yang dihuni Nur Alim, Bima Sakti, Ansyari Lubis hingga Kurniawan Dwi Yulianto. Namun entah kurang riset atau bagaimana, posisi para punggawa Tim Merah Putih pada gim FIFA 98 tidak tepat.
Gim FIFA pun menjelma raksasa. Lisensi kompetisi menjadi melimpah. Mereka juga bekerja sama dengan FIFPro untuk memakai lisensi pemain. Stadion, jersey dan pergerakan pemain dibuat serealistis mungkin.
Inovasi demi inovasi diperkenalkan, mulai dari gerakan freestyle pemain, AI yang lebih cerdas, tim putri, sepak bola jalanan bertajuk Volta Football, hingga teknologi Hypermotion yang memungkinkan pemain di gim FIFA memiliki pergerakan pemain di dunia nyata.
Pecah perang di atas meja
Tak puas sampai di situ, EA dengan cerdiknya mengeruk dompet para gamer dengan merilis mode multiplayer bertajuk FIFA Ultimate Team (FUT). Pertama kali dirilis pada FIFA 09, FUT memungkinkan para gamer untuk bersaing satu sama lain lewat mikrotransaksi.
Maksudnya, untuk bersaing satu sama lain, seorang gamer tentu membutuhkan para pemain berkualitas di tim yang mereka bentuk. Untuk mendapat pemain berlabel bintang, gamer diharuskan membeli kartu pemain dengan sistem gatcha.
Dikutip pada laman resmi EA, pada 2014 saja, FUT berhasil membuat 21 juta gamer kecanduan. Pundi-pundi duit pun mengalir. Kemudian pada tahun 2021, EA meraup 1,62 miliar Dollar AS atau Rp26 triliun hanya dari FUT.
Nominal keuntungan yang diperoleh EA membuat FIFA meriang. FIFA, yang memang terkenal korup dan mata duitan, mencoba mengambil celah. Jelang 2022, FIFA meminta EA untuk mengubah perjanjian.
Dari yang semula 150 juta Dollar AS per tahun, FIFA kemudian meminta kenaikan menjadi Rp250 juta Dollar AS atau Rp4 triliun untuk lisensi nama di judul gim. Pada awalnya, FIFA menilai nominal segitu tidak apa-apanya bagi EA yang kini sudah menjadi raksasa.
Namun, rupanya EA tidak menyambut baik persyaratan FIFA tersebut. EA menilai FIFA terlalu banyak mengatur dan juga tamak. EA justru menilai gim sepak bola mereka bisa berjalan tanpa ada nama FIFA di sampul depan. Mei 2022, EA dan FIFA pun mengumumkan perceraian.
Gim sepak bola pertama milik EA tanpa ada nama FIFA pun diluncurkan pada 2023. Gim bertajuk EA FC 24 nyatanya tetap bisa berjalan dan menghadirkan pundi cuan tanpa campur tangan FIFA.
Publik meyakini FIFA gigit jari, merugi miliaran dolar akibat putusnya kerja sama tersebut. Namun, FIFA rupanya tak patah arang. Pada Kongres FIFA di Bangkok, Presiden Gianni Infantino mengumumkan akan menggandeng mitra lain untuk memproduksi gim sepak bola anyar.
“Kami akan mengembangkan e-game baru. Saat mereka bermain gim simulasi sepak bola, mereka bermain FIFA. Tidak bisa disebut dengan nama lain,” ujar Infantino sembari menyindir EA, dikutip FUT Mentor.
“Kami sedang mengembangkan dengan mitra baru, sebuah gim baru, yang tentunya, seperti semua yang kami lakukan, akan menjadi yang terbaik. Jadi, bersiaplah untuk e-game FIFA yang baru,” tukasnya.
Studio yang juga bermarkas di California, Amerika Serikat bernama 2K Games kabarnya menjadi mitra baru yang dimaksud Infantino. Selama ini, 2K Games terkenal memproduksi gim-gim simulasi olahraga lain seperti NBA (basket) dan WWE (gulat).
FIFA dan 2K siap memukul balik EA lewat babak baru perang lisensi. Dikutip FUTZone, FIFA 2K kabarnya akan memiliki lebih dari 35 lisensi kompetisi dengan lebih dari 800 tim.
Konami tak sekadar jadi penonton
Jauh sebelum FIFA, Konami adalah pihak yang pertama kali dibuat gigit jari akibat kecerdikan EA. Dalam perjalanannya, EA mendapat persaingan sengit dari Konami yang memiliki gim sepak bola bertajuk Winning Eleven (WE).
Raksasa asal Jepang tersebut membangun kerajaan di pasar Asia lewat grafis yang tak kalah realistis. Indonesia termasuk negara yang terpengaruh. Ya, pria mana yang masa kecilnya tidak diwarnai dengan keseruan WE di rental Playstation (PS)?
Tendangan bebas Roberto Carlos, wasit Kazuki Ito, umpan 1-2 yang dianggap curang hingga kalimat ikonik komentator Jepang mewarnai rental PS selama dekade 2000-an. Kesuksesan Konami mencapai puncaknya ketika perilisan Pro Evolution Soccer (PES) 2013 menuai sukses besar.
Namun, rupanya WE buatan Konami hanya kuat di pasar Asia saja. PES rupanya kalah populer ketimbang FIFA di pasar Amerika dan Eropa. Orang kulit putih lebih menyukai permainan yang lebih arcade, sedangkan Konami lebih mengedepankan kualitas grafis.
Soal lisensi, Konami juga kalah telak dari FIFA. Konami nampak kesulitan melengkapi perpustakaan lisensi mereka. Nama-nama klub di PES pun disamarkan akibat miskin lisensi. Contohnya seperti Manchester United menjadi Man Red, atau Chelsea menjadi London Blue.
PES 2013, yang diyakini sebagai gim sepak bola terbaik, juga masih kalah jauh dari FIFA 13 dalam segi penjualan. Dikutip VG Chartz, penjualan PES 2013 hanya berkisar di angka 2,45 juta kopi, sedangkan FIFA 13 terjual 15 juta kopi. Tampak perbedaan yang sangat timpang. Selama bertahun-tahun, Konami selalu dipaksa mengakui keunggulan EA.
Konami kemudian membuat kolam sendiri. Pada tahun 2021, Konami membuat terobosan untuk mengubah sistem gim mereka menjadi multiplayer free-to-play alias gratis. Gim ini juga dibuat dengan sistem cross-platform. Artinya, pengguna konsol bisa bermain melawan pengguna mobile.
Namun di awal peluncurannya, gim sepak bola free-to-play bertajuk eFootball menuai kritikan tajam. Ekspansi Konami untuk menjangkau pasar gim mobile masih belum matang. Gim eFootball dianggap miskin fitur. Mekanisme tombol untuk pergerakan pemain juga dibuat seadanya.
Barulah pada 2023, eFootball mulai bangkit dari kubur. Fitur dan lisensi eFootball memang tidak sekaya FIFA. Namun, Konami berbenah dengan menghadirkan update-update terbaru perihal pergerakan pemain.
Sensasi dribbling dibuat lebih akurat, teknik tendangan bebas, teknik tembakan hingga grafis ditingkatkan. AI juga dibuat lebih cerdas. Hasilnya, pada 2024, Konami mengumumkan kenaikan pendapatan menjadi 250 miliar Yen atau Rp25 triliun. Konami juga mengumumkan eFootball telah diunduh lebih dari 750 juta pengguna.
Hadirnya eFootball juga membuat para gamer tidak perlu repot-repot upgrade komputer atau membeli konsol PS5 yang harganya masih relatif tidak terjangkau. Hanya bermodalkan telepon pintar, para gamer sudah bisa bersaing satu sama lain di lapangan hijau virtual.
Lalu muncul studio asal Siprus bernama Strikerz. Inc. Mereka menghebohkan jagat maya dengan mengumumkan akan merilis gim sepak bola baru tandingan EA FC dan eFootball pada 2022 silam.
Gim bertajuk UFL, yang juga menganut sistem free-to-play pun dikembangkan dan siap meramaikan persaingan simulasi gim simulasi sepak bola. Tak tanggung-tanggung, Strikerz. Inc menggaet pemain-pemain berlabel bintang seperti Kevin De Bruyne, Roberto Firmino, Romelu Lukaku hingga Cristiano Ronaldo untuk menjadi ambassador.
Dua tahun dikembangkan, Striker Inc membuka open beta bagi para gamer yang ingin mencicipi UFL di konsol PS5 dan Xbos Series X. Open beta pun tersedia mulai 7 hingga 9 Juni 2024. Dengan begini, Konami akan menghadapi perangnya sendiri usai terlepas dari jerat EA.