
Viktor Axelsen merupakan atlet bulu tangkis nomor satu dunia di sektor tunggal putra yang sulit dikalahkan.
Meski dalam kurun waktu enam bulan belakangan agak menurun, Viktor Axelsen tetap menjadi salah satu sosok yang diincar untuk dikalahkan. Apakah dengan berlatih memanfaatkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bisa membuat seseorang menundukkan Axelsen?
Pebulu tangkis tunggal putra asal Denmark itu masih bercokol di puncak ranking BWF dan terakhir unjuk gigi dengan menjuarai ajang Malaysia Masters 2024 pada 21-26 Mei lalu. Tak mudah mengalahkan atlet berusia 32 tahun tersebut. Anthony Sinisuka Ginting membuktikan Axelsen bisa dikalahkan pada All England 2024 lalu, namun dengan upaya yang luar biasa.
Melihat duel atlet badminton terlihat sepele, hanya memukul kok. Tak jarang netizen bergumam, “Ah cuma smes aja nyangkut,” atau, “Pukulan lawannya enggak kencang, kok ga bisa dikembaliin?” dan sederet kata-kata lain yang bernada merendahkan.Namun, cobalah sendiri untuk membuktikan apakah bulu tangkis semudah itu.
Ada perjuangan ekstra di balik performa atlet bulu tangkis. Kemauan, tekad kuat, semangat pantang menyerah, dan tentunya latihan. Pada zaman sekarang, latihan bisa ditunjang dengan AI.
Sebuah penelitian dari Gwangju Institute of Science and Technology (GIST) yang dirilis pada 5 April 2024 menguak fungsi AI untuk menjadi “asisten pelatih” dengan cara mengumpulkan data gerakan atlet.

Atlet-atlet bulu tangkis mengandalkan beragam variasi pukulan untu merintis sukses.
Pengumpulan data atlet itu akan menjadi masukan dalam latihan dan dapat dijadikan acuan untuk membuat program untuk membenahi kekurangan atau mendukung kekuatan.
Seperti diketahui, performa atlet dalam olahraga badminton sangat bergantung pada pukulan yang benar sehingga analisis berbasis sensor akan bermanfaat.
Data bisa ditarik dengan memanfaatkan kamera, sensor yang dikenakan oleh atlet di mata, lengan, pinggang, paha, dan telapak kaki. Data-data tersebut bisa menghasilkan feedback secara real time atau waktu nyata. Sistem tersebut bisa melacak segala hal, seperti pola pergerakan sendi, tekanan kaki, level penggunaan otot, hingga gerakan mata.
Studi soal penggunaan AI dalam latihan badminton sudah dilakukan GIST dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Penelitian penerapan AI dalam olahraga tepok bulu terinspirasi oleh proyek MIT yang mendata kegiatan pekerjaan rumah sehari-hari seperti mengupas buah, memotong sayur, dan membuka botol.
Dari situ, peneliti GIST dan MIT berkolaborasi mengembangkan kumpulan data MultiSenseBadminton yang menangkap gerakan dan respons fisiologis pemain badminton. Peneliti kemudian mengumpulkan data dari puluhan pemain badminton.

Kumpulan data mengenai atlet profesional diakui peneliti lebih banyak ketimbang data pemula.
Dengan lebih dari 7.763 ayunan bulutangkis yang dianalisis, penilaian kualitas pukulan menawarkan wawasan berharga. Guna mendapat masukan dari sisi teknis permainan, pelatih profesional pun dilibatkan untuk mempertajam data yang masuk.
“Kumpulan data MultiSenseBadminton dapat digunakan untuk membangun sistem pendidikan dan pelatihan berbasis AI bagi para pelaku olahraga raket. Dengan menganalisis perbedaan dalam data gerak dan sensor di antara berbagai level pemain dan menciptakan aksi yang dihasilkan AI, kumpulan data tersebut dapat diterapkan pada personalisasi panduan gerak untuk setiap pemain,” ujar Min Woo Seong, kandidat Ph.D dari GIST.
Setelah data dikumpulkan dan mendapat panduan dari pelatih, para pemain bisa meningkatkan gerakan atau menyempurnakan teknik pukulan dengan menggunakan getaran sensor atau stimulasi otot listrik.
Disebutkan pula pemain bisa mengakses masukan data dari AI kapan saja dan di mana saja. Sistem ini juga dinyatakan bisa digunakan oleh atlet-atlet di semua tingkatan, tidak hanya level profesional saja.
Bahkan, level pemula juga bisa mendapatkan arahan dari sensor getar atau stimulasi otot listrik guna membiasakan diri dengan gerakan dasar badminton seperti ayunan pukulan atau kontrol kekuatan yang tepat. Akses yang inklusif terhadap layanan pelatihan berbasis AI ini membuat orang-orang bisa mendapatkan saran penting terlepas kendala geografis atau batasan lain.

Dengan akses yang mudah dijangkau, pola pelatihan dengan AI diharapkan bisa menjangkau masyarakat umum.
Untuk saat ini masih terdapat kendala berupa kekuarangan data individu untuk non-profesional. Kebanyakan data yang masuk adalah pertandingan antaratlet top yang sangat berbeda dengan kebutuhan atlet pemula.
Dalam jangka panjang, para peneliti mengklaim kumpulan data tersebut bisa membuat program pelatihan olahraga lebih mudah diakses dan terjangkau oleh khalayak yang lebih luas, meningkatkan dan mendorong populasi yang lebih sehat.