Di bawah sinar matahari petang di Pancoran, Jakarta Selatan, anak-anak itu terus bekerja keras merajut mimpi menjadi pemain profesional. Di atas lapangan, terdapat sosok tak asing yang membagikan ilmu sepak bola dengan cuma-cuma kepada murid-muridnya. Sosok itu adalah sang legenda timnas Indonesia, Gendut Doni Christiawan yang kini mendedikasikan diri kepada SSB Binna Banua.
Gendut Doni, yang di masa pensiunnya sempat menjadi asisten pelatih di Bhayangkara Presisi Indonesia FC, ditunjuk sebagai pelatih kepala di SSB tersebut. Sosok ini terus bersahaja di tengah hiruk pikuk perdebatan perihal naturalisasi dan pembinaan usia dini di lini masa.
Di kancah sepak bola nasional, siapa pun tentu mengenal Gendut Doni. Jebolan Diklat Salatiga ini pernah bertengger dalam daftar penyerang paling ditakuti di Liga Indonesia. Di masa jayanya, Gendut Doni bersanding dengan nama-nama legendaris seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Putiray, Seto Nurdiantoro hingga Bambang Pamungkas.
Pada Piala AFF 2000, yang dulu bernama Piala Tiger, Gendut Doni bahkan berhasil keluar sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan lima gol. Di usianya yang kini menginjak 45 tahun, dia pun mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pembinaan usia dini.
SSB Binna Banua adalah akademi yang terafiliasi langsung dengan klub Liga 3 zona Kalimantan Selatan, yakni PS Bina Benua. Kepada Ludus.id, Gendut Doni menceritakan banyak hal mengenai bagaimana SSB ini bisa terbentuk.
“Terbentuknya Binna Banua di tahun 2020 di Banjarmasin. Kebetulan waktu itu mengikuti suatu turnamen dan kita bisa jadi juara di sana,” ujar Gendut Doni di Lapangan Aldiron, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
“Kebetulan beliau, bapak Donny Gunadi, berdomisili di Jakarta dan di tahun 2024 membuka semacam akademi,” sambungnya
“Khusus yang di Banjarmasin kan kami ikuti Liga 3 di sana. Kami ikut kompetisi Liga 3 Kalsel. Untuk saat ini, yang grassroot kita fokuskan di Jakarta. Mudah-mudahan ke depan kita akan mengembangkan dan ubah juga yang di Banjarmasin,” lanjut Gendut Doni.
Dijelaskan Gendut Doni, SSB Binna Banua terbentuk dari keresahan sang pemilik yang melihat banyak anak kekurangan jam terbang di kompetisi junior. Tak sedikit pula orang tua yang terkendala biaya ketika hendak mendaftarkan buah hatinya ke SSB atau akademi.
SSB Binna Banua hadir untuk mewadahi mimpi anak-anak yang kelak menjadi penerus di klub profesional atau bahkan timnas Indonesia. Saat ini, total SSB Binna Banua menaungi sebanyak 95 anak se-Jabodetabek.
Mereka terbagi ke dalam lima kelompok usia dalam rentang sembilan hingga 13 tahun. Gendut Doni menerapkan sistem promosi dan degradasi dalam pembentukan tim untuk didaftarkan ke kompetisi.
Perihal kompetisi, anak-anak di SSB Binna Banua kini bersaing ketat di Top Youth Premier League, salah satu turnamen usia dini paling bergengsi di Jabodetabek. Turnamen yang diprakarsai pengamat sepak bola, Yusuf Kurniawan ini rutin diadakan di ASIOP Training Ground (ATG) Sentul, Kabupaten Bogor setiap akhir pekan.
“Kami libatkan semua. Tim inti semua, kita daftarkan semua. Di (usia) 11 (tahun) itu ada 20 sampai 30 pemain yang kita daftarkan, karena kami di sini perlakukan sistem promosi-degradasi,” ucap Gendut Doni.
“Kalau ada yang kurang perform, kami turunkan, yang di bawah performanya naik, kami naikkan. Kami ciptakan persaingan secara sehat, ‘Kalau kamu bagus, di kompetisi nanti, kamu akan terpilih’” paparnya.
Selain Top Youth Premier League, SSB Binna Benua juga mengikuti sejumlah kompetisi lain, seperti Indonesia Junior League (IJL) dan beberapa festival sepak bola di Jabodetabek. Bahkan, SSB Binna Banua sempat menggondol prestasi kala mengikuti festival sepak bola usia dini di Bekasi, Jawa Barat pada Juli 2024.
Salah satu kelebihan SSB Binna Banua adalah pemberian beasiswa kepada siswa. Mereka yang mendapat beasiswa adalah yang memiliki kualitas di atas rata-rata berdasarkan penilaian dari pelatih di setiap kategori usia.
Setiap siswa kelas reguler harus membayar iuran bulanan sebesar Rp300 ribu dan uang jersey Rp300 ribu. Sehingga, total di awal siswa dikenakan biaya Rp600 ribu. Namun, sebelum masuk, peminat diizinkan untuk melakukan dua kali free trial atau uji coba secara gratis.
Didikan khas pemain profesional
Seluruh siswa di SSB Binna Banua masih duduk di bangku sekolah dasar. Para generasi penerus ini mengorbankan banyak hal, salah satunya perihal makanan. Tentu bukan rahasia lagi bahwa mayoritas jajanan SD merupakan makanan tidak sehat.
Para pemain cilik di SSB ini terus diingatkan untuk selektif memilih makanan. Berbagai jajanan SD nan ikonik seperti telur gulung, cilor, mi instan dan berbagai macam gorengan menjadi pantangan bagi mereka.
Sebagaimana Gendut Doni, para pelatih di SSB Binna Banua lainnya sudah mengantongi lisensi kepelatihan PSSI. Karena itu, tim pelatih bisa langsung mengetahui jika ada salah satu siswa yang mengonsumsi makanan tidak sehat lewat performa dan kondisi fisik di lapangan.
Syarifudin Anwar (35), selaku orang tua murid, turut melarang putranya, Ahmad Fatihul Anwar (11) untuk makan sembarangan. Pria asal Tangerang ini lantas menjelaskan strateginya untuk mengontrol atas apa yang dikonsumsi buah hati.
“Kalau junk food gitu sih saya melarang. Tapi kalau mi instan, ini yang agak susah. Makanya, kalau anak saya makan mi, itu bumbunya gak kita pakai. Kita masak bumbunya sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Syarifudin juga menjelaskan tim pelatih kerap memberi tugas mandiri kepada siswanya untuk menjaga kondisi fisik di rumah. Para siswa akan ditugaskan berlatih skipping dan aktivitas fisik lain dengan porsi dan waktu yang ditentukan.
Tidak hanya soal fisik dan teknik, SSB Binna Banua juga mengajarkan perihal kepribadian di luar lapangan, khususnya soal agama. Siswa yang beragama muslim diwajibkan menunaikan sholat maghrib berjamaah di masjid setiap selesai latihan.
“Makanya, saya amat senang dan bangga bisa mengikutkan anak saya di SSB ini,” ujar pria yang akrab disapa Dinwar tersebut.
Sementara itu, Gendut Doni menyebut SSB Binna Banua menekankan tiga aspek kepada anak didiknya. Dari tiga aspek tersebut, sikap atau perilaku adalah salah satu yang ditekankan kepada para siswa.
“‘Ya kamu jangan menyerah, ayo, kalau mau jadi pemain besar, kalau mau main di liga atau tim nasional, ya kamu harus memenuhi tiga kunci sukses pesepak bola: respek, attitude yang bagus dan disiplin’. Itu kunci utama yang saya tekankan di akademi saya,” ujarnya.
Dalam hal kurikulum, Gendut Doni banyak mengadopsi bahan ajar dari Filanesia yang sudah digaungkan PSSI sejak beberapa tahun silam. Dia juga terus memodifikasi metode dan pelatihan mengenai taktik sesuai perkembangan sepak bola modern.
“Filosofi sepak bola kita itu kita tetap mengadopsi di situ, kita juga mengombinasikan dengan perkembangan sepak bola sekarang,” ujarnya.
Di masa mendatang, SSB Binna Banua berencana membuka kelompok usia 14 tahun, untuk kemudian dipromosikan kepada tim-tim Elite Pro Academy (EPA) yang berminat. Gendut Doni akan menggunakan jejaringnya di berbagai klub tanah air jika ada pemain berprestasi yang layak bergabung ke tim EPA.
“Jujur itu kita udah buka link ke sana (EPA). Beberapa teman juga terlibat di Elite Pro di Liga Indonesia, tapi karena kita paling besar baru di usia 13, itu kan belum ada,” ucap Gendut Doni.
“Ke depan kita akan buka juga yang usia 14 dan 15 harapannya akan menjadi supplier ke tim-tim EPA di Indonesia,” ujarnya.
Pantang hapus mimpi di tengah marak naturalisasi
Gendut Doni juga sempat berbincang mengenai kebijakan naturalisasi pemain keturunan di timnas Indonesia dan kaitannya dengan mimpi bibit-bibit muda di SSB Binna Banua. Beberapa pihak menentang naturalisasi yang gencar dilakukan PSSI, sebab langkah tersebut terbilang instan dan mengesampingkan aspek jangka panjang.
Untuk itu, Gendut Doni senantiasa memotivasi para siswa untuk tidak gentar bersaing dengan para pemain keturunan yang tumbuh besar di Eropa. Dia tak ingin anak-anak didiknya mengurungkan cita-cita berseragam Merah Putih hanya karena takut bersaing dengan pemain diaspora.
“Ini yang jadi catatan besar di kita ya, terlebih di grassroot. Saya sih berharap mimpi adik-adik ini gak tertutup dan berharap mimpi adik-adik menjadi kenyataan. Karena melihat di timnas sekarang banyak pemain naturalisasi. Saya gak henti-hentinya memotivasi adik-adik yang ada di grassroot,” jelas Gendut Doni.
“Tentunya siapa yang gak ingin bermain di timnas? Siapa yang mau gantiin om di timnas? Saya juga sempat memotivasi beberapa pemain terlebih di akademi saya. Dan lagi, di usia grassroot seperti ini, kalau kita tidak memotivasi terus menerus, mimpi adik-adik bakal ini (buyar) juga,” ujarnya.
Sementara itu, Syarifudin sendiri menganggap kebijakan naturalisasi pemain keturunan tidak menghambat mimpi sang buah hati untuk kelak membela timnas Indonesia. Justru menurut dia, sang anak lebih terpacu untuk lebih berlatih keras agar mampu menggeser para pemain keturunan di skuad Garuda.
“Kalau dari anak sendiri, justru kata dia ada daya saing sendiri, ‘gue harus lebih bagus dari dia (pemain keturunan)’. Kalau saya sih setuju-setuju aja dengan naturalisasi. Saya malah bangga,” ucap Syarifudin.
“Rezeki tidak ada yang tahu. Kita sih lanjut terus (menyekolahkan anak di SSB),” tutupnya.