Claudio Ranieri, Putra Roma Pencipta Dongeng di Leicester City

Kredit foto: Instagram @cagliaricalcio
Ranieri-Cla-3: Para pemain Cagliari menggendong Claudio Ranieri usai membawa “Gli Isolani” lolos dari degradasi ke Serie B.

Kota Roma bukan saja perihal AS Roma, Giuseppe Giannini, ataupun Francesco Totti, tetapi Roma juga punya Claudio Ranieri. Nama terakhir memang tidak memberikan prestasi apa-apa bagi AS Roma, tetapi ia menjadi perwujudan orang-orang Roma di kancah sepak bola.

Ranieri mengabarkan pensiun usai kemenangan 2-0 Cagliari atas Sassuolo pada Minggu (19/5). Berkat kemenangan itu, Cagliari dipastikan lolos dari jerat degradasi.

Maka, ketika menjalani laga terakhirnya sebagai pelatih, saat Cagliari kalah 2-3 dari Fiorentina pada pekan terakhir Serie A, Sabtu (25/5), Ranieri sudah merasa lega. Cagliari finis di posisi ke-16 dan aman.

Banyak kisah yang dijalani pelatih berusia 72 tahun ini terkait sepak bola dan Kota Roma. Namun, sebelum itu, mari mundur ke musim 2015-2016, ketika Leicester City memberikan jabatan manajer kepada Ranieri. Saat itu, Ranieri dikenal sebagai pelatih yang mampu memberikan trofi kepada tim-tim ‘papan tengah’, seperti Valencia ataupun AS Monaco.

Anak-anak 1990-an pasti mengenal kiprah Ranieri bersama Valencia. El Che yang punya materi wahid kala itu, dibesut oleh Ranieri. Pemain-pemain seperti David Albelda, Claudio Lopez, Santiago Canizarez, ataupun Gaizka Mendieta diracik oleh Ranieri dan hasilnya adalah juara Copa del Rey 1998-1999.

Ketangguhan Ranier meramu taktik di Valencia juga berbuah UEFA Super Cup 2004. Ruben Baraja dan Marco Di Vaio menjadi pahlawan kemenangan Mestalla Boys atas FC Porto. Nama Di Vaio menjadi perhatian karena ikatan darah Roma dengan Ranieri. Bedanya, Ranieri dibentuk di AS Roma sedangkan Di Vaio dari Lazio.

Tangan dingin Ranieri juga dirasakan oleh AS Monaco. Klub Ligue 1 Prancis itu berhasil ia bawa menjuarai kompetisi tersebut dengan mengandalkan Ibrahima Toure dan Valiere Germain sebagai juru gedor.

Atas dasar prestasi itulah, Ranieri diboyong Leicester City pada awal musim 2015-2016. Saat itu The Foxes berstatus sebagai tim promosi Premier League. Orang 1990-an mungkin mengenal Leicester dengan pemain-pemain seperti Muzzy Izzet ataupun Robbie Savage, tapi tahun itu, siapa yang mengenal Leicester? Klub tersebut menjadi ‘barang baru’ bagi generasi era itu.

Namun, siapa sangka Ranieri mampu menyulap Leicester menjadi klub pesaing papan atas yang diisi itu-itu saja, seperti Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, atau Tottenham Hotspur.

Kredit foto: lcfc.com
Claudio Ranieri mencium trofi Premier League usai membawa Leicester City juara Premier League musim 2015-2016.

Klub yang bermarkas di King Powell Stadium mampu ‘menyeruduk’ ke puncak klasemen dan bisa unggul 10 poin atas Arsenal di peringkat kedua, yang membuat mereka berhasil menjuarai Premier League untuk pertama kalinya. Otak jenius Ranieri menangani tim semenjana benar-benar terbukti kala itu.

“Saya memiliki banyak gairah dan menyampaikan keinginan itu kepada pemain saya di Leicester. Saya memiliki kunci untuk membuka pikiran mereka. Penting bagi Anda menunjukkan kepada pemain betapa Anda mencintai permainan ini,” kata Ranieri dari situs FIFA.com, perihal rahasia dapurnya membawa Leicester juara di Inggris.

Sayangnya, ‘magic’ Ranieri di Leicester seakan tertutup di musim berikutnya. Juara baru itu mulai kesulitan mempertahankan performa di Premier League dan Liga Champions. Jamie Vardy dkk seakan baru menemukan pengalaman baru bertanding dengan status juara.

Hasilnya, Ranieri dipecat di tengah jalan atau setelah sembilan bulan membawa Leicester meraih gelar juara Premier League. Sebagian besar pemain pun menyayangkan ‘The Romans’ harus pergi meninggalkan mereka yang sudah diberi trofi prestisius pada musim sebelumnya.

Penghargaan dari Kota Roma

Para pengamat sepak bola tidak percaya bagaimana Leicester memperlakukan Ranieri selepas dikasih juara Premier League. Klub yang sohor dengan warna biru itu seolah menjadi klub besar yang seenaknya memecat manajer jika hasilnya tidak sesuai.

Publik menilai The Foxes lupa siapa yang mengangkat derajat klub itu di Premier League. Hasil buruk di musim selanjutnya juga dianggap tidak seharusnya jadi penilaian dan stimulus pemecatan Ranieri.

Tidak terima melihat “Anak Roma” disakiti Leicester, pemerintah Kota Roma memberikan penghiburan berupa penghargaan kepada Ranieri. Kota Roma sadar Ranieri merupakan salah satu sosok pahlawan bagi kota mereka dan juga Italia.

Kredit foto: asroma.com
Claudio Ranieri (nomor 2) ketika menjadi pemain di AS Roma, klub kota kelahirannya, pada musim kompetisi 1973-1974.

Ranieri pernah bermain dan menjadi pelatih di AS Roma. Meski tak menorehkan prestasi besar, kota kelahirannya itu memberikan apresiasi besar sebagai “Putra Roma” yang membuat sejarah besar di klub luar Italia.

“Ranieri adalah seorang Roman yang lahir dan dibesarkan San Saba dan Testaccio. Dia menuliskan sejarah tim yang mendapatkan kebanggan bagi Inggris, Italia, dan Romawi,” kata Daniele Frongia, Kepala Komisi Olahraga, saat itu seperti dikutip Football-Italia.

Musim 2022-2023, Leicester degradasi ke divisi Championship. Mereka finis di peringkat ke-18 dengan koleksi 34 poin dari 38 pertandingan. Petaka yang sebelumnya mungkin tak dibayangkan orang-orang di Leicester.

Melihat klub yang ia bawa juara itu harus turun kasta, Ranieri jelas sedih. Bagi dirinya, Leicester sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karier kepelatihannya.

“Saya memiliki kesedihan untuk para fan Leicester yang luar biasa. Sepak bola membawa impian dan juga mimpi buruk,” kata Ranieri dikutip dari Football-Italia.

Terbaru, Ranieri menyelamatkan Cagliari selamat dari degradasi ke Serie B. Ia membawa Isolani (julukan Cagliari yang berarti Penghuni Pulau) finis di posisi 16 dengan koleksi 36 poin.

Ranieri memutuskan pensiun melatih klub usai menyelamatkan Cagliari. Meski demikian, ia tetap membuka diri terhadap tawaran melatih tim nasional suatu negara.

“Saya menutup pintu untuk klub dan jika ada tawaran dari tim nasional, mengapa tidak? Saya akan melakukannya dan percaya kepada takdir Tuhan,” ucap Ranieri dikutip dari Sky Sports.

Walau sudah tidak lagi melatih klub, warisan Ranieri di Leicester bakal bertahan lama. Di situlah dirinya dihormati sekaligus disakiti.

Akan bagi Italia dan khususnya kota Roma, Ranieri adalah sosok berjasa dan membanggakan.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.