Coco Gauff Masa Depan Tenis Putri Amerika

Petenis Amerika Serikat Coco Gauff menjuarai turnamen Grand Slam US Open pada usia 19 tahun. Dia menjadi masa depan tenis putri AS.
Petenis AS Cori “Coco” Gauff

Final tunggal putri turnamen tenis Grand Slam Amerika Serikat Terbuka 2023 bisa dibilang sebagai salah satu laga “comeback” terbaik seorang petenis. Dari kondisi tertinggal dan tertekan, sang finalis membalikkan keadaan untuk berdiri di podium tertinggi.

Inilah yang dialami oleh petenis Amerika Serikat, Coco Gauff, saat menantang petenis Belarusia, Aryna Sabalenka di Arthur Ashe Stadium, New York, Amerika Serikat, Minggu (10/9) pagi waktu Indonesia. Petenis bernama lengkap Cori Dionne Gauff itu jelas mendapat dukungan penuh dari mayoritas penonton di tribun berkapasitas 23 ribu orang karena tampil di rumah sendiri. Namun, Gauff sulit bermain konsisten.

Sabalenka yang bermain agresif, sempat unggul 2-0. Coco lantas menyamakan skor jadi 2-2. Namun, Sabalenka yang punya ciri khas melenguh saat memukul bola, berhasil kembali ke performa awalnya dan meraih empat poin beruntun untuk menutup set pertama dengan skor 6-2.

Coco berpikir impian Amerika-nya bakal kembali lepas dari genggaman. Dia teringat kekalahan dari Iga Swiatek di Grand Slam Prancis Terbuka 2022. Ketika bathroom break, Coco mencuci wajahnya dan menjernihkan pikiran. Dia mengatur ulang dirinya, memikirkan strategi yang telah dirancang bersama tim pelatih.

Maka, ketika kembali ke lapangan di set kedua, Coco seolah sosok yang berbeda. Petenis berusia 19 tahun itu mengejar dan mengembalikan semua bola yang dikirim Sabalenka. Tanpa kesalahan. Dirinya seakan tembok pantul bagi semua pukulan dari Sabalenka.

Keuletan petenis kelahiran 13 Maret 2004 tersebut membuat Sabalenka kerap melakukan “unforced error”. Kepercayaan diri petenis remaja itu sukses memadamkan api semangat dalam diri sang juara Grand Slam Australia Terbuka 2023.

Coco kemudian berhasil memenangi dua set berikutnya, 6-3 dan 6-2. Saat pukulan terakhirnya masuk, Coco menjatuhkan diri ke lapangan, berdiri, kemudian terisak. Beban yang selama ini dia pikul hilang seketika.

Dengan jeritan histeris dari para pendukung, Coco memeluk pelatih, serta kedua orang tuanya, Corey dan Candi. Amerika Serikat merayakan gelar pertama Coco di ajang Grand Slam.

“Kamu berhasil,” kata Candi, sang ibu yang berlinang air mata.

Sejarah pun tercipta. Coco Gauff tercatat sebagai remaja AS pertama yang menjadi kampiun Grand Slam di negara sendiri setelah Serena Williams yang jadi juara pada 1999. Kala itu, Serena menyabet gelar juara di usia 18 tahun usai menekuk Martina Hingis di final.

Bila AS Terbuka 2022 tentang perpisahan dengan Serena Williams yang gantung raket, kini dua pekan AS Terbuka 2023 jadi ucapan selamat datang yang megah untuk Coco Gauff. Masa depan tenis putri Amerika aman dengan kemunculan Coco.

Saat diwawancarai di lapangan usai final, Coco kemudian menyebut para peragu sebagai sumber kekuatannya. Dia menyebutkan publik yang meremehkan pencapaian Coco hanya di level 500 dan 1000.

“Jadi kepada mereka yang merasa telah menyiram air kepada api saya, kalian malah menyiram bensin dan membuat saya betul-betul membara,” tegas Coco.

Petenis AS Cori “Coco” Gauff

Belajar dari kesalahan

Sejak muncul di arena Wimbledon 2019, Coco Gauff sudah terbebani dengan ekspektasi. Di usia 15 tahun, dia berhasil mengalahkan idolanya, Venus Williams, dan jadi petenis putri termuda yang mencapai babak keempat Wimbledon sejak Jennifer Capriati pada 1991. Sebuah debut yang apik di ajang Grand Slam.

Publik Amerika berharap petenis asal Florida itu bisa menyamai atau bahkan melampaui pencapaian sang ratu tenis AS, Serena Williams, di usia muda secara cepat. Mereka melupakan ada proses kekalahan yang harus dilalui Coco.

Coco mengingat ketika kalah di usia 17 tahun, ada ujaran yang menyebut dirinya tidak akan memenangi Grand Slam sebelum usia Serena. Hal itu seolah memberi batasan waktu untuk Coco memenangi Grand Slam dan jadi juara setelah melampaui waktu tersebut bukanlah sebuah prestasi.

“Itu sulit. Saya belum sepenuhnya berkembang sebagai pemain dan saya masih berproses pada saat itu. Saya merasa orang-orang memberi tekanan besar bagi saya untuk menang,” beber Coco, mengutip dari tennismajor.com.

Coco kemudian belajar untuk berdamai dengan ekspektasi tinggi dari publik. Dia terus mencoba meningkatkan permainan serta belajar dari kesalahan. Permainannya perlahan membaik. Coco mencapai final Grand Slam pertamanya di Perancis Terbuka 2022. Saat itu, dia ditekuk dua set langsung 1-6, 3-6 oleh petenis Polandia, Iga Swiatek.

Enggan berlarut dalam kekecewaan, Coco melihat Iga yang mengangkat trofi dengan seksama. Dia meresapi pengalaman itu dan membayangkan bila dirinya yang berada di podium tertinggi suatu hari.

Total dalam empat tahun terakhir, Coco sudah memenangi enam gelar tunggal WTA. Di antaranya adalah WTA 500 Washington Terbuka 2023 dan WTA 1000 Cincinnati Terbuka 2023. Hingga akhirnya ia memenangi Grand Slam AS Terbuka 2023 dan naik dari posisi keenam ke posisi ketiga peringkat dunia WTA dengan poin 6165.

Petenis serba bisa

Coco adalah pemain agresif bertangan kanan yang memadukan pukulannya dengan sangat baik. Di luar kemampuan memukul bola, dia dipuji atas ketangguhan mental dan kecerdasannya yang telah terbukti menyelamatkan pertandingannya dari hampir kekalahan menjadi kemenangan.

Coco piawai dalam pukulan lambung dan juga dalam kendali saat menggunakan putaran atas pada pukulannya selama reli. Dia pemain serba bisa dan dapat menyesuaikan diri di semua permukaan menggunakan variasi tembakan yang dia miliki.

Coco memiliki servis kuat yang rata-rata berkisar antara 160-180km/jam. Ini adalah salah satu senjata terbesar bagi sang petenis remaja dan dia dapat menggunakannya dalam situasi apa pun untuk menyelamatkan diri. Dia belum mampu menembus batas kecepatan 200km/jam, namun sepertinya tidak lama lagi akan dicapai.

Mungkin pukulan terbaiknya secara teknis adalah pukulan backhand dua tangannya. Dia sering melakukan pukulan backhand cross-court yang datar, tepat dan konsisten di kedua sayap dan melesat melewati lawan dengan kecepatan tinggi yang dihasilkan dari memukul bola melalui tengah kepala raket. Dia juga melakukan pukulan backhand dengan baik, menambahkan dimensi lain pada permainannya.

Pukulan forehand Coco tidak sekonsisten pukulan backhand dan servisnya, namun tetap bertenaga. Dari segi teknik, dia kerap dikritik untuk memperbaiki pukulan forehand-nya yang tak jarang menyebabkan unforced error dan bisa merugikan dirinya dalam pertandingan yang sulit.

Petenis AS Cori “Coco” Gauff

Berkat tim yang tepat

Beruntung Coco dibimbing oleh kedua orang tua yang merupakan mantan atlet. Sang ayah, Corey, adalah mantan atlet basket di Georgia State University. Sedangkan sang ibu, Candi adalah pelari di Florida State University.

Sebagai mantan atlet, mereka mengerti kebutuhan Coco akan bimbingan yang tepat dalam proses menjadi atlet profesional. Corey dan Candi melepaskan cita-cita mereka untuk jadi atlet dan memilih untuk melatih putri mereka. Corey sebagai pelatih tenis, sedangkan Candi membimbing Coco dalam home schooling.

“Anda lebih memahami proses sehingga tidak gelisah. Anda tidak merasa kehabisan waktu sehingga jadi terburu-buru. Anda seperti bertemu dengan anak Anda di tempat mereka berada,” jelas Corey.

Corey melatih Coco sejak kecil, selalu ada di kursi pelatih. Namun, sejak 2023, dia memilih untuk menggandeng pelatih yang tepat untuk sang putri. Pada awal Juni jelang Grand Slam Wimbledon 2023, Corey memilih Pere Riba (35 tahun). Mantan petenis asal Spanyol itu sukses mengantar Zheng Qinwen masuk peringkat 30 besar dunia.

Lalu Corey merekrut Brad Gilbert dan menguji coba dia untuk melatih Coco di ajang Washington Terbuka 2023 pada akhir Juli silam. Gilbert adalah mantan petenis nomor empat dunia, yang pernah melatih Andre Agassi dan Andy Roddick untuk mencapai peringkat nomor satu dunia. Maka, tak heran sentuhan emas Gilbert mampu memperbaiki pukulan forehand, servis, dan sikap Coco untuk akhirnya bisa jadi juara Washington Terbuka 2023. Para lawan yang mengincar forehand Coco dibuat frustrasi karena rencana mereka berantakan.

Kehadiran Riba dan Gilbert memberikan Coco amunisi dalam taktik dan strategi. Coco menemukan nilai dalam pemikiran strategis dan usia muda Riba. Dia menambahkan Gilbert sebagai konsultan untuk mengisi kesenjangan pengalaman.

Sebelumnya Coco juga pernah dilatih oleh pelatih tenis asal Prancis, Patrick Mouratoglou (53 tahun), yang menemukan bakat Coco saat berusia 10 tahun. Mouratoglou yang membantu Coco memperbaiki permainannya di lapangan tanah liat pada 2023, sehingga bisa membantu Coco mencapai perempat final Prancis Terbuka tahun ini.

Kombinasi para pelatih ini melahirkan “Coco 2.0”.

Tidak mau boros 

Hingga menjuarai AS Terbuka 2023 dan mendapat hadiah 3 juta dolar AS, di sepanjang kariernya Coco Gauff total telah mengantongi hadiah turnamen senilai 11.107.463 dolar AS atau setara dengan Rp171 miliar. Dari sponsor pada 2023 saja dia juga mengantongi 12 juta dolar AS, melampaui hadiah turnamen.

Meski berlimpah uang, Coco enggan berfoya-foya. Dalam sebuah sesi siaran langsung di akun Instagramnya setelah dia menjuarai AS Terbuka, Coco disarankan pengikutnya untuk membeli properti, mobil mewah, berlibur, bahkan membayar utang. Namun, secara jenaka dia menjawab dirinya masih 19 tahun, tidak memiliki utang maupun cicilan karena masih tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Coco baru akan membeli rumah sendiri saat berusia 21 tahun.

“Tidak ada hal mewah yang saya betul-betul inginkan. Saya sangat puas dengan apa yang telah saya miliki. Saya tidak menginginkan sesuatu yang gila,” jelas Coco saat siaran langsung di Instagram.

Dia juga bercerita saat podcast bersama tennis.com. “Saya tidak suka menghabiskan uang. Ketika pertama kali mendapat cek Grand Slam, saya menginginkan sebuah mobil, tetapi ayah saya sudah membelikannya, jadi saya tidak tahu apa yang mau saya beli sekarang,” ungkap Coco.

“Sebuah burger. Itu yang saya paling inginkan,” kata Coco sambil tertawa, soal apa yang paling dia inginkan setelah mendapat prestasi tertinggi dalam kariernya.

Aktivis sosial 

Coco Gauff berada di lingkungan keluarga yang tepat. Keluarga yang membantu Coco meraih kepercayaan diri sekaligus tidak terlena dalam ketenaran sebagai petenis remaja terkenal.

Coco menjadi dewasa dalam pemikiran sehingga dia tidak takut untuk mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.

Dia menjadi pemimpin vokal dalam gerakan keadilan rasial di Amerika dengan menggunakan platform media sosialnya untuk membagikan pesannya. Dia bahkan memberikan pidato yang kuat di Florida yang menjadi viral di media sosial.

“Jika Anda memilih diam, Anda memilih pihak penindas,” kata Coco saat mendukung gerakan Black Lives Matter pada pertengahan 2020 lalu.

Dengan akun Instagram yang memiliki satu juta pengikut, akun Twitter dengan 283 ribu pengikut, dan akun TikTok dengan 261 ribu pengikut, Coco Gauff punya cara efektif untuk menyebarkan pesan baik kepada dunia.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.