Inggris ke Final Lagi, Perkara Kualitas Individu Atau Kecerdikan Southgate?

Kredit foto: UEFA
Ollie Watkins merayakan gol penentu kemenangan Inggris ke gawang Belanda bersama Marc Guehi di BVB Dortmund Stadium, Kamis (10/7).

Timnas Inggris melaju ke final dalam dua edisi Euro secara beruntun. Ini adalah sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diwujudkan pelatih timnas Inggris mana pun, kecuali Gareth Southgate. Kemudian timbul pertanyaan, apakah keberhasilan Inggris merupakan buah dari kecerdikan Southgate atau murni digendong kualitas individu pemainnya?

“Saya mengambil pekerjaan ini untuk mencoba meningkatkan sepak bola Inggris dan kami sekarang berada di final kedua. Final terakhir adalah yang pertama dalam lebih dari 50 tahun,” ujar Southgate dikutip BBC.

Pada final Euro 2020, Inggris dibekuk Italia lewat babak adu penalti. Keputusan Southgate dikritik lantaran menempatkan pemain muda tanpa pengalaman sebagai penentu tendangan.

Ketika itu, Marcus Rashford, Jadon Sancho dan Bukayo Saka merupakan pemain-pemain yang masih hijau. Southgate pun dicap pelatih medioker, pun sama halnya pada edisi kali ini.

Sebelum turnamen, Southgate ditertawakan. Lagi-lagi karena keputusan kontroversialnya memanggil pemain-pemain tanpa pengalaman di level internasional, sebut saja Cole Palmer atau Kobbie Mainoo.

Namun demikian, Southgate berhasil membungkam para kritikus. Dua pemain yang disebut barusan tampil apik di laga semifinal Euro 2024 kontra Belanda yang berlangsung di BVB Stadion, Dortmund, Kamis (11/7) dini hari WIB.

Etos kerja Mainoo pada laga tersebut patut diacungi dua jempol. Berdasarkan catatan Fotmob, enam umpan progresif nan akurat berhasil dilepaskan gelandang Manchester United ini. Mainoo juga selalu memenangkan duel yang dilakoninya menghadapi pemain Belanda.

Mainoo tampak ada dimana-mana, terus berlari sebagai penghubung antar lini. Sementara Palmer yang masuk sebagai pengganti mencetak assist untuk gol Ollie Watkins.

Dari yang semula dianggap pecundang, Southgate tiba-tiba dicap sebagai pahlawan. Pergantian pemain yang dilakukannya pada babak kedua menuai puja-puji. Permainan Inggris yang membosankan sepanjang turnamen seakan terlupakan begitu saja.

Southgate memang tak sehebat pelatih Spanyol, Luis de la Fuente yang menghidupkan kembali tiki-taka kontemporer. Southgate juga tak sepintar pelatih Jerman, Julian Nagelsmann yang menghadirkan sepak bola atraktif di tengah maraknya permainan main aman.

Namun, toh pragmatisme Southgate dalam membaca permainan membuat timnya berjaya. Tampak jelas bahwa Palmer dan Watkins, yang punya kecepatan, sengaja disimpan untuk kemudian menjadi kartu as kala stamina para pemain Belanda sudah terkuras.

Selain soal kecepatan, Palmer adalah pemain muda yang cukup matang dalam mengambil keputusan. Sementara Watkins adalah tipikal penyerang yang pergerakannya tidak mudah ditebak. Golnya ke gawang Belanda tercipta lewat sudut yang sulit.

Kredit foto: UEFA
Pergantian pemain jitu Gareth Southgate kala memasukkan Ollie Watkins dan Cole Palmer.

Watkins menembak bola melewati dua kolong kaki Stefan De Vrij. Gol-gol yang tak mudah diprediksi semacam itu sudah sering ditunjukannya bersama Aston Villa.

“Saya telah menunggu momen itu selama berminggu-minggu. Saya tahu, begitu dia (Palmer) mendapatkan bola, dia akan memberikan umpan kepada saya. Ketika bola mengarah ke sudut bawah, itu adalah perasaan terbaik yang pernah ada,” ucap Watkins dilansir laman resmi UEFA.

Namun, jika ditarik ke belakang, bukan kali ini saja wajah Southgate terselamatkan oleh pemainnya. Sebelumnya, Inggris selamat dari maut berkat aksi akrobatik Jude Bellingham di laga kontra Slovakia pada babak 16 besar.

Kemudian, Bukayo Saka menyelamatkan karier Southgate lewat gol penyama kedudukan ke gawang Swiss. Agaknya terlalu dini untuk mencari jawaban apakah keberhasilan Inggris menembus final dilatarbelakangi kecerdikan Southgate atau kualitas individu pemain.

Jawaban dari pertanyaan itu akan terungkap di laga final kontra Spanyol pada Senin (15/7) mendatang. Bisa saja label pelatih medioker kembali tertancap ke diri Southgate lantaran salah mengambil keputusan seperti di final Euro edisi sebelumnya.

Saatnya Sepak Bola Pulang ke Rumah? 

Dalam beberapa turnamen terakhir, acapkali tim-tim yang berhasil merengkuh gelar juara adalah mereka yang tidak bermain impresif. Kritik menghujani gaya permainan Prancis di Piala Dunia 2018, namun nyatanya mereka berhasil menggondol gelar juara. Begitu pun Portugal yang terseok-seok di Euro 2016, namun berhasil membawa pulang trofi.

Pragmatisme yang diperagakan Southgate menuai pujian dari legenda timnas Inggris, Alan Shearer. Eks penyerang Newcastle United ini menyanjung cara Southgate melakukan inovasi ketika timnya menemui kebuntuan.

“Ada saat-saat Anda harus menderita di sepak bola internasional, di babak kedua ketika keadaan menjadi sulit, mereka harus memberikan jawaban yang berbeda dan mereka harus menemukan cara lagi,” ujar Shearer dilansir BBC.

“Tim ini telah melakukan itu tanpa memainkan sepak bola spektakuler dalam empat atau lima pertandingan. Mereka punya peluang luar biasa untuk memenangkannya,” tandasnya.

Permainan Inggris sejatinya nampak berbeda pada babak pertama laga kontra Belanda. Jika pada laga sebelumnya The Three Lions cenderung bermain aman, pada laga ini Southgate justru menginstruksikan anak asuhnya untuk lebih mengambil risiko.

Kredit foto: UEFA
Pelatih timnas Inggris, Gareth Southgate tak kuasa menahan kegembiraan usai membungkam para kritikus dengan meloloskan timnya ke final Euro 2024.

Declan Rice tak ragu melepaskan umpan progresif. Phil Foden dan Jude Bellingham terus aktif mencari ruang. Pergerakan para pemain di depan begitu cair. Di kubu lawan, pelatih Belanda, Ronald Koeman paham betul bahwa Inggris lemah menghadapi pertahanan blok menengah hingga rendah.

Oleh sebab itu, Belanda bermain cukup sabar dan tidak terburu-buru melancarkan pressing. Namun seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Koeman mengakui kualitas individu pemain-pemain Inggris seperti Bellingham dan Foden cukup merepotkan.

“Saya kecewa. Pertandingan dimulai dengan sangat baik bagi kami dan kami mencetak gol. Setelah itu kami mengalami masalah di lini tengah, membiarkan pemain berbahaya seperti Bellingham dan Foden masuk ke dalam permainan,” ucap eks pelatih Barcelona ini.

Andil Dewi Fortuna 

Dewi Fortuna juga mengambil peran penting pada kemenangan Inggris, tepatnya pada insiden penalti ketika Harry Kane dijatuhkan Denzel Dumfries di kotak terlarang pada menit ke-14. Banyak yang menganggap insiden itu tidak layak berujung penalti.

Namun, wasit Felix Zwayer menganggap Dumfries mengangkat kakinya terlalu tinggi di saat bola sudah ditembakkan Kane. Pada konferensi pers usai laga, Koeman tak kuasa menahan kegeraman atas keputusan Zwayer yang mengganjar penalti pada insiden itu.

“Ini bukan penalti, satu-satunya niatnya adalah memblokir tembakan. Harry Kane kemudian menembak dan kaki mereka bertabrakan. Sepak bola dihancurkan oleh keputusan seperti ini oleh VAR. Penalti ini tidak akan diberikan di Inggris. Apa yang harus Anda lakukan sebagai seorang bek?” ucap Koeman dipetik Goal International.

Kredit foto: UEFA
Pelatih timnas Belanda, Ronald Koeman memberikan keterangan pada konferensi pers usai laga.

Gary Neville, meskipun dirinya merupakan legenda timnas Inggris, ikut kecewa dengan keputusan wasit. Menurutnya, keputusan penalti di laga itu merupakan hal yang memalukan.

“Sebagai seorang bek, saya pikir itu adalah sebuah aib, sebuah keputusan yang sangat memalukan jika saya diberikan penalti kapan saja, namun dalam pertandingan yang sangat penting,” ujar Neville dinukil Daily Mail.

“Saya harus mengatakan bahwa bek tersebut masuk secara alami dan memblok tembakan. Ini bukan penalti bagi saya, dan sama sekali bukan penalti bagi saya. Saya rasa tidak banyak pemain Inggris yang mengklaim hal tersebut,” pungkasnya.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.