Selalu ada kisah inspiratif yang muncul di balik megahnya gelaran multicabang olahraga, terkhusus Olimpiade. Dan, Olimpiade Paris 2024 punya banyak cerita.
Kali ini, cerita yang mengharukan namun penuh makna itu hadir dari Zhiying Zeng. Dia merupakan atlet tenis meja asal Cile yang baru debut di Olimpiade saat berusia 58 tahun.
Mendengar namanya, tentu sangatlah asing ketika mengetahui Zeng memakai paspor Cile yang merupakan sebuah negara di kawasan Amerika Latin. Sementara, dirinya merupakan orang Cina tulen.
Cerita ini berawal sekitar 35 tahun lalu atau tepatnya pada 1989. Namun, sebelum itu menarik untuk lebih dulu mengetahui seperti apa masa kecil Zeng.
Zeng lahir di Guangzhou, Cina, 17 Juli 1966, dari keluarga yang sangat lekat dengan tenis meja. Ibunya merupakan seorang pelatih tenis meja yang membuat Zeng telah mengenal bahkan akrab dengan kehidupan atlet tenis meja profesional sejak dini.
Ibunya melatih Zeng sampai usia sembilan tahun untuk kemudian bergabung dengan akademi elite pada usia 11 tahun. Hari demi hari berlatih membuat dirinya jadi atlet profesional pada usia 12 tahun. Di usia itu, dia mampu jadi yang terbaik di berbagai kejuaraan dan menyabet gelar juara nasional junior.
Rangkaian gelar juara yang Zeng raih membuat dirinya dilirik untuk masuk tim nasional Cina pada usia 16 tahun. Di sana, dia mengukir asa untuk tampil di Olimpiade Seoul 1988, tahun ketika tenis meja mencatatkan debut di Olimpiade.
Namun, mimpi itu pupus lebih awal setelah aturan bet di tenis meja berubah pada 1986. Aturan terbaru menetapkan dua warna dalam sebuah bet, artinya bet tenis meja harus memiliki warna berbeda di kedua sisinya. Tak boleh lagi hitam semua.
Aturan baru tersebut membuat Zeng kesulitan lantaran dia memiliki teknik andalan memutar betnya untuk mengelabui lawan. Dengan warna bet yang berbeda, pergerakannya jadi mudah diketahui lawan.
Situasi tersebut membuat Zeng frustrasi sehingga memutuskan untuk meninggalkan tim nasional.
“Perubahan aturan itu banyak mempengaruhi permainan saya. Saya pun mengalami kemunduran besar dan meninggalkan tim nasional,” kata Zeng dikutip NBC News.
Zeng perlahan mencoba bangkit dari situasi yang dia alami dengan menerima tawaran dari sekolah di Arica, Cile, pada 1989. Ini menjadi keputusan besar yang menjadi awal dari momen yang mengubah hidup Zeng
Dia mulai bermain lagi pada 2003 sebagai dorongan kepada putranya untuk menekuni olahraga ini. Zeng kemudian memenangkan turnamen level nasional pada 2004 dan 2005 lalu berhenti ketika sang anak sudah bisa berkompetisi sendiri.
Berjarak 15 tahun, Zeng kembali memegang bet tenis meja ketika pandemi Covid-19 melanda dunia. Awalnya, bermain tenis meja hanya sebagai upaya Zeng untuk menjaga kondisi tubuhnya. Namun, itu justru menjadi awal dari perjalanan Zeng untuk mentas di Olimpiade Paris 2024.
Sebab, setelah itu, Zeng, yang dikenal sebagai Tania di Chile, mulai bermain di turnamen regional dan berhasil lolos ke Kejuaraan Tenis Meja Amerika Selatan 2023 saat usianya menginjak 57 tahun.
Di turnamen itu, dia mendapat nama panggilan baru, yakni Tia Tania. Tak hanya mendapat nama panggilan baru, dia juga menghebohkan negaranya usai mendapatkan tiket ke Paris.
“Saya tak pernah memiliki masalah apa pun dan semua orang mengakui pencapaian saya,” kata Zeng.
Gugur di Babak Kualifikasi
Mimpi yang sudah dikubur Zeng selama hampir empat dekade akhirnya terwujud saat usianya 58 tahun. Dia juga menjadi salah satu debutan tertua di ajang olahraga paling prestisius sejagat raya itu.
Namun, Zeng tak tampil untuk Cina melainkan Cile. Sayang, dia gagal tampil jauh di Olimpiade Paris 2024.
Zeng kalah di laga pertamanya atau babak penyisihan ketika menghadapi atlet Lebanon, Mariana Sahakian. Sempat unggul di gim pertama, Zeng akhirnya dipaksa menyerah dengan skor 1-4 dalam duel di Paris Expo Porte de Versailles, Sabtu (27/7).
Kendati demikian, Zeng tak bersedih. Sebab, dia berhasil mewujudkan apa yang sudah dia impikan sejak lama, sangat lama.
“Saya tak merasa sedih karena ini adalah olahraga. Suami, anak saya, dan semua orang yang saya cintai dan sayangi ada di sana meneriakkan nama saya. Saya merasa sangat puas,” ucap Zeng.
“Bahkan, ketika saya masih seorang gadis kecil dan mereka bertanya apa yang menjadi mimpi saya, saya akan mengatakan: ‘Menjadi seorang Olimpian’,” ungkap dia.
Euforia ini juga dirasakan ayah Zeng yang rela tak tidur untuk menyaksikan aksi sang anak di Olimpiade.
“Ayahku bisa melihat putrinya lolos ke Olimpiade,” tutur Zeng.
“Ibuku dulu pelatih di tim provinsi Henan selama lebih dari 30 tahun. Dia meninggal pada 1997, jadi sayang sekali dia tidak hidup untuk melihatku tampil di Olimpiade,” lanjut Zen.
Di Paris, Zeng kembali bertemu dengan sahabatnya, Ni Xialian, yang membela Luksemburg. Mereka dulu pernah menjadi rekan setim dan Ni Xialian kini berusia 61 tahun.
Dengan tampil di Olimpiade Paris 2024, Zeng mengatakan kesempatan ini tak akan menjadi akhir dari perjuangannya sebagai atlet. Dia menyatakan belum akan berhenti bermain.
“Selama badan saya sehat dan tak cedera, saya akan terus bermain. Bahkan, jika saya tak bisa bermain di level ini, saya masih bisa bermain di level Masters,” tandas Zeng.
Zeng Zhiying merupakan contoh nyata dari perjuangan seorang atlet yang tak pernah menyerah mengejar mimpinya. Meski di usia senja, dia tak menyerah dengan keadaan. Mengajarkan kita semangat pantang menyerah dan bagaimana bangkit dari keterpurukan.