Mikel Arteta Buang Idealisme Demi Bawa Arsenal Menang

Kredit foto: arsenal.com
Pelatih Arsenal, Mikel Arteta berani membuang idealisme terhadap sepak bola atraktif demi membawa Arsenal rutin menang di musim 2024-2025.

Pelatih Arsenal, Mikel Arteta membuang idealisme demi membawa tim asuhannya menang. Tampak luar, Arsenal seolah bermain pasif. Namun jika dibedah lebih dalam, tim asal London Utara ini selalu mampu mendikte permainan. Suguhan ini kerap disajikan Arteta jika timnya menghadapi tim besar.

Termasuk saat menghadapi Paris Saint Germain (PSG) pada laga kedua Liga Champions 2024-2025 di Emirates Stadium, London, Rabu (2/10) dini hari WIB. The Gunners, julukan Arsenal, tidak lagi mementingkan penguasaan bola dan menciptakan peluang sebanyak mungkin.

Pada laga yang berakhir dengan kemenangan 2-0 Arsenal atas sang wakil Prancis, kubu Meriam London mencatat penguasaan bola hanya 35 persen. Jumlah tembakan tepat sasaran Arsenal juga hanya dua.

Namun, dua tembakan tersebut justru berbuah gol, dicetak Kai Havertz pada menit ke-20 dan Bukayo Saka, via tendangan bebas, pada menit ke-35. Sementara, PSG harus gigit jari sebab penguasaan bola 64 persen dan lima tembakan tepat sasaran tidak membuat mereka mampu mencetak satu pun gol.

Arteta hanya perlu membuat timnya bermain efektif agar meraih kemenangan. Ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, saat meladeni Tottenham Hotspur di Premier League musim ini, Arsenal juga memeragakan hal yang sama.

Kala menghadapi sang rival sekota pada 15 September 2024 silam, Arsenal hanya memegang 36 persen penguasaan bola. Jumlah tembakan Arsenal juga kalah dari tim berjuluk The Lilywhites tersebut.

Arsenal ketika itu hanya melepaskan tujuh tembakan, dengan empat di antaranya tepat sasaran. Berbanding terbalik dengan Tottenham yang menembak 15 kali, dengan lima buah yang mengarah ke gawang.

Namun, statistik hanya angka. Skor akhir yang menentukan tim mana yang berhak atas tiga poin. Arsenal pun menang tipis 1-0 lewat gol Gabriel Magalhaes yang dengan jeli memanfaatkan situasi sepak pojok.

Tottenham bukan satu-satunya korban. Gelandang Manchester City, Bernardo Silva menyindir intensi Arsenal yang ekstra pragmatis usai hasil imbang 2-2 kedua tim pada 22 September 2024 silam. Pemain asal Portugal ini menyebut permainan rivalnya yang lain, yakni Liverpool jauh lebih terhormat ketimbang Arsenal.

“Liverpool selalu berhadapan langsung dengan kami untuk mencoba memenangkan pertandingan. Dari perspektif ini, pertandingan melawan Arsenal tidak seperti yang kami lakukan saat meladeni Liverpool,” ujar Bernardo Silva pada laman resmi Premier League.

Pada laga itu, Arsenal menghalalkan segala cara untuk mencuri poin dari Etihad Stadium. Bahkan mereka memanfaatkan para pemain Man City yang belum siap menghadapi bola mati dalam proses penciptaan gol Riccardo Calafiori di menit ke-22.

Padahal sebelum musim ini, Arteta dikenal sebagai sosok yang mementingkan dominasi dan permainan memukau. Disiplin tiki-taka modern yang ia pelajari semasa menjadi asisten Pep Guardiola di Manchester City telah banyak dia tunjukkan dalam beberapa musim terakhir bersama Meriam London.

Namun, tidak di musim ini. Arteta datang ke lapangan dengan satu tujuan, yakni membawa Arsenal meraup hasil positif, tanpa mementingkan atraksi umpan-umpan pendek.

Manfaatkan pressing lawan, fluktuasi taktik dan pergerakan pemain

Tidak selalu pelatih yang bermain pragmatis tidak memiliki sistem. Pola 4-4-2 Arsenal tidak berubah dari satu laga ke laga lainnya. Namun, taktik di lapangan menjadi pembeda. Arteta menyesuaikan strategi dengan karakter tim lawan.

PSG, yang menjadi lawan Arsenal di Liga Champions 2024-2025, memiliki karakter pressing tinggi yang membuat lawan tidak nyaman menguasai bola. Tetapi, pressing PSG yang berformat 4-1-4-1 malah menjadi bumerang.

Pola 4-1-4-1 PSG menimbulkan ruang yang begitu lebar di sisi sayap. Dalam mengakomodir progresi bola yang memanfaatkan pressing PSG, Arteta pun menerapkan pola 2-3-5.

Kredit foto: Ilustrasi Ludus.id
Pola 4-1-4-1 PSG justru menjadi kelemahan. Joao Neves terpancing bola yang dikuasai Thomas Partey sehingga Jurren Timber mendapat ruang lebar untuk progresi bola (atas). Leandro Trossard mendapat bola untuk progresi bola di sayap kiri berbuah gol pertama Havertz. (bawah).

Contoh terjadi pada menit ke-12 ketika Joao Neves terpancing untuk menekan Thomas Partey yang menguasai bola.

Bradley Barcola memutuskan tetap berada di posisinya untuk menjaga struktur pressing. Alhasil, Timber mendapat ruang yang cukup lezat untuk dimanfaatkan sebagai progresi bola.

Taktik tersebut sukses membuahkan gol pembuka bagi Arsenal. Ruang lebar di sisi sayap kiri merupakan cikal bakal terjadinya gol Havertz. Pada menit ke-19, Trossard mendapat ruang cukup besar akibat efek samping dari struktur 4-1-4-1 PSG.

Desire Doue sebetulnya mampu dengan sigap menekan Trossard. Namun,manuver individu Trossard berhasil mengelabui winger berusia 19 tahun tersebut. Pemain asal Belgia tersebut kemudian mengirim umpan matang kepada Havertz yang berlari meminta bola.

Peran Havertz sebagai nomor sembilan palsu juga turut membuat garis pertahanan PSG menjadi serba salah. Dalam situasi gol pertama tersebut, jika salah satu dari PSG naik mengawal Havertz, akan terjadi ruang begitu lebar di pertahanan Le Parisiens.

Kredit foto: Ilustrasi Ludus.id
Pergerakan Kai Havertz sebagai “false nine” membuat baris pertahanan PSG berada dalam situasi serba salah. (atas). Nuno Mendes malah mewaspadai pergerakan Bukayo Saka yang sudah berada di posisi offside, sehingga Kai Havertz leluasa menyambar bola. (bawah).

Namun, jika garis pertahanan dipertahankan dan Havertz dibiarkan, pemain asal Jerman tersebut bebas menyambar bola tanpa pengawalan berarti. Sialnya lagi, Nuno Mendes juga malah fokus pada pergerakan Saka yang seharusnya tak perlu dijaga lantaran sudah dalam posisi offside.

Ketika tidak menguasai bola, Arsenal juga memperagakan fluktuasi taktik pada babak pertama dan kedua. Pada paruh pertama, tim asal London Utara tersebut cenderung menerapkan pressing tinggi dengan menugaskan Saka, Havertz dan Trossard sebagai baris pressing pertama di daerah PSG.

Sementara pada babak kedua, Arsenal cenderung bermain pasif dengan mempertahankan pola 4-4-2. Hal ini menjadi penyebab lain mengapa Arsenal begitu mudah mendikte permainan.

Hal lain yang menarik disorot adalah pergerakan para pemain Arsenal yang begitu cair. Calafiori beberapa kali nampak mengemban peran inverted fullback yang bergerak ke dalam.

“Dia (Calafiori) memiliki kemampuan untuk menempati ruang yang berbeda. Dia sangat nyaman dengan itu. Dia telah melakukannya di Italia dan itulah mengapa kami merekrut dia. Pertama-tama, dia adalah bek yang hebat,” tutur Arteta ketika ditanya perihal peran Calafiori, dipetik laman resmi klub.

“Dia memiliki kehadiran dan energi serta komitmen penuh dalam reaksi yang dia lakukan dan dia sangat berani. Dia tidak peduli dalam situasi tersebut, dia menginginkan bola, dia ingin membuat sesuatu terjadi dengannya dan senang bermain dalam peran yang berbeda,” sambung Arteta.

Kredit foto: arsenal.com
Declan Rice disebut Mikel Arteta memiliki kemampuan bermain di berbagai situasi taktik.

Demikian pula dengan Declan Rice yang kerap bergerak melebar jauh ke sisi sayap, sedangkan Trossard dan Gabriel Martinelli kerap bertukar posisi. Arteta juga memuji Rice yang mampu menjalankan berbagai macam peran dan taktik di awal musim ini.

“Saya sangat senang. Kami harus memahami konteks pertandingan yang kami mainkan, misalnya Sabtu lalu ketika kami bermain di sini, dia (Rice) sangat dominan dengan bola. Tetapi, jelas kami memainkan konteks yang berbeda,” kata Arteta.

“Dan pemain ini memiliki kapasitas untuk memainkan pertandingan yang berbeda dan tetap menjadi sangat, sangat penting bagi tim. Dia memiliki kualitas yang hebat, dia memberi kami begitu banyak hal,” tutupnya.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.