
Marco Simic (kedua dari kanan) merayakan golnya ke gawang Persib pada laga Liga 1 Indonesia, Sabtu (2/9/2023)
Persija Jakarta merupakan salah satu klub tua yang ada di sepak bola Indonesia. Didirikan pada November 1928 oleh Soeri dan A. Alie, Persija kini menjadi klub yang disegani dengan torehan prestasi.
Berawal dari kebakaran Gang Bunder di daerah Pasar Baru pada Oktober 1928, Persija terbentuk. Kala itu, klub-klub sepak bola lokal di Batavia ingin mengumpulkan bantuan dengan menggelar pertandingan amal.
Namun, niat baik klub-klub lokal tersebut mendapat adangan dari perkumpulan sepak bola bentukan Belanda di Batavia, yakni Voetballbond Batavia en Omstraken (VBO).
Adangan itulah menjadi dasar Soeri dari Klub STER dan A.Alie dari klub Setiaki berniat mendirikan perkumpulan sepak bola khusus klub-klub lokal di Batavia.
Keduanya sepakat mendirikan VoetBall Boemiputera (VBB) pada November 1928 atau 95 tahun lalu. Pada 1929, VBB berganti nama menjadi Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ). Nama Indonesia dan Jacatra benar-benar menjadi perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang berkuasa di Batavia.
Penggunaan Indonesia membuktikan bahwa perkumpulan sepak bola ini bukan hanya olahraga, tapi juga persatuan orang-orang Indonesia di Batavia.
Nama Jacatra juga menjadi perlawanan karena nama itu pernah digunakan pada masa Pangeran Jayakarta berkuasa. Orang-orang Portugis menyebutnya dengan Xacatara yang memiliki arti Kemenangan.
Menggunakan nama Indonesia dan Jacatra, bukan Batavia, menggabarkan bagaimana VIJ menjadi ‘rumah’ bagi pesepak bola lokal dalam berkreasi.
Akan tetapi, nama VIJ mendapat pertentangan dari salah satu klub anggotanya. Tertulis dalam surat kabar Pemandangan pada November 1938 pada tulisan Dr. Moewardi dengan judul ‘Hikajat VIJ’ ada satu klub yang keluar dari organisasi.

Pemain Persija Jakarta Riko Simanjuntak menyundul bola ke gawang Persebaya pada laga BRI Liga I di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (30/7/2023).
Klub itu bernama Persatoen Medan Sport (PMS). Mereka keluar karena tidak setuju nama perkumpulan menjadi VIJ.
Lambat laun, VIJ mulai mengakar di Batavia. Propaganda VIJ agar masyarakat mau datang ke Laan Trivelli (sekarang Tanah Abang 2) ketimbang ke Menteng ataupun Deca Park terbilang berhasil.
Tokoh-tokoh besar juga mulai memandang VIJ sebagai alat perlawanan baru terhadap Belanda.
Terlebih, VIJ juga menjadi salah satu yang membidani kelahiran Persatuan Sepakraga Seluru Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930, yang mana kata Sepakraga akhirnya berubah jadi sepak bola.
Semangat nasionalis itulah yang membuat tokoh-tokoh pergerakan masuk ke VIJ, sebut saja Muhammad Husni Thmarin, Dr Moewardi, Dr A. Halim, Kusumah Atmaja, hingga Mr Hadi yang aktif di Voolksraad.
Bahkan pada 1932, Thamrin mengundang Soekarno untuk melakukan aftrap (tendangan pertama) di Laan Trivelli sebelum pertandingan VIJ kontra PSIM (Yogyakarta).
Tentu saja pergerakan VIJ menjadi ancaman bagi VBO yang saat itu ditopang pemeritahan Belanda di Hindia Belanda.

Pemain Persib David da Silva (kedua dari kanan) mencetak gol ke gawang Persija pada laga BRI Liga 1 Indonesia, Sabtu (2/9/2023) di Bekasi.
Prestasi Era 1930an
VIJ memiliki prestasi menterang di era awal-awal PSSI berdiri. Mereka merupakan juara pada kompetisi pertama tahun 1931.
Pada 1932, VIJ gagal meraih juara setelah kalah dari PSIM di laga penentu. Baru pada 1933 dan 1934, VIJ tancap gas dengan meraih gelar juara secara beruntun.
VIJ baru merebut gelar juara lagi pada 1938, setelah tahun-tahun sebelumnya sempat menghilang dari percaturan sepak bola kala itu.
Pemain-pemain yang terkenal saat itu adalah Abidin, Djainin, Moetjibata, A. Gani, Roeljaman, Besoses, ataupun Soemarmo. Nama-nama tersebut merupakan pemain yang berangkat dari kompetisi VIJ dan membela VIJ di kompetisi nasional PSSI.
Berubah menjadi Persija
Beberapa sumber menyebutkan VIJ berubah nama menjadi Persija pada 1950. Namun, sumber dari surat kabar saat itu VIJ menjadi Persija terjadi pada Mei 1942.
VIJ memang cukup terlambat merubah namanya menjadi nama Indonesia dibanding Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) yang menjadi Persis Solo.
Perkumpulan itu baru berubah namanya menjadi Persija (yang memiliki artian sama dengan VIJ, yakni Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) pada masa kepedudukan Jepang.
Beberapa pengurus Persija juga meneruskan dari era VIJ, seperti ME Asra (yang aktif hingga 1950an) sehingga anggota-anggota VIJ tetap sama meski berubah jadi Persija.
Persija sempat berubah nama menjadi PORI Djakarta sebelum akhirnya pada 1950 kembali lagi memakai nama Persija dan ‘berhasil’ membuat VBO bubar.

Pemain Persija Jakarta Riko SImanjuntak menendang bola dengan dijaga ketat oleh pemain Persebaya Dusan Stevanovic pada laga BRI Liga I di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (30/7/2023).
Mendapatkan Pemain Berkualitas
Era 1950an merupakan awal baru sepak bola Indonesia. PSSI bisa membentuk tim nasional dan menggelar kompetisi tanpa tekanan Belanda.
Bubarnya VBO juga menjadi berkah bagi Persija. Klub-klub anggota VBO yang masih aktif bergabung dengan Persija dan pemainnya memperkuat tim itu di kompetisi nasional PSSI.
Sebut saja Tan Liong Houw, Arnold van der Vin, Chris Ong, Kwee Hong Sing, sampai Wim Pie merupakan alumni VBO yang menjadi pemain Persija.
Sayangnya, hanya satu gelar saja yang didapat Persija pada era ini, tepatnya pada 1954 usai menang melawan PSMS Medan di Stadion IKADA (kini jadi kawasan Monas).
Baru pada 1964, Persija kembali menjadi klub terkuat di Indonesia. Nama-nama muda seperti Soetjipto Soentoro, Sinyo Aliandoe, Kwee Tik Liong, Liem Soei Liang, Yudo Hadiyanto, Reny Salaki, ataupun Didik Kasmara menjadi andalan Persija.
Anak-anak muda itu sukses mengantarkan Persija menjadi juara tanpa terkalahkan dan inilah yang disebut-sebut sebagai tim terbaik Persija sepanjang masa.
Era Kejayaan dan Kejatuhan
Memasuki era 1970an, semua sepakat menjadi eranya Persija. Tiga kali juara di kompetisi PSSI menjadi bukti sahih bagaimana Persija menjadi ‘raja’ sepak bola kala itu.
Persija yang kini diperkuat para pemain nasional, seperti Anjas Asmara, Iswadi Idris, Oyong Liza, Sutan Harhara, Sofyan Hadi, Djunaidi Abdilah, Risdianto, Suaeb Rizal dan masih banyak lagi.
Si Merah Putih berhasil menjuarai kompetisi pada 1973, 1975, dan 1979. Tiga gelar dalam satu era membuat Persija menjadi tim tersukses dalam sejarah sepak bola Indonesia saat itu.
Sayang memasuki era 1980an, Persija mengalami kemunduran prestasi. Adanya kompetisi Galatama membuat pemain terbaik, lebih banyak berkompetisi di sana.
Belum lagi adanya konflik internal yang membuat Persija hampir saja degradasi pada tahun 1985.
Munculnya tokoh muda bernama Todung Barita Lumbanraja membuat Persija bangkit. Gaya Pop yang ramai saat itu diadopsi Persija.
Macan Kemayoran mulai merangkul anak-anak muda Jakarta untuk kembali mendukung Persija. Bahkan secara pendanaan, Persija tidak bergantung dari Pemerintah Daerah layaknya tim perserikatan lainnya.
Pada era ini, Persija hanya hampir juara pada 1988 setelah kalah 2-3 dari Persebaya. Era ini, Persija dijuluku ‘Juara tanpa Mahkota’.

Pemain Persija Jakarta (tengah) menjebol gawang Persebaya pada laga BRI Liga I di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (30/7/2023).
Kedatangan Bang Yos dan Jadi Oren
Beralih ke tahun 1990an, Persija kembali ke masa keterpurukan sebelum akhirnya Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, turun tangan membenahi Persija.
Bang Yos, sapaannya, merubah warna bersejarah Persija dari merah ke oren. Hal ini menimbulkan tanda tanya publik namun karena Persija saat itu membutuhkan dana, pergantian warna pun tak terelakan.
Persija era ini membuahkan satu gelar juara, yakni pada 2001. Saat itu menjadi eranya Bambang Pamungkas unjuk gigi. Pemain muda itu di era sekarang adalah legenda Persija.
Akan tetapi, kejayaan era Bang Yos berujung duka. Stadion Persija di Menteng, Jakarta Pusat, digusur oleh Pemda DKI.
Banyak yang menyayangkan hal tersebut karena sejarah Persija jadi hilang seiring dengan hilangnya piala-piala serta jersey-jersey lama yang bersejarah.
Dua sejarah penting hilang di era ini, yakni warna merah dan Stadion Persija di Menteng. Selanjutnya, Persija selalu gagal juara.
Merah Kembali dan Juara
Warna merah mulai kembali digunakan Persija sejak 2016. Warna tersebut merupakan warna bersejarah dan telah mengakar di Jakarta sejak puluhan tahun.
Pada 2018, Persija kembali meraih gelar juara. Gelar itu sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jakarta.
Kembali mengenakan warna merah, Persija tampil menawan dengan skuad yang ada. Marko Simic menjadi pemain yang berpengaruh pada era ini. Bersama-sama dengan pemain lainnya, Simic menggila dan tampil sebagai juru gedor andal Persija.
Sayang, Persija tak mampu mempertahankan gelar juara dan hingga saat ini, masih terus kembali membawa pulang trofi Liga 1 ke Ibukota sekaligus membuat koleksi juara mereka menjadi 11 kali, terbanyak di Indonesia saat ini.

Pemain Persija Jakarta Roy Matsumura menggiring bola dengan dijaga ketat oleh pemain Persebaya Ahmad Nuri Fasya pada laga BRI Liga I di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (30/7/2023).
Rivalitas dengan Daerah Lain
Sebagai klub tua, Persija memiliki beberapa rival yang ada sejak dulu. Rivalitas dengan klub lain murni sebagai cara untuk mendapatkan gelar juara.
1. Persis Solo
Rival pertama Persija adalah Persis Solo. Sejak era VIJ, Persis Solo menjadi tim yang merepotkan bagi si Merah-Putih.
Persis sempat menghilang saat kompetisi usai kemerdekaan. Kini, Laskar Sambernyawa sudah kembali ke kasta teratas dan kembali bertemu Persija.
2. PSMS Medan
Medan menjadi rival Jakarta sejak 1950an. Keduanya kerap bertemu di kompetisi PSSI dan selalu sengit. Persija yang bermain stylish sering direpotkan dengan gaya rap-rap ala sepak bola Medan.
Awal muda keduanya mulai menyimpan ‘dendam’ adalah saat final PSSI 1954. Pertadingan sempat terhenti karena kekacauan di lapangan.
Pertandingan sengit cenderung kasar berakhir dengan PSMS yang tak mau meneruskan pertandingan.
Mereka meninggalkan lapangan dengan kedudukan 2-1 untuk Persija. Jadilah Persija tampil sebagai juara karena PSMS sudah enggan melanjutkan pertandingan.
Perseteruan dengan PSMS juga terjadi pada tahun 1975. Final yang diharapkan seru kembali terhenti karena permainan keras kedua tim.
Pertandingan juga dihentikan saat kedudukan 1-1 karena dianggap sudah tidak kondusif. Akhirnya PSSI melalui ketua umum Bardosono menjadikan Persija dan PSMS sebagai juara bersama.
Persija dan PSMS juga kembali bertemu dalam laga penentuan juara, kali ini pada 1979. Lagi-lagi sempat terjadi ketegangan dan keributan tapi kali ini pertandingan tidak terhenti. Persija menang 1-0 atas PSMS melalui sundulan Andi Lala.

Pemain Persija Jakarta Arif Catur Pamungkas (kanan) berebut bola dengan pemain Persebaya Witan Sulaeman pada laga BRI Liga I di Stadion Gelora Bung Karno, Minggu (30/7/2023).
3. Persebaya Surabaya
Persebaya juga kerap beberapa kali bersinggungan dengan Persija bahkan sejak masih bernama SIVB. Sebut saja pada kompetisi 1933 di Surabaya dan 1934 di Bandung yang mana VIJ selalu unggul dari SIVB Surabaya.
Lalu pada 1938, VIJ juga unggul dari SIVB dalam kompetisi PSSI di Kota Solo. Pada era modern, keduanya terlihat berkompetisi pada tahun 1970an dan 1988.
Pada 1973, Persija menang atas Persebaya dan memastikan si Merah-Putih kembali juara setelah terakhir pada 1964.
Persebaya berhasil membalaskan dendamnya usai menang dalam final Kompetisi PSSI 1978. Bajul Ijo saat itu menang 4-3.
Kerasnya pertandingan melawan Persebaya era 1970an dirasakan Sutan Harhara. Pemain asli Jakarta itu mengatakan bahwa setiap bertemu dengan Persebaya selalu panas.
“Selau panas dan gak jarang kita berseteru di lapangan, tapi saat dipanggil timnas, pemain Persija dan Persebaya baik-baik saja,” ujar Sutan kepada kepada penulis beberapa waktu lalu.
Lalu pada 1988, Persija kembali bertemu Persebaya di Senayan. Persija kembali kalah dalam perebutan juara dan hanya meraih posisi runner-up.
Boleh dibilang, Persebaya adalah rival sejati Persija. Suasana pertandingan selalu panas saat keduanya bertemu entah itu di turnamen ataupun Liga 1.