Ketika Indonesia Raya Menggema di Asian Youth Games Bahrain: Sashenka Fatimah Menaklukkan Asia untuk Emas Keempat Indonesia

Akhmad Sef

LUDUS - Di sebuah aula megah bernama Exhibition World Bahrain, Kamis malam 30 Oktober 2025, seorang gadis berusia lima belas tahun berdiri di atas tatami dengan tatapan tajam dan langkah kecil yang mantap. Di depannya, Monika Khuyenthem dari India, salah satu judoka paling disegani di kelas -63kg, bersiap dengan napas berat. Namun hanya butuh beberapa detik sebelum tubuh Monika terhempas ke lantai. “Ippon,” seru wasit. Dan sesaat kemudian, bendera Merah Putih berkibar di layar arena.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Nama gadis itu: Sashenka Cahaya Fatimah, atau akrab disapa Shenka. Ia adalah pelajar SMP Ragunan, anggota Judo Cempaka Putih Jakarta, dan kini pemilik medali emas keempat Indonesia di Asian Youth Games 2025, sebagai emas keempat untuk tim Merah Putih.

Ketika semua mata menyorotnya di Bahrain, Shenka masih anak-anak yang suka bermain boneka di rumahnya di DKI Jakarta. Lahir pada 14 November 2010, bungsu dari empat bersaudara ini memulai latihan judo di usia enam tahun. Ia bukan anak yang disiapkan dengan ambisi besar; ia hanya jatuh cinta pada “olahraga banting-bantingan” yang baginya tampak lucu dan menantang.

“Saya suka lihat orang jatuh tapi bisa bangun lagi,” katanya ketika dihubungi LUDUS.id, jujur.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Kalimat itu sederhana, tapi di dalamnya ada kebijaksanaan yang jarang dimiliki anak lima belas tahun. Ia memahami bahwa jatuh dan bangkit bukan hanya teknik dalam judo, melainkan irama kehidupan itu sendiri. Seperti kata filsuf Jepang, Kano Jigoro, pendiri judo: “Judo adalah jalan untuk menggunakan energi secara efisien, baik tubuh maupun jiwa.” Dalam tawa polosnya, Shenka telah memahami esensi itu lebih dari banyak orang dewasa.

Perjalanan panjang menuju podium Asia itu sesungguhnya telah bermula dari tatami kecil di Jakarta, hampir satu dekade silam. Tahun 2016, ketika anak-anak seusianya masih belajar menulis rapi di buku bergaris, Sashenka Fatimah, yang kala itu baru enam tahun, sudah belajar jatuh dan berdiri lagi. Dari sana, aroma kompetisi pertama tercium: Juara 3 Kejuaraan Beregu UNJ Junior Senior dan Juara 3 Cempaka Putih Open Judo Championship kelas -30 kg.

Setahun kemudian, 2017, langkah kecil itu mulai menemukan iramanya. Ia naik podium demi podium: Juara 2 HUT Padepokan Judo Taruno Karawang ke-12, Juara 2 Kejuaraan Judo Pelajar & Mahasiswa, Juara 3 Menuju Monas Open International, semuanya di kelas -27 kg. Satu per satu, medali itu menjadi tanda bahwa perjalanan ini bukan sekadar permainan anak kecil.

Lalu 2018 datang, membawa titik balik: emas pertamanya di Kejuaraan Judo Pelajar & Mahasiswa (kelas -34 kg). Dari sana, lahirlah keyakinan, bahwa tatami bukan sekadar lantai, tapi panggung bagi masa depan.

Tahun 2019, langkahnya makin mantap. Dari Jakarta Pusat hingga Jeju Cup International di Korea, ia meraih dua perak yang menandai awal keberanian menatap dunia. Ia tak lagi hanya bertanding melawan lawan, tapi juga melawan rasa takut dan batas dirinya sendiri.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Pandemi tiba pada 2020, mematikan banyak ruang latihan. Namun, di saat banyak yang berhenti, Shenka justru melesat: Juara 1 Karawang International Judo Festival (kelas +32 kg). Tahun 2022, namanya kembali terukir di podium UNJ Cup (kelas +47 kg).

Dan 2023 menjadi tahun ledakan. Seolah tak mau berhenti, ia menggenggam emas demi emas, dari UNS Cup, Kejurnas Pelajar, Kejurda DKI, hingga Jakarta International dan Penang Invitational. Enam podium, enam bukti ketekunan yang menjelma kilau.

Tahun berikutnya, 2024, ia meneguhkan dominasi itu: sapu bersih tiga kejuaraan nasional dan satu gelar Pemain Terbaik. Dan ketika 2025 tiba, takdir seolah menunduk memberi jalan: emas Kejurnas Pelajar, perak di tiga Asian Cup berbeda, peringkat tiga Asia Cadet Championship, dan akhirnya, emas di Asian Youth Games Bahrain.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Dua belas tahun perjalanan dari sabuk putih menuju emas Asia. Dua belas tahun jatuh, bangkit, berpeluh, dan bermimpi. Sebuah kisah yang, mungkin, lebih panjang dari usia remajanya sendiri, tapi justru di sanalah umur sejati seorang juara diukur.

Barangkali di situlah judo menanamkan falsafahnya: bahwa setiap jatuh punya alasan untuk bangkit. Setiap kekalahan adalah bagian dari kemenangan yang tertunda. Shenka memahaminya tanpa perlu kata-kata besar.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Malam sebelum final, ia tidak berpikir akan jadi juara. Ia hanya menyiapkan diri seperti biasa: tidur tepat waktu, memastikan sabuk dan gi-nya rapi, menyiapkan alat pertandingan, dan berdoa.

“Waduh, saya sih tidak kepikiran dapat gold medal,” ucapnya polos. “Tapi di dalam hati saya, saya yakin saya bisa. Tidak ada yang tidak mungkin.”

Barangkali itulah yang disebut keyakinan murni, bukan karena ambisi, melainkan karena ketulusan. Keyakinan yang muncul dari kebiasaan berlatih, dari kesetiaan pada proses. Dalam dunia anak-anak yang kini dipenuhi keinginan instan, Sashenka menunjukkan bahwa kesabaran masih punya tempat di podium.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Keyakinan itu menyalakan bara di matanya. Satu per satu lawan ditaklukkannya. Dari satu arena ke arena berikutnya, ia melangkah seperti sedang menulis takdirnya sendiri: Li Zexuan dari China tumbang di perempat final, Enkhtaivan Anudari dari Mongolia disingkirkan di semifinal, dan di partai puncak, Khuyenthem Monika Devi dari India menjadi saksi akhir perjalanan panjang yang berujung pada emas. Semua ia hadapi dengan kepala dingin, seperti yang diajarkan sang pelatih, Coach Samsul Bachri Sani.

“Dia anak yang sangat patuh di matras,” kata Coach Samsul. “Sebelum pertandingan kami arahkan untuk tenang, dan Shenka selalu mendengar arahan pelatih. Ia menikmati pertandingannya.”

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Kepatuhan adalah bentuk kebijaksanaan awal. Dalam judo, siapa yang terlalu ingin menang biasanya kehilangan keseimbangan, bukan karena lawan menjatuhkan, tapi karena dirinya sendiri yang goyah. Shenka justru sebaliknya: ia menikmati prosesnya, menjadikan setiap detik di matras sebagai ruang belajar. Seperti kata Jigoro lagi, “Tujuan akhir judo bukan kemenangan atau kekalahan, tetapi penyempurnaan diri manusia.”

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Tak heran jika performanya di Bahrain begitu solid. Pelatnas setahun penuh di Ragunan membentuk mental dan tekniknya. Tahun itu, tim judo muda Indonesia bahkan sempat tur ke Hong Kong, Makau, dan Yordania, ajang pemanasan untuk mengukur nyali.

“Hasil tur itu membawa dampak besar. Ia makin percaya diri,” ujar Samsul.

Kepercayaan diri bukanlah kesombongan. Ia lahir dari pengalaman diuji di tempat-tempat jauh, dari setiap tatami asing yang membuat seseorang sadar betapa kecil dirinya, dan betapa besar kemungkinan yang masih bisa dicapai.

Sekjen PB PJSI Regina Lefrandt Vega (kanan) setelah mengalungi medali kepada para pemenang. Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Sekjen PB PJSI Regina Lefrandt Vega (kanan) setelah mengalungi medali kepada para pemenang. Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Sekjen Pengurus Besar Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PB PJSI), Regina Lefrandt Vega, menyebut Sashenka bagian penting dari regenerasi judo nasional.

“Kami percaya PPOP Ragunan bisa membina mereka. Kami mendukung semua kebutuhan atlet cadet karena kami sedang menyiapkan regenerasi agar tak ada gap,” ujarnya.

Langkah PB PJSI patut diapresiasi. Di tengah tantangan membina cabang yang kerap luput dari sorotan publik, mereka berani menanam investasi jangka panjang: menyiapkan generasi baru yang tak hanya kuat secara teknik, tetapi juga matang secara karakter. Sashenka adalah bukti nyata dari keberanian itu, buah dari kepercayaan, kerja sistematis, dan kesabaran membangun dari akar.

Kata regenerasi memang menjadi kunci di sini. Sashenka bukan hanya hasil dari latihan, tetapi juga hasil dari sistem yang masih belajar tumbuh. Dalam dirinya, tersimpan harapan agar judo Indonesia tidak hanya hidup di papan skor, tapi juga di hati para anak muda yang berani bermimpi. Regenerasi, pada hakikatnya, adalah tentang keberanian menyerahkan masa depan kepada tangan-tangan muda yang masih gemetar tapi murni.

Bagi Shenka, kemenangan bukanlah garis akhir. Ia memaknainya sederhana:

“Kemenangan adalah keberhasilan dalam mencapai tujuan, mengalahkan lawan, atau mengatasi kesulitan.”

Sementara perjuangan, katanya, adalah

“Usaha besar untuk meraih tujuan, yang butuh pengorbanan sangat besar.”

Kalimat itu terdengar seperti refleksi seorang juara sejati. Ia membedakan antara kemenangan yang gemerlap dan perjuangan yang sunyi. Mungkin tanpa ia sadari, ia sedang mengulang kebijaksanaan Kahlil Gibran: “Kerja adalah cinta yang tampak.” Dalam kerja keras dan bantingan-bantingan kecilnya, cinta itu memang tampak.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Maka kemenangan di Bahrain bukan semata tentang emas, melainkan tentang perjalanan panjang dari tatami kecil di Jakarta menuju podium Asia. Tentang seorang anak yang di antara latihan masih sempat bermain boneka, tapi di arena bisa menjatuhkan lawan dua kali usianya. Tentang keluarga yang menjadi jangkar kepercayaan diri.

“Orang tua, pelatih, dan teman-teman saya yang selalu ada, itu yang bikin saya percaya diri,” ujarnya.

Cinta, dalam bentuk dukungan, pelukan, dan doa, selalu menjadi bahan bakar yang paling halus bagi seorang atlet. Tanpa itu, teknik sehebat apa pun hanya menjadi gerakan kosong. Setiap langkahnya di atas tatami sesungguhnya adalah gema dari cinta itu sendiri. Ayahnya, Zamrony Zamir, tak hanya mengajarinya tentang strategi, tapi juga tentang makna jatuh dan bangkit. Ibunya, Ira Puspita Sari, menyelipkan doa di setiap lipatan gi putihnya, menyalakan keberanian di balik senyum yang tampak tenang. Dari mereka, Sashenka tahu: cinta orangtua bukan tepuk tangan di tribun, melainkan tenaga tak kasat mata yang mendorong tubuh kecilnya menaklukkan dunia.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Ketika ditanya tentang mimpinya, matanya berbinar.

“Saya ingin jadi juara dunia dan juara Olimpiade. Saya ingin melihat orang tua saya bangga, dan bisa mengibarkan bendera Merah Putih di podium terbesar lagi.”

Mimpi itu mungkin terdengar besar untuk seorang anak lima belas tahun, tetapi setiap mimpi besar selalu berawal dari kesederhanaan hati. Seperti kata Nelson Mandela, “Semua tampak mustahil sampai akhirnya selesai.”

Masih ada jalan panjang ke sana. Usai Asian Youth Games, ia akan turun di POPnas 2025 di Jakarta, membawa nama DKI, lalu bersiap menuju Olimpiade Remaja (OYG) Dakar 2026. Tapi bagi Sashenka, semua itu bukan beban, melainkan undangan untuk terus bertumbuh.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Dalam setiap bantingan, ia belajar tentang kehidupan: bahwa kemenangan bukan soal menjatuhkan, tapi tentang bagaimana bangkit dengan tenang setelah jatuh. Dalam setiap tepuk tangan penonton, ia mungkin mendengar gema kecil dari masa depan, suara yang berkata bahwa mimpi besar selalu berawal dari hati yang tulus dan sabuk putih yang pertama kali diikatkan dengan rasa ingin tahu.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Di atas podium Bahrain malam itu, Sashenka Fatimah berdiri dengan tangan kecil menggenggam medali emas, tapi sejatinya, yang ia genggam adalah harapan sebuah bangsa. Ketika lagu Indonesia Raya mengalun di aula megah itu, Shenka menunduk pelan. Ia menggigiy bibir tipisnya. Matanya berkaca-kaca. Menangis. Senyum manisnya menyimpan getar yang tak tertangkap kamera: antara bangga dan rendah hati, antara lelah dan syukur.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Bendera Merah Putih naik perlahan, seirama dengan degup jantungnya yang berdebar. Dalam detik itu, seluruh jatuh dan luka, air mata dan keyakinan, menjelma menjadi warna merah keberanian dan putih ketulusan. Ia tidak hanya mengangkat namanya sendiri, tapi juga nama negeri yang melahirkan anak-anak sederhana, yang berani jatuh, lalu bangkit, dan mencintai tanah air dengan segenap hati.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Sashenka Cahaya Fatimah, bisa kita baca sebagai “penjaga yang bercahaya dan mulia”. Sebuah identitas yang menggabungkan kekuatan pelindung, sinar yang menerangi kegelapan, dan kemuliaan yang dihormati.

Maka, mari kita biarkan nama tersebut menjadi semacam bunyi yang melekat: bahwa setiap sosok, sebagaimana yang telah ia kisahkan perjuangannya, bukan hanya sekadar berjalan, tetapi juga menjaga, menerangi, dan memuliakan kehidupan yang disentuhnya, dari setiap langkah yang ia tapaki di atas tatami dan di dalam hidup.

Dan di tengah gemuruh tepuk tangan, lagu kebangsaan itu masih mengalun, seperti doa yang menembus langit Bahrain. Shenka tersenyum. Senyum kecil itu adalah nasionalisme dalam bentuk paling murni: cinta yang tidak diucapkan, tapi diperjuangkan, hingga bendera itu kembali berkibar di langit podium Asia.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!