Nathan dan Marco Yacub: Bahasa Tanpa Kata antara Manusia dan Kuda, Lompatan Seorang Anak, Bayangan Seorang Ayah

Ludus01

“Antara manusia dan kuda, ada bahasa tanpa kata, dan hanya hati yang bisa menerjemahkannya.”

LUDUS - Ada sesuatu yang magis setiap kali seorang anak muda menaiki pelana untuk pertama kalinya. Dari jauh, tampak tubuhnya tegap namun matanya masih menyimpan ragu; dari dekat, tampak bahwa ia sedang belajar mempercayai makhluk yang sepenuhnya berbeda darinya. Di tengah suara derap dan debu yang beterbangan, ada momen ketika dua makhluk itu menyatu: manusia dan kuda, keberanian dan keraguan.

Di antara sekian banyak penunggang di Kejuaraan Nasional Show Jumping 2025 itu, bulan lalu, ada satu sosok yang mencuri pandangan banyak orang. Usianya baru tujuh belas tahun. Masih berseragam abu-abu, masih menyiapkan ujian sekolah, tetapi di atas pelana, ia tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Dengan gagah ia duduk tegak, tangannya mantap memegang kendali, matanya tajam menatap lintasan di depannya.

Siapakah dia? Bagaimana ia bisa jatuh cinta pada dunia yang bagi kebanyakan remaja tampak asing dan mahal ini? Dan benarkah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” berlaku padanya?

Inilah kisah Nathan Edward Kareem Yacub, dan ayahnya, Marco Rosihan Yacub, dua generasi yang terhubung oleh satu hal yang sama: cinta pada kuda, dan irama hidup yang berderap dalam satu jiwa.

Mereka bilang, di setiap lompatan kuda, ada dua jantung yang berdetak dalam satu irama. Satu milik manusia, satu lagi milik hewan yang tak bisa berbicara tapi bisa merasakan. Di arena Kejuaraan Nasional Show Jumping 2025, di tengah tepuk tangan dan denting sepatu besi yang menghantam tanah, irama itu berpadu dalam tubuh seorang remaja berusia 17 tahun: Nathan Edward Kareem Yacub. Ia dan kudanya, Jet Fire, menyelesaikan lebih cepat dari lawannya di kelasnya Individual U18, dan emas pun mendarat di pelukannya.

Nathan lahir pada 10 Oktober 2007, kini duduk di kelas 3 SMA Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta Selatan. Di balik prestasinya yang mulai menanjak di dunia berkuda, ia tetap anak remaja yang menyeimbangkan tugas sekolah, latihan, dan kehidupan sosialnya. “Kalau latihan sore, pagi biasanya belajar dulu,” katanya. “Keduanya penting. Karena berkuda pun butuh disiplin seperti belajar di sekolah.”

Di tribun, sang ayah, Marco Rosihan Yacub (45), berdiri dengan mata berkaca. Barangkali itu bukan sekadar kebanggaan seorang ayah, melainkan gema masa kecil yang kembali berderap di dalam dirinya, masa ketika ia sendiri pernah menunggang kuda di lintasan yang sama, tiga dekade silam.

Marco lahir dari garis panjang penunggang kuda. Kakeknya berkuda, ayahnya pun demikian. Ia mengenal pelana sejak usia tujuh tahun di klub kecil bernama Satria Kinayungan, di Warung Buncit. Tahun berikutnya, bocah delapan tahun itu sudah ikut lomba. “Bapak saya senang berkuda juga, kakek dari bapak berkuda juga. Dari situ sering lihat mereka berkuda, akhirnya suka juga,” kenangnya.

Dari sekadar hobi keluarga, kuda menjadi bagian dari hidupnya. Pada PON XIV Jakarta 1996, ia turun mewakili kontingen Sulawesi Utara di arena Arthayasa dan meraih medali emas. Tapi hidup, seperti lintasan show jumping, selalu menghadirkan belokan tak terduga. Marco berangkat ke luar negeri, sekolah hingga kuliah di Manhattan College, New York. Ia meninggalkan kuda, mengganti pelana dengan stik golf, mengganti aroma tanah dengan hijau rumput lapangan. Golf pun memberinya prestasi, tapi tak memberi dentum jantung yang sama.

Dua perusahaan kini berdiri di bawah kepemimpinannya: PT Arthasia Cipta Pratama dan PT Parama Mitra Energi yang berkiprah di dunia energi dan renewable energi. Namun di antara deru mesin, laporan keuangan, dan kesibukan yang menderas seperti arus industri, Marco masih menyimpan satu irama yang tak pernah padam: langkah kuda yang dulu menemaninya tumbuh, mengajarkan arti keseimbangan antara ambisi dan ketenangan.

Empat tahun lalu, di tahun 2021, ia terjatuh dari kuda dan cedera. Swing golf terhenti. Namun justru dari jeda itu, jalan kembali ke kuda terbuka. “Saya mulai lagi menemani anak saya,” katanya pelan. Anak itu, Nathan, menemukan cinta pada kuda seperti ayahnya dulu: bukan lewat paksaan, tapi melalui penglihatan yang diam-diam menyala.

Nathan mengenal kuda dari sepupu yang mengajaknya menunggang di stable Depok. Dari sana, lahir cinta yang aneh: perpaduan antara keberanian, rasa ingin tahu, dan ketenangan. “Berkuda itu unik,” katanya, “selain olahraga, kita berinteraksi dengan makhluk hidup. Harus memahami karakternya.”

Ia belajar dari nol. Setahun pertama hanya meminjam kuda stable. Kini ia punya dua: Misty dan Thunder, serta satu kuda pinjaman dari owner stable Jusmin Suwoko bernama Jetfire L’Avenir, partner yang membawanya meraih medali emas. Ia tak meminta kuda khusus, tapi mencari bersama ayahnya, kuda yang klik dengan dirinya.

“Setiap kuda punya sifat sendiri,” kata Nathan. “Kita harus saling mengenal. Kalau tidak, mereka bisa menolak perintah atau malah takut.” Itu bukan sekadar pelajaran teknik, melainkan pelajaran hidup: bahwa hubungan terbaik dibangun bukan dengan kuasa, tapi dengan saling percaya.

Pelatihnya, Rahmat Natsir, yang mengenal dunia kuda sejak usia 8 tahun dan kini membina stable di di Anantya Riding Club, Karanggan, menyebut Nathan sebagai murid dengan feeling tajam dan semangat besar. “Dia baru dua setengah tahun ikut lomba, tapi perkembangan cepat sekali. Punya fighting spirit bagus,” kata Rahmat.

Bersama Jet Fire, Nathan menaklukkan rintangan setinggi 115 sentimeter di CSI-Y pada bulan Januari 2025. Padahal, tiga tahun lalu, ia hanya bisa melompati 50 sentimeter. Dalam cabang show jumping, atlet hanya punya 30 menit sebelum lomba untuk menghafal lintasan berisi 10–12 rintangan. Sekali salah perhitungan, satu sentimeter saja, maka semuanya bisa berantakan. “Kuncinya membaca situasi dan mengambil keputusan di detik yang tepat,” ujar pelatihnya.

Bagi Nathan, itu bukan sekadar lomba, melainkan pelajaran sabar dan keberanian. Ia pernah jatuh, tapi selalu bangkit. Pernah ditolak kudanya, tapi tetap datang ke stable esok harinya. Di dunia yang sering menuntut hasil cepat, ia memilih belajar dari kesunyian: dari napas kuda yang teratur, dari tanah yang diinjak berulang, dari keheningan sebelum lompatan.

Marco menatap anaknya dengan cara yang hanya dimengerti seorang ayah yang pernah jatuh dan bangkit di arena yang sama. “Naik kuda itu kerja sama,” katanya. “Kita harus jepit punggungnya, rasakan tenaganya. Bukan sekadar menunggang, tapi menyamakan irama.”

Di keluarganya, irama itu kini berpindah generasi. Di rumah mereka di Jakarta, ada Jamie Azra Hakeem Yacub (10), adik Nathan yang sesekali ikut menonton kakaknya berlatih dan mulai tertarik dengan dunia yang sama. Dan di samping mereka, ada sosok yang jarang tampil di arena tapi selalu hadir di setiap langkah: Rizma Toosye Suada, sang ibu. Ia bukan penunggang, tapi penjaga ritme keluarga. Dialah yang memastikan setiap pagi berjalan lembut, setiap kompetisi disertai doa, setiap luka disembuhkan bukan hanya oleh obat, tapi juga pelukan.

“Rizma itu seperti joki ketiga,” kata Marco suatu kali, tersenyum. “Dia tidak di atas kuda, tapi menjaga keseimbangan rumah, supaya semua tetap tenang.”

Jika Marco mewariskan semangat, maka Rizma menanamkan ketenangan, dua hal yang membuat Nathan tumbuh dengan keseimbangan antara nyali dan nurani. Dalam dunia yang menuntut lompatan tinggi, kehadiran ibu menjadi tanah yang membuat langkah kembali berpijak.

Darah berkuda dalam keluarga Yacub bukan hanya tentang warisan, tapi tentang kontinuitas rasa. Tentang bagaimana seekor kuda bernama Jet Fire bisa menjadi jembatan antara masa lalu seorang ayah dan masa depan anaknya. Tentang bagaimana seorang ibu menjaga nyala itu tetap utuh, tanpa pernah memegang tali kekang.

Ketika Nathan berdiri di podium Kejurnas 2025, mewakili DKI Jakarta, medali emas menggantung di lehernya, mungkin yang ia dengar bukan tepuk tangan penonton, melainkan suara langkah kuda ayahnya di masa lalu, menyapa dari lintasan waktu yang jauh.

Dan seperti setiap hubungan antara manusia dan kudanya, kisah keluarga ini adalah tentang saling percaya, tentang keberanian menatap rintangan yang lebih tinggi, dan tentang keyakinan sederhana bahwa di dunia yang berlari cepat, ada kebahagiaan yang justru ditemukan dalam ritme pelan seekor kuda yang melompat.

“Berkuda bukan tentang menaklukkan kuda,” tulis seorang pelatih kuda dalam catatannya, “melainkan tentang menemukan keseimbangan antara kendali dan kebebasan, seperti halnya dalam hidup dan dalam keluarga.”

Begitulah Nathan Edward Kareem Yacub dan Marco Rosihan Yacub!

Dan dari kisah itu, kita tahu: Nathan bukan sekadar remaja tujuh belas tahun yang jatuh cinta pada dunia berkuda. Ia adalah the best youngster, penunggang muda terbaik yang kini membela DKI Jakarta, dan perlahan menapaki jalan menuju tim nasional. Di setiap lompatan, ia membawa bukan hanya semangat ayah dan ibunya, tapi juga lambang Merah Putih yang suatu hari akan ia wakili di kancah internasional.

Karena antara manusia dan kuda, ada bahasa tanpa kata, dan hanya hati yang bisa menerjemahkannya.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!