Pekan Olahraga Nasional (PON) sebentar lagi akan dimulai di Aceh dan Sumatera Utara, pada 8-20 September 2024. Kompetisi olahraga terbesar se-Indonesia ini menyimpan banyak sejarah, terutama ketika pertama kali digelar pada 1948.
PON merupakan ajang olahraga terbesar di Indonesia yang pertama kali digelar pada bulan September 1948 di Kota Solo, Jawa Tengah. Penyelenggaraan PON perdana ini merupakan hasil dari konferensi yang diadakan oleh Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) pada 2-3 Mei 1948 di Solo.
Konferensi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah olahraga Indonesia, khususnya dalam upaya membangkitkan semangat nasionalisme melalui olahraga di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang berlangsung.
Jika melihat lebih jauh ke belakang, PORI dibentuk pada 1946 melalui sebuah kongres olahraga yang diadakan di Solo. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah yang menaungi berbagai cabang olahraga di Indonesia, meliputi sepak bola, bola basket, renang, atletik, bulu tangkis, tenis, panahan, bola keranjang, pencak silat, dan gerak jalan.
PORI merupakan pengembangan dari organisasi sebelumnya, Ikatan Sport Indonesia (ISI), yang didirikan pada 15 Oktober 1938 oleh para pemuda Indonesia sebagai federasi yang menghimpun seluruh organisasi dan insan olahraga di tanah air.
Seiring waktu, PORI kemudian bertransformasi menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), yang hingga saat ini tetap menjadi organisasi olahraga tertinggi di Indonesia. Tanggal berdirinya Ikatan Sport Indonesia kemudian diperingati sebagai hari jadi KONI.
Selain PORI, kongres olahraga yang berlangsung di Solo pada 1946 juga melahirkan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI). Pada 1948, PORI, melalui KORI sebagai perantara, mencoba mengajukan Indonesia untuk berpartisipasi dalam Olimpiade 1948 di London.
Namun, karena situasi politik dalam negeri yang masih belum stabil, Indonesia gagal mengirimkan delegasinya. Sejarawan Andi Achdian menerangkan ada alasan politik di balik penolakan IOC dan kelahiran PON. Ini menjadi ‘perlawanan’ Indonesia di dunia olahraga.
“Walaupun Indonesia sudah menyatakan kemerdekannya pada 1945, tetapi tidak di dunia Internasional. Secara de jure, Indonesia belum diakui sebagai sebuah negara, jadi dalam beberapa hal Indonesia diakui sebagai bagian dari kerajaan Belanda atau Hindia Belanda,” ujar Andi Achdian, dikutip dari Youtube Kompas TV.
Alasan lainnya adalah karena Indonesia belum diakui sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai organisasi induk olahraga di Indonesia belum tergabung dalam federasi olahraga internasional. Inggris juga menolak paspor Indonesia kecuali Indonesia bersedia bergabung di bawah kontingen Belanda.
PON dapat dukungan
Kegagalan tersebut tidak menyurutkan semangat para pemimpin olahraga Indonesia. Untuk menjaga semangat para atlet dan mengobarkan kembali rasa kebangsaan melalui olahraga, PORI kemudian menggelar konferensi darurat di Solo pada 2-3 Mei 1948. Konferensi ini melahirkan keputusan untuk menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional atau PON. PORI mengambil inspirasi dari Pekan Olahraga Nasional yang sebelumnya pernah diadakan oleh Ikatan Sport Indonesia (ISI) pada 1938 dan 1942.
PON pertama ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp1.500 untuk membantu penyelenggaraan PON pertama, meskipun pada saat itu Indonesia masih menghadapi revolusi fisik melawan Belanda yang masih menguasai beberapa daerah. Dukungan pemerintah ini menunjukkan betapa pentingnya peran olahraga dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan persatuan di tengah perjuangan kemerdekaan.
PON pertama yang digelar di Solo itu diikuti oleh kota-kota dan keresidenan yang ada di Jawa. Pada masa itu, PON belum melibatkan provinsi-provinsi di Indonesia karena situasi politik yang belum memungkinkan. Sebanyak 600 atlet dari 13 kota dan keresidenan di Jawa berpartisipasi dalam PON pertama ini. Mereka bersaing memperebutkan 108 medali di 9 cabang olahraga, yaitu sepak bola, atletik, renang, bulu tangkis, basket, bola keranjang, tenis, panahan, dan pencak silat.
13 keresidenan yang menjadi peserta PON I adalah Banyumas (44 kontingen), Bojonegoro (31), Jakarta (82), Yogyakarta (148), Kediri (117), Madiun (70), Magelang (35), Malang (65), Pati (111), Priangan (72), Semarang (28), Surabaya (60), dan Solo (150).
Meski hanya diikuti oleh kota-kota di Jawa, PON I berhasil menarik perhatian besar dari masyarakat. Setiap hari, lebih dari 40 ribupenonton memadati Stadion Sriwedari, tempat berlangsungnya PON I, untuk menyaksikan berbagai pertandingan. Cabang olahraga seperti sepak bola, atletik, renang, bulu tangkis, basket, dan pencak silat menjadi yang paling banyak diminati oleh penonton.
Kemeriahan PON I di Solo juga tampak dari kehadiran tokoh-tokoh penting nasional. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta sejumlah menteri dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) turut hadir dalam acara ini. Panglima Besar Soedirman dan anggota Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia juga menyaksikan langsung pertandingan-pertandingan yang digelar.
Kehadiran para pemimpin nasional dan internasional ini menunjukkan bahwa PON bukan hanya sekadar ajang olahraga, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan bangsa Indonesia di mata dunia.
Dalam pidato pembukaan PON pada 9 September 1948 di Stadion Sriwedari, Presiden Soekarno menyampaikan rasa bangganya terhadap para atlet yang berpartisipasi, terutama mereka yang berasal dari daerah yang masih diduduki oleh Belanda.
Presiden Soekarno juga menekankan PON tidak hanya bertujuan untuk mengasah kemampuan fisik, tetapi juga untuk membina semangat dan jiwa yang sehat. Presiden berharap PON dapat menjadi sarana untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa di tengah situasi politik yang masih belum stabil.
Pada PON pertama, ada sembilan cabang olahraga yang dipertandingkan. Cabang olahraga tersebut adalah atletik yang berisikan disiplin seperti lari, lompat, dan lempar. Lalu ada bola basket, bola voli, bulutangkis, panahan, pencak silat, renang dengan nomor perlombaan gaya bebas, bebas punggung, dan gaya kupu-kupu.
Selain itu, ada pula cabor sepak bola yang sangat diminati masyarakat Indonesia kala itu, serta yang terakhir adalah tenis yang mempertandingkan nomor tunggal serta ganda.
Di akhir gelaran PON I, Keresidenan Surakarta berhasil meraih gelar juara umum dengan total 36 medali, terdiri dari 16 medali emas, 10 medali perak, dan 10 medali perunggu. Posisi kedua diraih oleh Yogyakarta dengan 23 medali, yaitu 11 medali emas, 9 medali perak, dan 3 medali perunggu. Sementara itu, Keresidenan Kediri menempati posisi ketiga dengan 12 medali, terdiri dari 6 medali emas, 4 medali perak, dan 2 medali perunggu.
Pekan Olahraga Nasional (PON) hingga kini terus berkembang dan menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi di Indonesia. Sejak PON I di Solo, ajang ini telah menjadi simbol kebangkitan olahraga nasional dan menjadi arena bagi para atlet dari seluruh Indonesia untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka.
PON juga berperan penting dalam pembentukan atlet nasional yang bersiap untuk berlaga di ajang Internasional. Dengan terus diadakannya PON, Indonesia berharap dapat terus melahirkan atlet-atlet berprestasi yang mampu bersaing di kancah internasional dan mengharumkan nama bangsa di dunia olahraga.