Semangat Shiroite Karate-do Taman Menteng dalam Membina Karateka Muda

Kredit foto: Ludus.id/Gerry Anugrah Putra
Murid Shiroite Karate-do sedang berlatih di dojo Taman Menteng, Jakarta Pusat.

“Osh!”

Salam khas karate itu menggema di sebuah ruangan di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Puluhan anak-anak terlihat sedang memberikan salam kepada pelatih karate mereka sebelum berlatih.

Oshinabu, yang juga sering disebut sebagai salam Osh, merupakan salam yang memiliki arti mendalam bagi karate. Osh berarti pantang menyerah dan ini menjadi semangat bagi karateka di seluruh dunia.

Semangat pantang menyerah itu terlihat dalam diri anak-anak yang berlatih karate di Perguruan Shiroite Karate-do Dojo Taman Menteng. Ludus disambut hangat oleh pelatih Dojo Taman Menteng, Renshi Ardiyus, S.T. Penyandang Sabuk Hitam Karate DAN VI (Roku DAN)

“Selamat datang di Dojo kami,” ujar Renshi Ardiyus kepada Ludus.

Pria yang juga berprofesi sebagai Wasit Karate Asia itu kemudian menjelaskan bagaimana sejarah Perguruan Shiroite Karate-do berdiri. Sebagai salah satu perguruan karate tertua di Indonesia, tentu banyak cerita menarik dari perguruan ini.

“Shiroite Karate-do ini merupakan organisasi perguruan Karate yang didirikan pada 14 April 1970,” kata Renshi Ardiyus.

Kredit foto: Ludus.id/Gerry Anugrah Putra
Renshi Ardiyus ST, pengelola Shiroite Karate-do dojo Taman Menteng.

Perguruan Shiroite Karate-do ini didirikan oleh almarhum Shihan Dr Tojo Simanjuntak. Dia awalnya berguru kepada Shihan Shinya Matsuzaki, lalu memperdalam ilmu karatenya kepada Shihan Senno Suke Ueshima di Osaka, Jepang.

Shihan Tojo Simanjuntak menyempurnakan karakter Shiroite Karate-do dengan mengombinasikan gerakan karate dan jiu jitsu ke dalam gaya karate. Perguruan ini pun cukup sukses dengan memiliki banyak dojo di Indonesia.

Saat ini, Shiroite Karate-do dipimpin oleh Soke Andrew H.D. Simanjuntak sebagai Ketua Umum yang juga Ketua Dewan Guru, serta Shihandai M Yunus sebagai Sekretaris Jenderal Perguruan. Shiroite hingga saat ini masih terus melakukan pembinaan para karateka muda dan menjaga marwah perguruan Shiroite yang memiliki ‘Kepalan Putih’ ini.

“Jadi sudah 54 tahun kita di Shiroite melakukan pembinaan kepada generasi muda,” jelas Renshi Ardiyus.

Pembinaan menjadi dasar perguruan ini. Renshi Ardiyus juga menerangkan, Shiroite membina karateka dari usia dini hingga dewasa. Bahkan, Shiroite juga menjadi perguruan karate yang membina anggota TNI-Polri hingga petugas keamanan.

Motto Shiroite

“Kasih sayang senantiasa saya utamakan” dalam berlatih di perguruan Shiroite.

Motto Shiroite tersebut menjadi yang utama dalam perguruan ini. Tidak hanya itu, Shiroite Karate-do juga ingin para anggotanya untuk setia kepada negara dan karate menjadi salah satu bela diri yang terdepan membela negara.

Keberadaan dojo Shiroite Karate-do ini sudah tersebar ke seluruh Indonesia. Khusus di Jakarta, dojo perguruan ini sudah ada di lima wilayah administratif Jakarta. Dojo Taman Menteng menjadi salah satu dojo yang cukup aktif membina dan  mengembangkan karate usia muda.

“Kalau dojo Taman Menteng ini kita berdiri sejak 2015. Kita masih bertahan dengan terus melakukan pembinaan kepada generasi muda, bahkan pernah ada murid dari Rusia dan Venezuela yang berlatih di dojo Taman Menteng,” tutur Renshi Ardiyus.

Renshi Ardiyus tak pilih-pilih dalam menerima siswa di Shiroite Karate-do Taman Menteng. Bagi dia, hanya ada dua syarat untuk bisa bergabung dengan dojo Taman Menteng.

“Pertama harus sehat rohani dan jasmani, lalu syarat yang kedua harus beragama. Sesuai sumpah kita juga, Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelas Renshi Ardiyus.

Sumpah Karate Shiroite adalah, pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa; kedua, setia kepada bangsa dan tanah air Indonesia; ketiga, menghormati guru, pelatih dan bersifat sopan santun; keempat adalah berani, jujur, dan sportif, serta pembela keadilan dan kebenaran; kelima, ‘Kami akan selalu patuh dengan Jiwa Shiroite Karatedo’.

Kredit foto: Ludus.id/Gerry Anugrah Putra
Murid dan pelatih Shiroite Karate-do berpose bersama di dojo Taman Menteng, Jakarta Pusat.

Selain itu, Ardiyus juga tidak membatasi usia anak untuk bergabung dengan dojo Taman Menteng asalkan sang anak sudah bisa berkomunikasi.

“Selama sudah bisa berkomunikasi sekadar ‘halo’ dan anaknya menjawab, pelan-pelan kita didik,” tuturnya.

Renshi Ardiyus bercerita bahwa di Jepang ada anak yang masih berusia tiga tahun sudah berlatih karate. Untuk itu, dojo Taman Menteng terbuka kepada peminat tanpa melihat usia, tetapi syarat bisa berkomunikasi menjadi salah satu yang harus dipenuhi.

“Terpenting sudah bisa berkomunikasi,” ucapnya.

Total saat ini Renshi Ardiyus menyebut ada sekitar 600 hingga 700 murid yang bergabung di Shiroite Karate-do di seluruh dojo yang ada di Jakarta. Jumlah tersebut merupakan gambaran bahwa Shiroite Karate-do tak kekurangan melahirkan karateka untuk Indonesia.

Mengenali karakteristik murid

Sistem mengajar yang mengutamakan pendekatan dan mengikuti karakteristik muridnya, membuat Shiroite Karate-do Taman Menteng cukup digandrungi. Ketika Ludus berkunjung, beberapa murid dari dojo Pademangan ikut berlatih bersama dengan murid di dojo Taman Menteng.

Renshi Ardiyus menerangkan, sebagai pengajar, dia tentu harus mengikuti karakteristik anak-anaknya. Dia harus melakukan pendekatan sembari memberikan wawasan tentang karate agar bisa memahami arti bela diri tersebut.

“Ketika dia sudah mencintai baru kita masukkan program kita. Mau jadi atlet bela diri atau untuk kesehatan, nanti kita arahkan,” ucap Renshi Ardiyus.

Selain itu Shiroite Karate-do mengembangkan metode pengajaran yang unik dan efektif, terutama dalam menghadapi karakter anak-anak yang berbeda-beda. Menurut Renshi Ardiyus, setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, baik itu pemalu, kuat, atau lebih sensitif. Karena itu, pendekatan pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kepribadian masing-masing anak.

“Kami mengikuti pola dan karakter mereka sembari menanamkan kecintaan pada karate itu sendiri. Ketika mereka mencintai karate, insyaallah, mereka akan lebih bersemangat untuk mengikuti dan belajar,” ujar pelatih tersebut.

Dia menambahkan, membangun cinta pada karate diibaratkan seperti seseorang yang jatuh cinta pada orang lain.

“Kalau dia sudah suka dan jatuh cinta pada seseorang, dia akan merasa senang, dan pasti mau mengikuti apa pun yang dia sukai dan cintai.”

Metode ini terbukti efektif dalam membentuk mental dan fisik anak-anak, serta menanamkan disiplin dan kecintaan pada olahraga karate sejak dini. Shiroite Karate-do berharap pendekatan ini mampu melahirkan generasi muda yang kuat dan berkarakter melalui seni bela diri karate.

Kredit foto: Ludus.id/Gerry Anugrah Putra
Rafiansyah Bagaskara, murid Shiroite Karate-do dojo Taman Menteng.

Rafiansyah Bagaskara, salah satu karateka yang bergabung dengan Shiroite Karate-do dojo Taman Menteng, merasa senang bisa berlatih karate di perguruan tersebut.

“Saya senang di sini karena suasananya penuh kekeluargaan dan bisa berlatih fisik dan teknik karate di sini,” ujar Bagas, sapaan akrabnya kepada Ludus.

Bagas juga mampu menyalurkan hobinya di Shiroite Karate-do. Dia ingin menekuni hobinya di karate karena ingin seperti kakeknya yang juga karateka.

“Saya ingin seperti kakek saya yang memiliki sabuk hitam Dan 3,” harapnya.

Kredit foto: Ludus.id/Gerry Anugrah Putra
Adelia Cahaya Putri, murid Shiroite Karate-do dojo Taman Menteng.

Jika Bagas ingin menyalurkan hobi karate-nya di Shiroite Karate-do, Adelia Cahaya Putri ingin menjadi atlet karate yang hebat. Dia memang sudah memiliki minat besar akan karate dan sudah mengenal bela diri itu sedari kecil.

“Aku ikut karate itu dari ekskul saja, soalnya papaku juga karate dari perguruan karate lain. Tapi, aku senang bergabung di perguruan Shiroite, jadi ya diteruskan saja,” ujar Adel, sapaan akrabnya.

“Cita-citaku mau jadi atlet karate yang hebat,” tuturnya.

Tantangan dojo Taman Menteng

Renshi Ardiyus dalam menjalankan dojo Taman Menteng tidak tanpa kedala. Salah satu kendala dan tantangan terbesar yang dihadapinya adalah kurangnya asisten pelatih untuk membantu dia dalam mengajar.

“Tantangan terbesar saya di sini adalah kekurangan pelatih yang membantu. Mereka yang sudah memiliki lisensi atau sabuk hitam, sering kali memiliki dojo sendiri atau kesibukan masing-masing,” ujar Renshi Ardiyus.

Karena hal tersebut, Renshi kerap mengajar sendirian di dojo yang dia kelola, terutama pada Sabtu dan Minggu.

Situasi ini membuat Renshi Ardiyus kesulitan membagi waktu, terutama ketika ada kegiatan lain di luar dojo, seperti menghadiri undangan menjadi wasit.

“Saya minta bantuan dari asisten pelatih, tapi mereka kadang-kadang terbentur dengan kegiatan di dojo mereka sendiri, atau karena kesibukan lain seperti sekolah dan urusan keluarga,” jelas Renshi Ardiyus.

Kendala ini semakin terasa berat lantaran Renshi Ardiyus juga harus mengatur kelas secara mandiri ketika asisten pelatih tidak dapat hadir. Meskipun memiliki beberapa murid dengan kemampuan yang cukup baik, masalah waktu dan komitmen sering kali menjadi penghalang.

“Saya tidak bisa memaksa mereka, karena mereka juga punya alasan yang kuat, seperti pendidikan atau pekerjaan. Kita tidak bisa menuntut lebih dari itu,” tambah Renshi Ardiyus.

Kredit foto: Gerry Anugrah Putra
Shiroite Karate-do butuh tambahan asisten pelatih untuk mengajar para karateka.

Selain masalah kekurangan asisten pelatih, Renshi Ardiyus mengaku tidak ada kendala besar lain dalam menjalankan dojo, berkat metode pengajaran yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing siswa. Namun, tanpa dukungan asisten pelatih yang konsisten, dia mengaku beban pekerjaannya terasa lebih berat.

Renshi Ardiyus berharap dapat menemukan pelatih asisten tetap yang bisa membantu menjalankan kegiatan di dojo, sehingga latihan bisa berlangsung lebih lancar dan dia dapat lebih fokus dalam mengembangkan Shiroite Karate-do tanpa harus menangani semuanya seorang diri.

Selain itu, dia berharap agar para siswa di dojo Menteng terus berlatih dengan tekun tanpa berhenti di tengah jalan. Dia mengibaratkan latihan karate seperti menanam pohon yang harus terus dirawat hingga mencapai hasil maksimal.

“Harapan saya, semua siswa terus berlatih sampai kapanpun, jangan hanya di sini lalu berhenti karena alasan tertentu. Itu sangat disayangkan. Kita ibarat menanam pohon yang sudah berbunga dan tumbuh, tetapi kemudian dibiarkan tanpa dirawat, akhirnya mati. Kalau bisa, teruskan hingga titik akhir,” ujar Renshi Ardiyus.

Menurut Renshi Ardiyus, latihan karate bukan sekadar latihan fisik, melainkan juga pembentukan karakter yang fundamental bagi bangsa. Dia berharap para siswa dapat terus berkontribusi melalui karate dan memberikan dampak positif bagi generasi muda.

“Harapan saya, regenerasi terus berlangsung. Melalui karate, kita bisa membentuk anak-anak muda yang tangguh. Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui seni bela diri karate seperti ini. Semoga ada siswa yang berprestasi hingga tingkat nasional dan internasional, itu sangat membanggakan,” pungkas Renshi Ardiyus.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.