Para pencinta sepakbola saat ini mungkin mengenal Supriyono sebagai seorang analis sepak bola atau komentator yang kerap wara-wiri di sejumlah stasiun televisi swasta nasional. Namun, tahukah Anda bahwa dulunya Supriyono merupakan salah satu penggawa Timnas Indonesia yang sempat menimba ilmu di Italia?
Sebelum menjadi pelatih dan analis sepak bola seperti yang dijalaninya sekarang, Supriyono dulu merupakan salah satu bek jempolan di era 1990-an. Bahkan, dia termasuk dari pemain binaan PSSI dalam program Primavera yang turut merasakan kompetisi di Italia di awal tahun 1990-an.
Namun, usianya dalam berkarier sepak bola terbilang singkat, tepatnya hanya sampai usia 23 tahun. Dia terpaksa pensiun cepat saat kompetisi dihentikan karena situasi force majeure, buntut dari kerusuhan Mei 1998.
Melihat ketidakjelasan kompetisi musim 1998-1999, Supriyono pun memutuskan untuk gantung sepatu dan memilih menekuni jalur lain untuk melanjutkan hidupnya. Hingga pada 2014, dirinya memulai jalan menjadi pelatih dengan mengambil lisensi kepelatihan dan membuka Sekolah Sepak Bola (SSB) yang bertahan hingga saat ini di samping aktivitasnya sebagai komentator.
Sakit Hati dengan Bulutangkis
Supriyono yang di Salatiga pada 8 Agustus 1975 ternyata tak menggeluti sepak bola sedari kecil. Justru, dia lebih memfokuskan diri untuk berlatih bulutangkis.
Namun, ada satu kejadian yang membuatnya sakit hati dan meninggalkan bulutangkis. Momen itu terjadi sekitar tahun 1989 saat dirinya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
“Waktu itu ada Porseni SD saya main bulutangkis mewakili sekolah. Saya masuk final, tetapi saya kalah. Di situ saya gak terima dan akhirnya saya beralih ke sepak bola,” kata Supriyono ketika dihubungi Ludus.id.
Momen pahit itulah yang membuat Supriyono akhirnya memutuskan untuk menekuni sepak bola. Yang cukup mengejutkan, dia memulainya dengan berlatih sendiri alias otodidak.
“Saya manfaatkan tembok di lantai 2 rumah saya. Saya pantul-pantulin bola saja waktu itu. Saya juga suka main dengan teman sebelum dilatih oleh pelatih yang benar,” ujar Supriyono.
Ternyata, sepak bola-lah yang menjadi jalan hidup Supriyono. Dia memiliki bakat yang besar dalam mengolah si kulit bundar sampai bisa terpilih masuk ke Diklat Salatiga di tahun 1990-an awal.
“Waktu itu momen Haornas. Saya ikut mewakili Jawa Tengah untuk berangkat ke Jakarta. Saat itu mainnya di Senayan. Tim kami kalah di 8 besar, tetapi saya bisa cetak 3 gol,”
“Pas main, saya tidak berpikir ada tim pencari bakat. Tiba-tiba pulang dari situ saya disuruh ikut Diklat Salatiga,” kata Supriyono.
Di Diklat Salatiga, Supriyono pun bertemu dengan beberapa pemain yang nantinya menjadi legenda Timnas Indonesia, seperti Kurniawan Dwi Yulianto dan Kurnia Sandy.
“Dari Diklat Salatiga, saya terpilih mewakili timnas pelajar untuk tampil di Kejuaraan Asia di Colombo, Srilanka. Waktu itu usia saya 16 tahun,” tutur Supriyono.
Ternyata, momen di Colombo jadi kenangan berharga yang paling diingat oleh Supriyono selama jadi pesepakbola. Pasalnya, di situ dia tampil baik dengan membantu tim mengalahkan Korea Selatan sekaligus mengantarkannya terpilih masuk skuad Primavera.
“Soalnya, kami bisa mengalahkan Korea Selatan dan saya cetak satu gol di laga itu. Sayang, kami dikalahkan Thailand di final,” ucap Supriyono.
Pada medio 1993, Supriyono terpilih menjadi salah satu anak didik yang dikirim PSSI untuk menjalani program Primavera di Italia. Dia kurang lebih menetap di Negeri Pizza selama tiga tahun.
Tentunya, banyak pengalaman yang didapat oleh Supriyono selama belajar di Italia. Dia pun mengaku terkadang merindukan masa-masa tersebut.
“Momen yang paling diingat sih sewaktu kumpul dengan rekan-rekan di sana. Soalnya kan kita kebanyakan baru mengenal satu sama lain di sana dan harus cepat klop padahal bangun chemistry itu tidak mudah, apalagi untuk usia muda 16-17 tahun. Itu kan masa pencarian jati diri dan kita dihadapkan pada jarak yang jauh dari orang tua,” kata Supriyono.
Selepas menjalani program tersebut, Supriyono pulang dan sempat bergabung dengan klub Pelita Jaya. Sayang, kariernya harus terhenti lebih cepat akibat terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Tergerak jadi Pelatih
Gantung sepatu di usia yang masih terbilang muda, Supriyono tak langsung tergerak untuk tetap berkecimpung di sepak bola. Saat itu, dia mengaku sempat apatis dengan perkembangan sepak bola nasional yang kerap dilanda permasalahan.
Pada akhirnya, Supriyono tetap tak bisa lepas dari dunia yang membesarkan namanya. Dia tergerak untuk turun menjadi pelatih setelah mengetahui pencapaian buruk Timnas Indonesia U-14 di Japan-ASEAN Football Exchange Programme pada 2014 silam.
Kala itu, tim Merah Putih finis di urutan 10 klasemen akhir. Paling parah, Indonesia merasakan kekalahan dari Timor Leste dengan skor 0-3.
“Waktu itu saya berpikir kalau sekarang bisa kalah, kebayang nih 5-10 tahun ke depan sepak bola kita seperti apa. Dari situ muncul keinginan untuk belajar dan jadi pelatih, saya pun ambil lisensi,” tutur Supriyono.
“Bisa dibilang saya terlambat dalam ambil lisensi, tetapi, saya merasa gak ada yang terlambat. Yang terpenting berbuat sesuatu untuk sepak bola kita,” tambahnya.
Selain ambil lisensi pelatih, Supriyono juga mendirikan Sekolah Sepak Bola (SSB) Mutiara Primavera pada 2014 yang kini telah berubah nama menjadi SSB Bintang Primavera.
Menurutnya, hal yang paling fundamental untuk diperbaiki dari sepak bola Indonesia adalah level grassroot. Makanya, dia sangat concern terhadap perkembangan sepak bola usia dini hingga saat ini.
“Passion saya memperbaiki basic fundamental, seperti operan, first touch-nya, cara membaca permainan, juga awareness-nya dalam pertandingan. Yang saya pahami dalam pengembangan usia dini yang harus kita kedepankan adalah membentuk individu pemain, bukan tim,” ungkap Supriyono.
“Kenapa? Kalau individunya sudah kuat, akan cepat membangun chemistry dan taktikal akan berjalan. Namun, kalau individunya belum kuat, bakal sulit,” jelasnya.
Fokus pada pengembangan usia dini, tak lantas menjadi mudah bagi Supriyono. Justru, kondisi ini membuatnya harus lebih bersabar karena yang dihadapi tak hanya anak didik, tetapi juga ekspektasi orang tua.
“Tantangannya sejauh ini justru untuk bisa memberikan knowledge kepada orang tua yang terkadang memiliki ekspektasi tinggi. Kita harus satukan visi dulu, karena sepak bola usia dini itu termasuk SSB sangat bergantung kepada orang tua. Istilahnya bisa besar dan hancur dari orang tua,” ujar dia.
Saat ini, selain mengurus SSB Bintang Primavera, dia juga menjadi pelatih di PSF Academy serta jadi asisten pelatih di Persiba Balikpapan. Tugas barunya mengurus tim senior diambil setelah mendapat kepercayaan dari owner Persiba.
“Awalnya saya ambil pekerjaan untuk di akademinya, tetapi owner ternyata punya penilaian lain,” tuturnya.
Kendati demikian, sepak bola usia dini merupakan hal yang tak bakal ditinggalkan Supriyono. Pasalnya, selain ingin memperbaiki hal-hal fundamental, menurutnya sepak bola adalah sebuah seni yang kepuasannya tak bisa digantikan dengan uang.
“Saya memahami sepak bola adalah seni. Jadi, jujur saja, ketika saya memberi materi kepada pemain dan bisa diaplikasikan oleh pemain, itu memberi kepuasan luar biasa. Karena bagi saya, proses itu yang penting dan mahal yang tak bisa digantikan dengan uang,” imbuh Supriyono.