Sutjiati Narendra Tinggalkan Amerika, Pilih Indonesia, Kejar Prestasi Tapi Tak Diberi Kesempatan

Namanya Sutjiati Narendra. Lahir dan besar di New York Amerika Serikat. Menyukai senam sejak kecil. Ia berlatih serius. Tanpa paksaan. Hingga ia mengikuti seleksi pesenam junior nasional Amerika dan lolos dengan berbagai prestasi emas.

Pada saat ayahnya yang asli Indonesia memutuskan untuk menetap kembali di Indonesia, Sutjiati baru berusia 14 tahun. Ia tinggal di Lampung. Dan karena prestasi yang dibawanya dari Amerika, ia masuk pemusatan latihan provinsi Lampung guna persiapan PON XX Papua dan akhirnya berhasil meraih 2 medali emas dan 1 perak.

Foto: ISTIMEWA/Sutjiati Narendra

Ia, Sutjiati Narendra, adalah masa depan senam  Indonesia.

Mimpi yang dibangunnya sebelum dan sesudah ikut Pekan Olahraga Nasional adalah bisa menjadi pesenam nasional Indonesia dan tampil di SEA Games Vietnam. Indonesia urung mengirimkan senam ritmik. Dari cabang olahraga senam, dengan kriteria yang diberikan oleh tim review mengenai layak tidaknya sebuah cabang olahraga diberangkatkan ke SEA Games, hanya empat atlet senam artistik yang akan diberangkatkan. Mimpi Sutjiati pun kandas. Ia, pantas kecewa. Keadaan telah mengubur harapan dari seorang atlet potensial, yang sudah mewakili Indonesia di kejuaraan dunia junior di Moskow tahun 2019 dan di Rumania tahun 2021.

Dan, hari Jumat, 15 April 2022, pukul 20.54 WIB, pesenam junior nasional Amerika, yang berubah status menjadi pesenam Indonesia, mengirimkan surat terbuka, khusus untuk LUDUS.ID. Ia berharap dengan menulis surat ini, bisa membawa perubahan positif bagi para atlet di Indonesia. Ia, berani bicara, mengungkapkan isi hati karena sesuatu yang diyakini benar dan mengungkap sebuah kebenaran. Isi surat yang ditulisnya adalah seperti ini:

Lampung, 15 April

Kepada: ludus.id

Nama saya Sutjiati Narendra, saya berusia 18 tahun dan atlet pesenam ritmik di Tim Nasional Indonesia. Saya tinggal di Indonesia sejak 2018 dan pindah dari Amerika ke Lampung karena permintaan Pak Jokowi agar anak-anak muda yang memiliki kewarganegaraan ganda pulang untuk ikut membangun Bangsa. Saya pindah ke Indonesia untuk melakukan hal itu, dan salah satu cara saya berkontribusi adalah melalui prestasi olahraga.

Saya lahir di New York City dari ibu Amerika dan ayah Indonesia. Saya memulai senam ritmik pada usia delapan tahun, dan pada usia sebelas tahun, saya terpilih untuk bergabung dengan Pasukan Elite Amerika Serikat (AS/USA), melalui seleksi ketat dari ratusan pesenam yang mempunyai potensi menjanjikan yang pada akhirnya dibina di Pusat Pelatihan Olimpiade AS beberapa kali dalam setahun. Sejak usia muda saya sudah diwajibkan menghadapi rintangan apapun yang diperlukan untuk membangun seorang atlet elite. Namun kami sebagai atlet elite didukung dengan fasilitas kelas dunia, akses ke peralatan berkualitas tinggi, dokter olahraga, terapis fisik, dan psikolog; oleh Komite Senam USA (USA Gymnastics) untuk semua para atletnya. Selain itu, saya memiliki kesempatan untuk bekerja dengan juri, pelatih, dan mantan atlet Olimpiade yang legendaris. Pada tahun 2018, saya dipilih oleh USA Gymnastics untuk mewakili Tim Nasional Junior AS di kompetisi internasional, tetapi begitu saya memperoleh kewarganegaraan Indonesia saya pada tahun yang sama, keluarga saya langsung pindah ke Lampung, Sumatera, sehingga saya bisa berlatih di sana bersama pelatih saya yang luar biasa, Bu Yuliyanti dan Bu Rinawati.

Pelatih saya telah melakukan yang terbaik untuk membangun saya sebagai seorang atlet dan memberi saya persiapan yang diperlukan untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional. Namun, dalam proses inilah kami mulai mengalami kesulitan. Di Negara Indonesia tercinta ini, kita para atlet tidak memiliki kesempatan cukup bersaing di kancah internasional dan kemudian tertahan untuk dikirim ke luar negeri karena dikatakan kita belum cukup berprestasi. Dikombinasikan dengan masalah pendanaan, kurangnya struktur organisasi yang efisien, dan minimnya perencanaan yang efektif; oleh karena itu kita memiliki banyak atlet di Indonesia yang telah menjadi korban dari sistem yang tidak maksimal ini.

Foto: ISTIMEWA/Sutjiati Narendra

Sebagai contoh, ketika saya mewakili Indonesia di Kejuaraan Dunia Junior Pertama di Moskow, Rusia pada tahun 2019, saya belum pernah bertanding dalam kompetisi dengan jumlah lengkap pada bulan-bulan sebelumnya. Dalam senam ritmik, kami bersaing dengan empat alat di setiap kompetisi. Saya hanya berkompetisi dengan satu alat di satu kompetisi dan saya juga tidak pernah dibina di pusat pelatihan mana pun sebelum Kejuaraan Dunia tersebut. Dengan persiapan yang kurang matang, bagaimana saya bisa membawa pulang medali dari kompetisi besar seperti ini? Lalu, ketika saya meraih dua emas dan satu perak di PON XX Papua tahun lalu saya diberitahu bahwa saya akan didukung untuk mempersiapkan pertandingan di ajang Olimpiade. Tetapi setelah itu, momentum kegembiraan dan semangat mulai mereda dan kami tidak lagi diperhatikan sejak itu. Pelatih saya dan saya bahkan disuruh mencari sponsor untuk kami sendiri. Saya terus berlatih enam hari seminggu, pagi hingga malam, tanpa tujuan yang jelas. Setelah PON XX Papua kemarin, saya langsung mempersiapkan diri untuk kejuaraan SEA Games, tetapi dua bulan sebelum kejuaraan ini, saya diberitahu bahwa saya tidak diberangkatkan, meskipun saya dan pelatih saya siap untuk membayar dari kantong kami sendiri.

Yang bisa saya simpulkan dari pengalaman hidup dan berkompetisi di kedua negara yang berbeda, Amerika dan Indonesia, adalah bahwa Indonesia membutuhkan rekonstruksi besar-besaran dalam sistem organisasi olahraganya. Jika kita ingin mencetak atlet elite sekelas internasional, program jangka panjang harus menjadi prioritas. Pesaing saya di seluruh dunia bersaing minimal 15 kompetisi setiap tahun. Di Indonesia, kita hanya memiliki satu kompetisi nasional (Kejurnas) yang bahkan kadang tidak berlangsung setiap tahun. Selain itu, dari pengalaman saya sebelumnya, anggaran untuk kompetisi tidak dikeluarkan sampai menit terakhir, dan kadang-kadang kita bahkan harus membayar sendiri terlebih dahulu dan kemudian diganti setelahnya.

Foto: ISTIMEWA/Sutjiati Narendra

Saat ini, dengan hanya beberapa tahun tersisa dalam karir saya, saya dapat mengatakan bahwa tahun-tahun emas saya yang terbatas sebagai pesenam akan segera berakhir. Waktu dan titik performa tertinggi saya hampir habis. Saya seharusnya berada di puncak saya pada saat ini, bersaing sepanjang tahun dengan pesenam tingkat internasional lainnya; tetapi pada kenyataannya, saya jarang dapat kesempatan bersaing.

Cerita saya adalah salah satu contoh dari banyak atlet di Indonesia yang bernasib sama, bagaimana persiapan menit terakhir akan sangat mempengaruhi kinerja dan karir kami. Meski mengecewakan, cintaku pada negeri ini dapat melampaui semua kesulitan yang kualami dan yang akan kuhadapi kedepannya. Dukungan dan solidaritas rakyat Indonesia menunjukkan kepada saya bahwa mereka mendambakan perubahan positif, dan semangat mereka sangat berkobar tiada tara. Kami rakyat Indonesia, khususnya para atlet, ingin selalu maju dan terus berkembang. Lihat seberapa banyak yang bisa diraih para atlet kita dengan minimnya kompetisi, tanpa fasilitas yang baik, dengan masalah dana. Bayangkan apa yang bisa kita capai jika kita memiliki yang terbaik dalam semua ini? Dan ini mungkin sekali karena Indonesia adalah negara maju dan kaya.

Saya ingin menjadi pesenam ritmik pertama yang mewakili Indonesia di ajang Olimpiade. Saya sedang mencari sponsor tanpa bantuan pihak manapun untuk bisa mendukung program yang sudah dirancang oleh pelatih saya. Saya tidak tahu bagaimana masa depan saya sebagai atlet di Indonesia, tapi saya berjanji akan bekerja keras dan memberikan yang terbaik, demi merah putih.

Terima kasih dan mari terus berjuang!

Sutjiati Narendra

Foto: ISTIMEWA/Sutjiati Narendra


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.