Tharisa Dea Florentina, Pendekar Wushu Sanda dari Ambarawa

 

Credit foto : NOC Indonesia
Tharisa Dea Florentina, pewushu sanda Indonesia

Tidak semua awal sempurna. Medali emas jadi bidikan, tetapi raihan medali perunggu juga prestasi yang membanggakan.

Inilah hasil dari atlet wushu Indonesia, Tharisa Dea Florentina di Asian Games Hangzhou 2022. Melawan atlet Iran, Elaheh Mansoryan Samiroumi di semifinal Sanda 52 kilogram putri di Xiaoshan Guali Sports Centre, Hangzhou, Tiongkok, Rabu (27/9/2023), Tharisa harus takluk.

Di ronde pertama, Tharisa kalah dengan skor 0-5. Di ronde kedua, tidak ada poin dari kedua atlet. Tharisa pun harus mengakui keunggulan lawan yang menang Winner by Point Difference (WPD) dengan selisih 12 poin.

Meski kalah, Tharisa berhak atas medali perunggu. Ini menjadi medali ke-12 kontingen Indonesia.

Hasil tersebut belum sesuai target Tharisa yang membidik emas Asian Games 2022 setelah tiga bulan menjalani pemusatan latihan di Tiongkok. Walau demikian, kekalahan di babak empat besar itu justru jadi pelecut bagi dirinya untuk terus berprestasi.

“Sangat senang dan ini bisa menjadi pengalaman dan semoga di kesempatan lain saya bisa mempersembahkan emas untuk Indonesia. Saya akan bejuang lagi, semangat latihan lagi untuk meraih podium,” kata Tharisa setelah pertandingan semifinal.

Dia mengaku kecewa karena gagal mencapai final, tetapi kekalahan itu dijadikan motivasi untuk berprestasi di masa mendatang.

“Pasti ada rasa kecewa, kayak kurang sedikit saja bisa, tetapi Tharisa sudah berusaha semaksimal mungkin. Ini juga bisa menjadi pengalaman Tharisa agar lebih semangat berlatih untuk kejuaraan yang akan datang,” kata Tharisa setelah pertandingan semifinal.

Medali perdana Tharisa pada debutnya di Asian Games itu mendapat pujian dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

“Raihan ini sekaligus menjadi medali perdana bagi  @florentinadhea di ajang Asian Games. Sebelumnya di nomor yang sama, Tharisa berhasil menyabet medali emas di SEA Games 2023 Kamboja,” tulis Kemenpora di akun Instragram, Rabu (27/9/2023) malam.

Credit foto : NOC Indonesia
Tharisa Dea Florentina, pewushu sanda Indonesia (kiri/biru) bertarung melawan pewushu Iran Elaheh Mansoryan Samiroumi, dalam semifinal kelas 52 kg putri Asian Games Hangzhou 2022.

Dari karate ke wushu

Sebelum mengenal wushu, Tharisa lebih dulu mengenal karate dari sang ayah, Didyk Rais Kuncoro. Didyk juga berprofesi sebagai pelatih karate di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Sulung dari dua bersaudara ini dilatih ayahnya saat TK. Saat di bangku kelas 1 SMP, Tharisa diarahkan Didyk untuk mencoba wushu.

“Saat itu, aku di karate merasa kurang dan merasa belum bisa berkembang dengan maksimal,” ujar atlet kelahiran Ungaran, Kabupaten Semarang, 1 Februari 2021 itu.

Beralih dari karate ke wushu bukan hal yang sulit bagi Tharisa. Perbedaan utamanya adalah gaya bertanding dan gaya bela diri antara karate dengan wushu. Namun, kendala itu bisa diatasi berkat latihan intens dan adaptasi.

Tharisa berlatih sepulang sekolah dari SMP Pangudi Luhur Ambarawa. Dia berlatih di sasana di area Kelenteng Hok Tik Bio Ambarawa.

“Latihannya sekitar dua sampai tiga jam dan itu hampir setiap hari. Libur hanya di hari Minggu,” ucap Tharisa.

Dia kemudian berpartisipasi di sejumlah kejuaraan wushu dan menjadi kampiun. Prestasi itu membuat dirinya ditarik oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP).

“Waktu itu kelas tiga SMP dan akhirnya bisa berlatih di mes PPLP yang ada di dekat Pantai Marina, Kota Semarang,” imbuhnya.

Kemampuan Tharisa kian terasah dengan mengikuti pelatda Jawa Tengah. Dia terus bertanding di kejuaraan daerah dan nasional.

Dia juga tampil di berbagai kejuaraan internasional. Beberapa di antaranya adalah Kejuaraan Asia di Korea pada 2017, Kejuaraan Dunia di Brasil pada 2018, Kejuaraan Dunia di Shanghai pada 2019. Dari kejuaraan-kejuaraan itu, Tharisa hanya gagal meraih medali di Shanghai.

Credit foto: Tangkapan layar akun @florentinadhea
Tharisa Dea Florentina, pewushu sanda Indonesia (kanan/merah) saat bertanding di ajang internasional.

Tharisa lantas mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2020. Pada ajang itu, Tharisa merengkuh medali perunggu. Hasil itulah yang membuat dirinya dipanggil ke tim nasional wushu.

“Untuk bisa masuk ke pelatnas, itu lewat seleksi. Para pelatih akan melihat track record kita selama mengikuti kejuaraan dan skill kita masing-masing,” kata Tharisa.

Atlet yang mengidolakan atlet sanda Indonesia, Puja Riyaya dan atlet sanda Tiongkok, Yueyao Li, itu kemudian menjalani laga debut di SEA Games Kamboja 2023. Sempat gugup karena baru pertama kali bertanding di SEA Games, Tharisa akhirnya berhasil menunjukkan performa impresif untuk mencapai final kelas 52 kg putri.

Melawan atlet Vietnam, Nguyen Thi Giang di final, mahasiswi angkatan 2019 Program Studi Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar (PJSD) Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu harus melalui tiga babak. Dia menang “Over Skor” dalam satu ronde dari tiga ronde sesuai aturan karena lawannya tidak mampu memberikan perlawanan. Mencatatkan empat bantingan telak, Tharisa mengukir kemenangan tercepat di SEA Games Kamboja pada Mei lalu.

Emas dari Tharisa menjadi salah satu dari enam emas yang diraih kontingen wushu Indonesia di Kamboja. Tim wushu Indonesia jadi juara umum dengan koleksi enam emas, enam perak, dan dua perunggu.

Wajar saja prestasi itu dianggap mengharumkan nama Desa Doplang, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, tempat tinggal Tharisa. Gadis penyuka motor gede itu pun disambut seperti pahlawan dan diarak menggunakan mobil komunitas offroad dari Mapolsek Bawen menuju rumahnya di Dusun Gentan, Desa Doplang.

Credit foto: Tangkapan layar akun @florentinadhea
Tharisa Dea Florentina, pewushu sanda Indonesia (kiri/merah) saat bertanding di ajang internasional.

Perempuan harus kuat

Ibunda Tharisa, Tri Erowati adalah pesilat anggota Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKSPI) Kera Sakti. Dirinya bangga dengan prestasi sang putri usai memenangi emas SEA Games.

Namun, Erowati ingat betul betapa sulit untuk membujuk Tharisa agar mau berlatih. Dia bahkan rutin mengantar anaknya itu berlatih di Ambarawa dan Ungaran.

“Kadang kalau latihan sampai menangis. Namun, kita harus selalu sabar dan mengantar dari awal sampai akhir,” tutur Erowati.

Kini berbeda dengan dulu. Tharisa jadi orang yang sangat antusias dalam latihan. Contohnya saat melakukan pemusatan latihan selama tiga bulan di Tiongkok jelang mengikuti Asian Games.

Di negeri Tirai Bambu, Tharisa dan tim wushu Indonesia berlatih dua kali sehari. Tidak hanya latihan fisik dan latihan beban, mereka juga berlatih tanding melawan pewushu Tiongkok.

Tharisa meyakini dengan persiapan yang matang dan semangat tinggi, dirinya bisa mengeluarkan kemampuan terbaik.

Tharisa pun memberi pesan kepada kaum perempuan di Indonesia. Dia ingin perempuan bisa menjaga diri dan harus kuat.

“Pesan saya, yakinlah pada kemampuan diri sendiri, percaya pada diri sendiri, dan jadilah diri sendiri. Untuk para perempuan, jangan mudah bergaul dengan orang yang belum dikenal dan ingat jaga diri. Karena, kita perempuan juga harus kuat. Kita perempuan-perempuan Indonesia pasti bisa,” kata Tharisa.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.