Bermula mencoba peruntungan di kancah mixed martial arts (MMA), Zuli Silawanto mengubah sasana tinju tempat dia berlatih menjadi arena penghasil atlet beladiri campuran.
Kepopuleran MMA di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan meningkat lantaran keberadaan pertarungan One Pride MMA di saluran televisi tvOne. Jauh sebelum itu sebenarnya MMA sudah menggeliat di nusantara.
Sekitar awal 2000-an stasiun televisi TPI, yang kini menjadi MNC TV, menyiarkan acara pertarungan UFC (Ultimate Fighting Championship) dan Pride FC (Fighting Championship). Kehadiran tayangan pertarungan yang anyar di televisi itu memunculkan ide di benak Zuli.
“Sekitar tabun 2001 ada tayangan UFC dan Pride di TPI. Ketika itu, saya berpikiran kalau sudah ditayangkan secara kontinyu di televisi, pasti bakal ada event-nya. Saat itu, saya sudah siap-siap belajar MMA. Waktu itu belum ada YouTube, saya belajar saja,” ujar sosok yang kini akrab disapa Master Zuli tersebut kepada Ludus.
Benar saja, TPI membuat acara pertarungan sendiri bernama TPI Fighting Championship pada 2002. Zuli pun mendaftar. Sang pelatih tinju yang semula tak tahu menahu soal keikutsertaan Zuli dalam acara tersebut lantas menaruh curiga atas gerak-gerik sang anak asuh yang tiba-tiba giat berlatih.
“Waktu itu saya datang sendiri mendaftar, tanpa sepengetahuan pelatih saya. Setelah seleksi saya lolos, nama saya masuk di kelas menengah. Habis itu saya latihan sendirian di sela-sela kesibukan saya saat siang, sore, malam. Melihat saya latihan gila-gilaan pelatih saya datang dan guru saya bilang, ‘Wah gila kamu ikut MMA. Sudah kalau begitu kamu jangan latihan sendiri, saya yang pegang,” kenang pria yang juga pernah mewakili DKI Jakarta dalam ajang bela diri silat itu.
Kali pertama Zuli masuk Octagon lantas menjadi tonggak pendirian perguruan ilmu bela diri yang kini telah menelurkan banyak atlet yang tampil di berbagai pentas bela diri, baik nasional maupun internasional. Sasana tinju Hiu Kencana yang ada di dalam Politeknik Ahli Usaha Perikanan (AUP) tempat Zuli berlatih pun berubah nama menjadi Tigershark.
“Ketika lulus kan diminta nama klub. Saat itu saya berpikir MMA kan levelnya sudah internasional, jadi saya berpikir membuat nama sendiri tetapi namanya harus mencerminkan internasional jadi berbahasa Inggris.,” jelas pria yang kini menjadi pelatih utama di Tigershark tersebut.
“Karena di sini kan semula namanya Hiu Kencana dan kebetulan kita di perikanan. Kita mencari literasi tentang ikan. Kalau hiu putih sudah umum orang sudah tahu, lalu saya cari tahu hiu macan. Dari situ saya pakai tiger shark,” ujarnya melanjutkan sembari menjelaskan Tigershark berdiri pada 9 Juni 2002.
Dari performa Zuli yang cukup meyakinkan di ajang TPI FC, beberapa atlet pun berniat gabung dan kemudian ikut berlatih bersama Zuli di AUP yang berlokasi di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain itu banyak pula orang-orang yang baru mau mulai berlatih MMA kemudian berlatih di sini.
Saat TPI FC bubar dan tidak lagi ditayangkan, atlet-atlet Tigershark tetap giat berlatih dan memperdalam ilmu MMA. Tanpa ajang MMA komersial, para petarung bergerak di ‘bawah tanah’ dengan berlatih tanding dan ekshibisi di acara bernama Showdown. Atlet-atlet dari beragam sasana atau klub tarung tampil di program ekshibisi yang digagas secara mandiri oleh atlet-atlet MMA.
Kini saat MMA kembali ke permukaan, Tigershark menjadi salah satu tempat bernaung atlet-atlet di ajang One Pride MMA. Sebut saja Ahmad Sopiyan, Andriawan Dharmita, Guardiola Lumihi, dan Fahri Rudiyanto. Bahkan, Zuli pun masih ikut bertarung di One Pride MMA sampai menyatakan pensiun pada 2018.
Selain di panggung MMA nasional, Tigershark juga punya petarung di pentas internasional. Karier Zuli berlaga di arena tarung luar negeri pada 2011 hingga 2015 diikuti murid-muridnya seperti Alfad Mishal, Riant Febriza, Adrian Mattheis, Eliyas Latupeirissa, dan Imam Dzuhdi.
Atlet-atlet perempuan pun turut menunjukkan taring dari perkumpulan ini di jagat pertarungan lokal serta internasional, seperti Desi Rahayu, Nabilla Firdaus, Harma Yesti, dan Putri Padmi.
Tempat latihan Tigershark yang berada di lingkungan institusi pendidikan tinggi kedinasan milik pemerintah bukan berarti atlet-atletnya terbatas hanya berasal dari dalam kampus saja. Orang-orang dari luar bisa bergabung, namun Zuli tak menerima sembarang orang berlatih di Tigershark. Ada teknik penyaringan yang dilakukan.
“Saya sebenarnya tidak semudah itu menerima orang. Saya cukup selektif juga. Dari pengalaman saya, saya bisa melihat karakter orang. Kalau karakternya enggak cukup baik juga, saya enggak serius menangani dia. Dan, kita di sini sangat kekeluargaan. Jadi, biasanya mereka yang cenderung individualis enggak akan bertahan lama di sini,” bebernya.
Lantaran MMA menggabungkan banyak jenis bela diri, Tigershark pun mempersiapkan atlet untuk bertarung di kategori tinju, kickboxing, muaythai. Menurut Zuli Tigershark memang cenderung menjadi tempat latihan untuk stand up fighting, kendati juga melengkapi atletnya dengan ground fighting.
Tigershark bisa dibilang menjadi salah satu padepokan MMA tertua di Indonesia, tetapi juga memiliki prestasi dari atlet-atlet yang bertarung di dalam dan luar negeri. Bahkan, Tigershark pernah pula dinobatkan menjadi salah satu dari lima camp terbaik di Asia oleh One Championship.
Kini Tigershark juga merambah ke luar arena pertarungan dengan menyediakan pelatihan self defense bagi orang-orang umum dan instansi.