Dunia bela diri tanah air kehilangan salah satu sosok atlet berbakat. Rahul Pinem dinyatakan tutup usia usai melompat dari salah satu apartemen di wilayah Bandung. Peristiwa meninggalnya Rahul menjadi pengingat bahwa kesehatan mental di kalangan atlet bukan perkara main-main.
Sabtu (1/6) sore di Apartemen Parahyangan Residen, Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat, seorang pemuda nekat melompat dari sebuah apartemen. Tubuhnya terkulai lemas di lapangan basket. Petugas apartemen sudah menyadari ada yang tidak beres sebelum kejadian.
Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Diskar PB) menerima laporan dari pihak apartemen bahwa ada upaya seseorang mengakhiri hidupnya. Petugas pun dikirim ke lokasi untuk melakukan evakuasi. Namun terlambat, korban sudah terlanjur terjun dari ketinggian dan mengalami pendarahan.
Petugas apartemen sejatinya sudah memasang kasur untuk menyelamatkan pemuda tersebut. Namun posisi jatuhnya melenceng dari posisi kasur diletakkan. Pemuda tersebut diketahui merupakan Rahul Pinem, petarung muda berbakat yang dijuluki sebagai Ninja Karo.
Rahul dilarikan ke Rumah Sakit Sartika Asih, kemudian dinyatakan meninggal dunia. Kabar duka pun cepat tersiar. Aura duka menyelimuti gelaran Baku Hantam Championship yang berlangsung di lapangan RANS Nusantara Hebat, Pagedangan, Tangerang, Banten, Sabtu (1/6).
Pemandu acara mengumumkan atlet muda berbakat, Rahul Pinem tutup usia. Sontak penonton yang hadir menundukkan kepala sembari memanjatkan doa.
Rahul genap berusia 24 tahun pada 4 Maret 2024 silam. Umurnya masih muda, namun kiprahnya di dunia MMA cukup disegani. Sasana H. Brothers, Depok, Jawa Barat adalah tempat dia dibesarkan.
Rahul memulai karier pada tahun 2019 di One Pride MMA, tepatnya di kelas bantam. Sisanya adalah kenangan. Rahul menjelma sebagai salah satu petarung terkuat di tanah air. Belum pernah ada orang yang bisa menumbangkannya.
Tak hanya di MMA, nama Rahul juga harum di dunia tinju. Pria kelahiran Mbetong, Kabupaten Karo, Sumatera Utara itu menyabet gelar WBC Asia Silver usai menumbangkan Larry Siwu pada pertarungan yang digelar di Indonesia Arena, Jakarta, 21 April 2024 lalu.
Rahul menumbangkan Larry dalam laga yang berlangsung delapan ronde. Sebuah prestasi yang luar biasa, sebab Larry merupakan petinju yang jauh lebih senior ketimbang Rahul.
Usia Larry dan Rahul terpaut jarak 17 tahun. Larry sudah malang melintang menyandang berbagai gelar, sedangkan Rahul tergolong anak kemarin sore.
Kegemilangan Rahul di acara Holywings Sport Show adalah kado terakhir yang diberikan almarhum untuk dunia bela diri. Kini, Rahul pamit undur diri, baik dari dunia MMA maupun tinju.
Perkara kesehatan mental
Rahul sebetulnya tidak berjuang sendiri. Di belahan dunia lain, banyak atlet yang juga berjuang melawan penyakit mental. Petenis Jepang, Naomi Osaka mundur dari turnamen Grand Slam French Open 2021 karena depresi.
Bintang Tottenham Hotspur, Richarlison pernah mengaku depresi usai performanya dihujani kritikan di Piala Dunia 2022. Kondisi diperparah saat pesepak bola asal Brasil tersebut bersitegang dengan sang agen, Renato Velasco.
“Saya sudah mencapai batas saya, saya tidak tahu, saya tidak akan berbicara tentang bunuh diri, tetapi saya mengalami depresi di sana dan saya ingin menyerah,” ujar Richarlison dilansir pada wawancara bersama EPSN Brazil.
Atlet seprofesi Rahul di kancah internasional, Tyson Fury juga diketahui sempat mengidap depresi berat. Pemegang sabuk WBC ini pernah ingin terjun dari jembatan menggunakan mobil Ferrari miliknya.
“Saya kemudian pulih, tetapi masalah kesehatan mental saya tetap merupakan pekerjaan yang konstan dalam proses dari waktu ke waktu saya dapat memiliki pikiran untuk bunuh diri,” tulis Fury dalam buku autobiografinya, dikutip The Sun.
Selama bertahun-tahun, perkara kesehatan mental di kalangan atlet telah menjadi pusat perhatian para peneliti. Eks pevoli Amerika Serikat, Victoria Garrick, yang kini menjadi aktivis kesehatan mental, menjelaskan bahwa atlet cukup rentan mengidap penyakit mental.
“Para atlet menjadi pejuang sejati dalam bidang kesehatan mental. Para atlet tidak sekadar menyampaikan pendapat, namun mereka juga berbagi perjalanan mereka, melalui tantangan kesehatan mental yang mereka hadapi, dan dengan melakukan hal tersebut, para pria dan wanita pemberani ini tidak hanya mengubah olahraga, tetapi juga mengubah masyarakat selamanya,” ucapnya dilansir TED.
Dipetik dari makalah yang terbit di laman National Library of Medicine, kecenderungan atlet terkena penyakit mental berbeda dengan populasi umum. Sehari-hari, profesi atlet lekat dengan aspek perfeksionisme, daya saing dan kecenderungan narsistik.
Selain itu, atlet yang hendak bertanding, terlebih laga besar, rentan mengalami gangguan kecemasan. Dalam kasus Osaka, petenis berusia 26 tahun ini pernah mengaku kesulitan menghadapi publik dan media.
Bayangkan saja, para atlet selalu diharuskan menghadapi kerumunan media pada konferensi pers jelang pertandingan di saat mereka harus mencemaskan tuntutan ekspektasi publik dan bagaimana performanya di hari pertandingan.
Belum lagi, jika atlet tersebut gagal menampilkan performa terbaik atau menerima hasil negatif. Sudah tentu cacian dan makian dari warganet di media sosial tak akan bisa terhindarkan. Jika tak percaya, tanya saja kepada Marselino Ferdinan yang menjadi sasaran rundung warganet usai gagal membawa timnas Indonesia U-23 lolos ke Olimpiade Paris 2024.
Depresi yang menimpa atlet bisa dicegah jika mereka memiliki kesadaran untuk berkonsultasi dengan pihak psikolog, seperti yang dilakukan Richarlison. Namun di banyak negara, kesadaran mengenai pentingnya kesehatan mental masih cukup minim.