Highlander Bukan Sekadar Klub Basket di Jantung Kota Jakarta

Wasis Wibowo

Tim putri Highlander berpose bersama dengan pelatih Yan Emmanuel Gomies. (Foto/Highlander Basketball)
1
0

LUDUS – Gemerlapnya olahraga bola basket kerap diidentikan dengan fasilitas mewah dan perlengkapan yang mahal. Namun, Highlander pengecualian dari semua itu.

Highlander Basketball bukan hanya klub bola basket yang fokus membina bakat-bakat muda. Hihglander juga menjadi ruang ruang inklusif yang mewadahi mimpi anak-anak kurang mampu untuk bisa belajar dan bermain bola basket secara benar.

Klub ini didirikan oleh Yan Emmanuel Gomies bersama Maradona dan Nuraini pada 17 Agustus 2024. Klub yang berbasis di Jakarta Pusat ini mengusung semangat kesederhanaan dan kemanusiaan.

Yan membawa Highlander dengan misi sosial yang lebih kuat, mengulurkan tangan bagi mereka yang selama ini tak punya akses karena keterbatasan finansial.

“Banyak anak yang sebenarnya punya potensi, tapi mereka terbentur biaya. Buat daftar saja susah, apalagi bayar iuran bulanan," ungkap Yan.

Highlander saat ini menjadi rumah bagi lebih dari 60 anak dari berbagai sekolah di Jakarta, mulai dari SDN 01, SMP 273, hingga SMA Franciscus.

Mayoritas berasal dari Jakarta Pusat, kawasan yang kerap disalahpahami sebagai wilayah yang serba berkecukupan karena dekat dengan pusat pemerintahan.

Padahal kenyataannya, banyak banyak kondisi finansial di bawah rata-rata tersebar di daerah seperti Kemayoran, Tanah Tinggi, dan sekitarnya.

“Mereka ini seringkali sekolah pun hanya bisa jalan karena bantuan KJP. Jangankan beli sepatu basket, beli sepatu lokal harga Rp500.000 saja mikir berkali-kali. Tapi semangat mereka luar biasa." Kata pria yang akrab disapa Bung Adhe itu, kepada LUDUS.id.

Selain itu, tujuan Yan mendirikan Highlander agar anak muda di Jakarta terhindar penyalahgunaan narkoba. Ini menjadi salah satu tujuan utama agar energi muda lebih baik disalurkan ke olahraga, termasuk bola basket.

Tim putra Highlander berpose bersama dengan pelatih Yan Emmanuel Gomies. (Foto/Highlander Basketball)

Tim putra Highlander berpose bersama dengan pelatih Yan Emmanuel Gomies. (Foto/Highlander Basketball)


“Gue bikin klub ini agar menjauhkan mereka dari narkoba, karena dari pertama gue bikin Hangtuah, Menteng Basketball, sampai sekarang Highlander, intinya adalah bagaimana bola basket bisa menjauhkan generasi muda dari narkoba,” tutur Yan.

Highlander tak mengusung target juara sebagai tujuan utama. Fokus mereka adalah pembinaan. Yan dan jajaran pelatih bersatu untuk memberikan pelatihan yang layak. Bagi mereka, proses jauh lebih penting dibanding hasil instan.

Tak jarang, klub ini menggunakan sistem subsidi silang untuk membantu anak-anak yang tidak mampu membayar penuh iuran bulanan. Biaya masuk ke Highlander adalah Rp400.000 termasuk kaus, dan iuran bulanan sebesar Rp200.000.

Namun, jika ada anak yang hanya mampu membayar Rp100.000, sisa biayanya ditutup dari dana donasi atau subsidi pelatih. “Prinsipnya, jangan sampai mereka nggak bisa latihan cuma karena nggak punya alat,” katanya.

Menariknya, Highlander tidak dibantu investor besar. Sumbangan datang dari relasi pribadi Yan, seperti salah satu Board of Director dari Kia Trans yang membantu untuk inventaris klub.

Semuanya dijalankan dengan transparan dan tanpa embel-embel target juara yang kerap membebani klub pembinaan.

“Saya selalu bilang, kita ini pembinaan, bukan pabrik prestasi instan. Yang mau instan banyak, tapi kalau mau berproses itu lain cerita.” jelas Yan.

Kesungguhan Highlander dalam mendidik juga tercermin dari sikap klub terhadap perpindahan pemain. Yan sangat terbuka jika ada anak yang ingin naik level dan bergabung dengan klub yang lebih besar, asal dilakukan dengan etika dan prosedur yang benar sesuai aturan PP Perbasi.

Yan tak memungkiri jika pemain potensial tertahan di klubnya, belum tentu mereka bisa naik ke jenjangh nasional atau pro. Baginya, jika pemain memiliki kesempatan yang lebih besar, Highlander tak menghalangi.

Menjadi klub yang mengusung semangat kesederhanaan, membuat salah satu pemain Higlander, Lovina Martha Febrin Naibaho. Gadis yang SMPN 2 Jakarta itu memilih Highlander sebagai wadah meluapkan hobinya di bola basket.

Lovina Martha Febrin Naibaho berpose saat latihan di GOR Cempaka Putih, Jakarta Pusat. (Foto/Gerry Putra/LUDUS)

Lovina Martha Febrin Naibaho berpose saat latihan di GOR Cempaka Putih, Jakarta Pusat. (Foto/Gerry Putra/LUDUS)

Meskipun begitu, Lovina juga sudah berprestasi dalam beberapa ajang bola basket seperti turnamen-turnamen antar sekolah. “Kalau soal prestasi memang lebih banyak di turnamen antar sekolah seperti di PSKD belum lama ini,” ucap Lovenia.

Dia pun merasa senang bisa berlatih di Highlander. Baginya, Highlander merupakan klub yang konsisten dalam menggelar latihan.

Lovina juga bisa menambah teman baru yang satu hobi dengannya. "Jadi menurut saya, bagus untuk bisa menambah relasi dan juga jam terbang," tuturnya.

Bukan Jalan Pintas

Meskipun masih baru, Highlander sudah ikut berbagai turnamen seperti Kejurkot Jakarta Pusat (Jakus), dan mampu meraih peringkat keempat di kategori putri tahun 2018.

Hal yang membanggakan, tim tersebut sebagian besar berisi pemain usia 16 tahun yang bermain di kelompok usia 18 tahun. Sebuah prestasi sekaligus pelajaran berharga dalam proses pembinaan.

Namun, perjuangan tak selalu mulus. Pada era sekarang, Yan mengamati banyak anak dan orang tua yang hanya menjadikan klub basket sebagai jalan pintas untuk jalur prestasi di sekolah. Sertifikat kejuaraan jadi tujuan utama, bukan pengembangan minat dan bakat.

“Banyak yang cuma numpang nama biar dapet jalur prestasi sekolah. Skill nggak dapet, passion juga nggak ada. Di Highlander, kita nggak boleh begitu. Kalau nggak punya cinta sama basket, ya percuma.” tutur mantan manajer Tim Bola Basket DKI Jakarta di PON Papua XX 2017 itu.

Basket Mengubah Hidup

Maradona (kiri) dan Yan Emmanuel Gomies, dua dari tiga pendiri Highlander. (Foto/Gerry Putra/LUDUS)

Maradona (kiri) dan Yan Emmanuel Gomies, dua dari tiga pendiri Highlander. (Foto/Gerry Putra/LUDUS)

Semangat kemanusiaan Highlander Basketball adalah napas segar di tengah atmosfer kompetisi yang kadang terlalu fokus pada hasil. Yan mengajarkan anak-anak bukan hanya bagaimana mencetak angka, tapi juga bagaimana bersikap, menghormati proses, dan terus belajar.

Basket bukan sekadar olahraga. Bagi Highlander, basket adalah sarana untuk mengubah hidup. Sama seperti sepak bola, bola basket juga bisa menjadi pengharapan.

Terlebih, banyak anak-anak yang tinggal di lingkungan padat ataupun gang-gang sempit Jakarta Pusat, juga memiliki talenta di olahraga basket.

“Selama dia punya passion dan talenta, kenapa nggak? Basket bisa jadi pintu mereka keluar dari keterbatasan. Dan tugas kita adalah membukakan pintu itu.”

Highlander bukan sekadar klub basket. Klub dari tengah kota Jakarta ini adalah jembatan mimpi bagi mereka yang mungkin tak punya apa-apa, tapi punya semangat luar biasa untuk terus berjuang.

Laporan: Gerry Putra

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!