
LUDUS - Mungkin bukan hanya shuttlecock yang ringan dan melayang di Istora hari itu. Harapan pun tampaknya serupa: melesat, lalu tertahan, lalu jatuh sebelum garis. Di arena yang penuh sorak dan gema sejarah, langkah dua nama yang dipanggil generasi ini sebagai harapan, dalam laga yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (5/6), Alwi Farhan dan Jonatan Christie, harus berhenti di babak 16 besar Kapal Api Indonesia Open 2025.

Alwi Farhan harus mengakui keunggulan tunggal putra Denmark, Anders Antonsen lewat pertarungan rubber game 16-21, 21-18, 14-21 (Foto: PBSI)
Alwi, remaja yang lahir di 12 Mei 2005 dan kini sudah duduk di ranking 29 dunia, tampak belum sepenuhnya berdamai dengan tensi pertandingan sebesar ini. Ia sempat mencuri gim kedua dari Anders Antonsen, pemain Denmark yang lebih kenyang asam garam, tapi di gim ketiga ia berkata jujur, “Saya memulai laga dengan tempo lambat.” Setelah tertinggal jauh, segalanya seperti berlalu dalam tekanan dan perbedaan poin yang tak bisa dikejar. Skornya: 16-21, 21-18, 14-21. Durasi: 1 jam 17 menit. Tapi perjuangan? Tak bisa disingkat dalam angka.
“Saya menjalani laga yang tidak mudah, tempo pertandingan sangat tinggi,” ucapnya, mungkin dengan nafas yang masih tersengal. Tapi anak ini tidak gentar. Ia juara WONDR by BNI Indonesia Masters 2024 Super 100, dan ia tahu, semua ini proses.
“Saya masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Saya mencoba menikmati setiap prosesnya dan mencoba bangkit lebih kuat lagi ke depannya.”

Jonatan Christie juga harus terhenti di 16 besar seusai menyerah dari wakil Hong Kong, Lee Cheuk Yiu lewat pertarungan rubber game 21-12, 12-21, 10-21 (Foto: PBSI)
Jonatan Christie, yang lebih akrab dipanggil Jojo, mengalami cerita lain tapi dengan simpul yang serupa: akhir di 16 besar. Lawannya, Lee Cheuk Yiu dari Hong Kong, memang bukan nama asing di papan atas. Tapi Jonatan pernah berdiri di podium tertinggi Asian Games 2018. Ia tahu bagaimana menang besar, dan karena itu ia juga tahu bagaimana rasanya kalah dengan kepala tegak. “Di gim pertama saya bermain lebih baik,” katanya, lalu menambahkan, “Perubahan terjadi di gim kedua dan ketiga karena kondisi angin.”
Ya, angin. Di bulu tangkis, hembusan kecil bisa mengubah arah, bahkan nasib. Laju shuttlecock di lapangan dua, menurutnya, lebih cepat karena angin. Ketika mencoba bangkit di gim ketiga, lawan justru lebih siap: menyerang sejak awal, menyeret Jojo ke ketertinggalan dan akhirnya kalah 21-12, 12-21, 10-21. Hanya 58 menit, tapi cukup untuk mencatat bahwa All England 2024 belum menjamin kemenangan yang mudah di rumah sendiri.
Dan di antara dua nama itu, jangan lupa satu lagi: Chico Aura Dwi Wardoyo. Ia bahkan tidak sempat menyentuh 16 besar, tersingkir di babak 32 besar dari pemain Malaysia, Leong Jung Hao. Skornya: 13-21, 12-21. Chico, kelahiran 15 Juni 1998, juga menjadi bagian dari daftar yang hari ini disebut "gugur", tapi sejatinya tetap berada dalam orbit perjuangan.
Tiga nama, tiga cerita, satu irama: belum waktunya. Tapi mereka tidak pulang tanpa pelajaran. Kadang angin memang tak bisa dilawan, kadang waktu memang belum berpihak. Tapi siapa tahu, di kejuaraan-kejuaraan berikutnya, hembusan itu justru membawa mereka terbang, dan menang.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!