8 Agustus 2025: Setahun Veddriq Leonardo Memanjat Sejarah Indonesia, 5 Fakta Jarang Terungkap yang Mengajarkan Kita Makna Waktu

Ludus01

LUDUS - Delapan Agustus. Tanggal yang, bagi kebanyakan orang, hanyalah angka di kalender. Tetapi bagi Indonesia, ia menjelma hari sakral, tanda ketika satu anak bangsa memanjat sejarah, dan dari puncak itu mengibarkan merah-putih di langit dunia. Setahun yang lalu, di Paris, seorang putra dari Pontianak, Kalimantan Barat, mengalahkan gravitasi, melampaui batas waktu, dan dalam 4,75 detik, ia mematri namanya di kitab emas olahraga dunia.

Foto/Dok. NOC Indonesia

Foto/Dok. NOC Indonesia

Sesingkat kedipan mata, namun cukup panjang untuk menulis bab baru sejarah bangsa. Ia berdiri di podium tertinggi Olimpiade Paris 2024, memegang medali emas nomor speed panjat tebing, emas Olimpiade pertama Indonesia di nomor itu. Waktu di papan skor berhenti, dunia menoleh, dan lagu Indonesia Raya mengalun di udara musim panas Eropa. Namanya: Veddriq Leonardo.

Foto/Dok. NOC Indonesia

Foto/Dok. NOC Indonesia

Ia memanjat dinding setinggi 15 meter dengan kecepatan yang nyaris mustahil, mengalahkan Wu Peng dari China dengan selisih tipis 0,02 detik. Hari itu, di Paris, ia memecah udara seperti peluru cahaya, menantang logika fisika. Tapi jauh dari sorak penonton, di rumah sederhana di Pontianak, ibunya, Rosita Hamzah, berlutut. Bibirnya bergetar, matanya basah.

“Saya cuma bilang, terima kasih Tuhan… Engkau kabulkan doa ini.”

Kemenangan itu lahir bukan hanya dari otot, tetapi dari akar panjang yang tertanam di tanah airnya, dari sungai-sungai Kalimantan yang mengajarinya kesabaran arus, dari dinding-dinding sederhana tempat ia belajar jatuh dan bangun, dari doa yang berulang seperti napas.

Kini, setahun telah berlalu. Emas itu tetap berkilau, tapi kilau sejatinya ada di ingatan bangsa. Karena di balik 4,75 detik itu, tersimpan perjalanan yang lebih panjang dari waktu, perjalanan tentang keberanian mengubah haluan hidup, tentang keyakinan yang tak tergoyahkan, tentang kebiasaan-kebiasaan kecil yang menjaga hatinya tetap tenang.

Veddriq pernah berkata pelan, seolah takut mengusik udara di sekitarnya:

“Saya cuma ingin memanjat dengan hati yang tenang.”

Tenang, di tengah olahraga yang mengukur kemenangan dalam sepersekian detik.

Di layar televisi, penonton hanya melihat seorang atlet yang bergerak secepat kilat. Tapi di balik itu, ada lapisan-lapisan cerita: masa kecil di tepi sungai, keputusan berani mengubah spesialisasi, tradisi doa sebelum lomba, hingga obsesi kecil yang menjadi ritual pribadi. Inilah lima fakta menarik, sebagian jarang diketahui, tentang Veddriq Leonardo, sosok yang kini menjadi ikon olahraga dunia.

Fakta 1: Dari Pohon Mangga dan Dermaga Pontianak: Awal Sebuah Perjalanan

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Veddriq lahir pada 11 Maret 1997 di Pontianak, kota di tepi Sungai Kapuas. Masa kecilnya dipenuhi pohon mangga yang jadi menara latihannya, kapal kayu di dermaga yang ia panjat seolah dinding kejuaraan dunia. Ia tidak lahir dari pusat olahraga modern, melainkan dari lingkungan yang menuntut kelincahan untuk bertahan. Ia dan teman-temannya sering memanjat struktur apa saja, dari pohon, tiang, hingga rangka baja galangan. Pernah suatu kali ia jatuh dari ketinggian dan pingsan, membuat geger kampungnya.

“Aku ini anak kampung, tapi mimpiku nggak mau dibatasi kampung,” kenangnya sambil tersenyum. Dari akar yang sederhana itu, ia belajar satu hal: ketinggian bukanlah ancaman, melainkan undangan.

Pengalaman itu tidak membuatnya jera, justru membentuk keberanian dan daya tahan yang menjadi modal di kemudian hari. Seperti kata pepatah Jepang yang sering ia dengar dari pelatihnya: “Fall seven times, stand up eight.”

Pontianak bukan sekadar kota kelahirannya, itu adalah medan latihannya yang pertama. Sebagai anak pesisir, Veddriq tumbuh akrab dengan kapal kayu yang bersandar di pelabuhan dan pohon-pohon yang merunduk di tepian. Ibunya, Rosita Hamzah, mengenang betul masa kecil itu: “Dia suka memanjat apa saja. Pohon, kapal, tiang, seolah kaki dan tangannya tak mau diam.” Tak ada yang mengira, naluri memanjat yang tumbuh dari bermain itu kelak mengantar anak ini ke puncak dunia.

Akar adalah fondasi. Bangsa ini juga lahir dari akar yang keras, perjuangan, kesederhanaan, dan keberanian untuk melihat langit meski pijakan masih di tanah.

Fakta 2: Latihan Tanpa Henti, Melawan Detik yang Tak Pernah Berhenti

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Waktu adalah lawan semua atlet, tapi bagi Veddriq, waktu adalah sesuatu yang bisa ia bentuk. Latihannya tidak mengenal musim: pagi untuk fisik, siang untuk teknik, sore untuk simulasi lomba. Hanya ada dua pilihan: maju atau tertinggal.

“Kalau sehari saja saya malas, saya kehilangan detik yang nggak akan kembali,” ujarnya. Kalimat itu bukan hiperbola, karena di panjat tebing speed, 0,01 detik bisa menentukan warna medali.

Bagi Veddriq, waktu bukan musuh yang harus dikejar, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan dikendalikan. Kesabaran dan ketekunan melatih dirinya agar mampu bergerak tepat dan cepat, menaklukkan setiap detik yang meluncur di stopwatch.

Dalam hidup, kita sering merasa punya banyak waktu. Padahal, seperti dinding panjat, hidup hanya memberi satu jalur. Terlambat sedikit, dan kesempatan itu hilang.

Final speed putra Olimpiade Paris 2024 adalah puncak yang dibangun selama 15 tahun. Saat kakinya menjejak start pad, ia bukan hanya melawan atlet di jalur sebelah, tapi juga melawan ribuan kali jatuh di masa lalu.

Loncatannya presisi, pegangannya tak meleset, dan setiap langkah seperti koreografi yang sudah ditulis jauh hari. Saat bel di puncak berbunyi, bukan hanya rekor yang pecah, tetapi juga batasan yang selama ini mengungkung panjat tebing Indonesia di panggung Olimpiade.

“Kalau saya mau melawan detik, saya harus lebih sabar dari waktu,” katanya. Sebuah filosofi yang terdengar paradoks, tapi justru itulah rahasia menguasai jalur speed: memahami waktu, bukan memusuhinya.

Ia menunduk di podium, mendengar Indonesia Raya, dan berkata dalam hati: “Inilah 4,75 detik yang akan saya bawa selamanya.”

Fakta 3: Doa Ibu Tak Pernah Jeda yang Mengiringi Setiap Langkah

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Di balik tubuh atlet yang kuat, ada suara doa yang tak pernah berhenti. Dari ibunya. Ketika Veddriq menyentuh panel finish di Paris, tangannya terangkat, dan Rosita berlutut. “Itu bukan cuma emas, itu jawaban dari semua malam yang saya habiskan mendoakannya,” katanya pelan.

Banyak orang mengira kemenangan datang dari otot dan strategi. Padahal ada yang lebih halus tapi kuat: doa yang mengikat hati dua generasi, ibu dan anak, dalam jarak ribuan kilometer.

Di balik kekuatan fisik dan mental Veddriq, ada sosok wanita yang tak pernah lelah mendoakan: ibunya, Rosita Hamzah. Meski tak selalu dapat hadir langsung di arena pertandingan, Rosita selalu menyertai anaknya lewat doa-doa yang tulus dan penuh harap.

Saat final Olimpiade Paris 2024 berlangsung, Rosita duduk terpaku di ruang tamu rumahnya di Pontianak, menatap layar televisi dengan tangan terkepal. Saat Veddriq menyentuh panel finish dan medali emas resmi di tangan, air matanya tumpah tanpa suara. “Saya hanya bisa bersujud syukur. Ini bukan cuma kemenangan anak saya, tapi jawaban dari doa panjang kami,” kata Rosita.

Malam itu, mereka berbincang singkat lewat video call. Tak banyak kata, hanya senyum dan air mata yang bicara lebih banyak daripada bahasa.

Fakta 4: Pengakuan Dunia

Foto/theworldgames.org

Foto/theworldgames.org

Olimpiade hanyalah satu puncak. Setahun sebelumnya, dunia sudah menyebut namanya: World Games Athlete of the Year 2024, penghargaan prestisius yang pernah diraih oleh legenda panjat tebing seperti Adam Ondra dan Reza Alipour. Mengalahkan atlet dari cabang-cabang yang lebih populer, ia membuktikan bahwa Indonesia bisa memimpin di panggung global.

Kabar itu datang di Januari 2025, dari Lausanne, Swiss. Veddriq Leonardo dinobatkan sebagai The World Games Athlete of the Year 2024, hasil pilihan ribuan penggemar dari seluruh penjuru dunia. Ia meraih 77.045 suara di putaran final, mengungguli Kristin Latt (flying disc) dari Estonia dan Xin Tong (wushu) dari Tiongkok. Sejak itu, namanya resmi terukir bukan hanya di dinding-dinding catatan Indonesia, tapi juga sejarah olahraga dunia.

Veddriq menyadari betul arti penghargaan itu: bukan hanya pencapaian pribadi, tapi juga cerminan bahwa Indonesia bisa bersaing di panggung dunia. “Saat nama saya diumumkan, yang saya pikirkan adalah bendera merah putih yang mereka lihat. Itu kebanggaan saya yang sesungguhnya,” ujarnya.

Fakta 5: Kemenangan Adalah Perjalanan, Bukan Titik Akhir

Foto/Dok. NOC Indonesia

Foto/Dok. NOC Indonesia

Bagi banyak orang, emas adalah garis akhir. Bagi Veddriq, emas hanya satu dinding yang sudah ia panjat. “Di puncak, angin kencang. Kalau kita diam, kita bisa jatuh,” ujarnya. Maka, setahun setelah Paris, ia masih berlatih dengan intensitas yang sama, seolah Olimpiade berikutnya besok pagi.

Hidup bukan tentang sekali menang lalu berhenti. Ia adalah perjalanan di mana puncak hanyalah pemberhentian sementara, bukan rumah. Bangsa ini pun sama, tidak boleh puas hanya dengan satu capaian.

Foto/Dok. NOC Indonesia

Foto/Dok. NOC Indonesia

Satu tahun telah berlalu sejak Veddriq Leonardo memanjat dinding sejarah bangsa. Cerita tentang pohon mangga di Pontianak, doa seorang ibu, disiplin latihan yang tak kenal lelah, pengakuan dunia, dan semangat tak pernah berhenti memanjat menjadi cermin bagi kita semua.

Bendera Merah Putih yang berkibar di Paris bukan hanya simbol kemenangan, tetapi panggilan bagi bangsa ini untuk terus melangkah maju, melampaui batas, dan bermimpi setinggi langit.

Seperti kata bijak yang mungkin mewakili perjalanan Veddriq:
“Kita tidak dilahirkan untuk berdiri di bawah bayang-bayang, tapi untuk menatap matahari yang terbit di puncak.”

Seperti kata pepatah, “Anak panah akan terbang sejauh tarikan busurnya.” Tarikan masa kecil Veddriq dimulai dari permainan memanjat pohon di Pontianak. Busurnya, dibentuk oleh latihan tanpa henti, doa ibu, dan filosofi kesabaran, telah mengirimnya menancap di puncak tertinggi olahraga dunia.

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Foto/Instagram/Veddriq Leonardo

Setahun setelah Paris, kisah ini bukan hanya milik Veddriq. Ia adalah milik bangsa yang pernah bersatu dalam momen yang sama, menatap bendera Merah Putih naik, mendengar “Indonesia Raya” di langit dunia, dan percaya bahwa kita bisa.

“Seorang pemenang bukanlah dia yang mengalahkan orang lain, melainkan dia yang menaklukkan batas dirinya sendiri, lalu membaginya kepada dunia.”

Batas itu, setahun lalu, bernama 4,75 detik, dan dari situ, sejarah memanjat lebih tinggi.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!