Wartawan Olahraga Senior Azhari Nasution: Hanya Keputusan BAKI Bisa Tuntaskan Dualisme Kepengurusan Cabor!
ludus admin



SUDAH terlalu lama sengketa olahraga terutama dualisme/tigalisme kepengurusan induk organisasi cabang olahraga (cabor). Hampir 14 tahun dunia olahraga tiada henti diterpa gelombang tersebut. Bukan hanya kerusakan program pembinaan olahraga di Tanah Air tetapi atlet pun ikut menjadi korban.
Lihat saja, nasib atlet tenis meja yang sudah tercatat lima kali pelaksanaan SEA Games tidak bisa memperkuat Kontingen Indonesia sejak terjadinya dualisme kepengurusan organisasi tenis meja yang dimulai pada tahun 2011 tersebut.
Miris. Generasi-generasi tenis meja yang unggul telah kehilangan hak dan kesempatan datang ke Istana Negara Jakarta bertemu dengan Presiden Republik Indonesia untuk mengikuti acara pelapasan Kontingen Indonesia. Merek juga kehilangan mimpi bisa mengibarkan Merah Putih di ajang multi event internasional seperti halnya atlet cabor yang kepengurusannya tidak bersengketa.
Tak ada lagi cerita kesuksesan atlet tenis meja Indonesia yang menyapu bersih 5 medali emas seperti pada SEA Games Jakarta 1987 dan SEA Games Malaysia 1989.
Tak ada lagi idola-idola yang menjadi buah bibir masyarakat olahraga Tanah Air sepeti saat Anton Suseno, Ling Ling Agustin, Tonny Meringgi, Rossy Syehbubakar yang berjaya dan menembus ajang Olimpiade.
Yang lebih menyakitkan lagi, sejarah kepiawaian Anton Suseno yang menjadi satu-satunya atlet tenis meja Indonesia dikontrak klub tenis meja Swedia tidak terulang dalam kurun 34 tahun sejak 1991.
Olahraga yang selalu menghiasi kegiatan masyarakat pada setiap perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia itu sudah tidak lagi menjadi pilihan seperti halnya bulutangkis dan sepakbola.
Itu dari sisi atlet. Dari sisi program kompetisi pun berantakan. Sirkuit Laga Utama (Silatama) dan Sirkuit Laga Taruna (Silataruna) hilang lenyap bak ditelan bumi. Padahal, kedua event yang sangat dinantikan tersebut telah menyentuh hampir seluruh wilayah Indonesia dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Bali.
Dampak lain pun juga muncul. Perusahaan-perusahan besar yang kala itu berlomba-lomba bukan hanya menjadi sponsor tetapi ikut mendirikan klub tenis meja pun berguguran.
Ya, semua itu akibat dari kekisruhan dan ego pemimpin induk organisasi tenis meja yang mengaku cinta tenis meja tetapi menghambat prestasi sekaligus mengorbankan kepentingan prestasi dan masa depan atlet.
Itu baru bicara tentang tenis meja. Belum lagi kita bicarakan dualisme cabor olimpiade lainnya seperti anggar yang juga pernah menyapu bersih medali emas SEA Games dan atlet-atletnya memperkuat Kontingen Indonesia di Olimpiade. Prestasinya semakin tak terdengar karena terjadi dualisme. Yakni, PB IKASI pimpinan Amir Yanto dan PB IIKASI pimpinan Agus Suparmanto.
Belum lagi cabor lain yang tidak termasuk daftar cabor Olimpiade seperti olahraga beladiri campuran dan kempo.
Kita masih ingat ketika Menpora Dito Ariotedjo mengisi Kabinet Indonesia Maju. Menteri yang disebut-sebut termuda ini saat menginjakkan kakinya di Gedung Kemenpora Senayan Jakarta berjanji bakal menyelesaikan dualisme kepengurusan cabor.
Faktanya, dualisme organisasi tenis meja tidak tuntas sampai saat ini. Bahkan, dualisme merembet ke cabor tinju amatir yang pernah melahirkan sederet nama-nama besar seperti Wiem Gomes dan Syamsul Anwar Harahap yang pernah menjadi juara Asia serta Pino Bahari, peraih medali emas di Asian Games Beijing 1990. Lalu, Ferry Moniaga, Albert Papilaya dan La Paene Masara yang mampu menembus perempat finalis Olimpiade.
Tadinya hanya satu organisasi yakni Pengurus Besar Tinju Indonesia (PB Pertina). Belakangan muncul Pengurus Besar Tinju Indonesia (PERBATI). Itu terjadi akibat adanya instruksi Komite Olimpiade Internasional (IOC) kepada Komite Olimpiade Indonesia (KOI/NOC Indonesia) mengeluarkan PB Pertina dari keanggotaannya terkait posisinya yang tetap bertahan di Asosiasi Tinju Amatir Internasional (AIBA) dan tak bergabung dengan World Boxing (WB) yang berafiliasi ke IOC.
Kini, Menpora Erick Thohir yang menggantikan posisi Dito Ariotedjo di Kabinet Merah Putih pun melontarkan janji yang sama. Dia menyebut dualisme induk organisasi cabang olahraga bakal diselesaikannya paling lambat Februari 2026.
Tidak hanya itu saja, Menpora Erick Thohir yang juga Ketua Umum PSSI ini pun telah menyurati Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat Marciano Norman dan Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI/NOC Indonesia) Raja Sapta Oktohari untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan cabang olahraga.
Dalam surat tersebut, Menpora Erick mengimbau KONI dan KOI dapat mengambil peran strategis untuk mendorong penyelesain sengketa secara musyawarah dan mufakat sesuai dengan ketentuan Undang Undang Keolahragaan dalam kurun waktu tiga bulan.
Langkah musyawarah dan mufakat dalam penyelesaian sengketa itu sudah sesuai perintah Undang Undang Nomor 11 Tahun 2022. Pada BAB XX Penyelesaian Sengketa pasal 102 ayat 1 disebutkan jelas Penyelesaian Sengketa Keolahragaan diupayakan melalui musyawarah dan mufakat yang dilakukan induk organisasi olahraga.
Pada ayat 2, dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai para pihak yang bersengketa membuat satu persetujuan tertulis mengenai penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Dan, pada ayat 3 tercantum penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan melalui a. mediasi, b. konsiliasi atau c. arbitrase.
Sepertinya imbauan Menpora Erick Thohir kepada KONI dan KOI tersebut sulit menemui titik temu dalam menuntaskan dualisme kepengurusan cabor. Apalagi, mereka masing-masing berbeda keanggotaannya.
Seperti PP PTMSI pimpinan Oegroseno bukan anggota KONI dan KOI, PB PTMSI pimpinan Peter Layardi hanya anggota KONI Pusat dan Indonesia Pingpong League (IPL) telah menjadi anggota KOI dan anggota Federasi Tenis Meja Internasional (ITTF) yang berafiliasi ke IOC.
Begitu juga PB IKASI pimpinan Amir Yanto yang tercatat sebagai anggota KOI dan Federasi Anggar Internasional (FIE)/IOC sedangkan PB IKASI pimpinan Agus Suparmanto hanya anggota KONI. Lalu, PB Pertina yang menjadi anggota KONI dan AIBA serta PERBATI yang menjadi anggota KONI dan World Boxing (WB)/IOC.
Sepertinya penyelesaian dualisme organisasi tersebut akan berakhir di Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI) yang dibentuk sesuai piagam Olimpiade, merupakan satu-satunya badan arbitrase yang diakui pemerintah serta menjadi anggota Court of Arbitration for Sport (CAS).

Pilihan BAKI yang menjadi wasit sengketa olahraga itu sudah tepat dan pasti bisa terselesaikan. Apalagi, putusan BAKI final dan mengikat sesuai pasal 64 ayat 5 tersebut wajib dihormati dan dilaksanakan semua pihak baik KONI, KOI, Induk-induk organisasi olahraga yang dualisme/tigalisme.
Oleh karena itu, keputusan BAKI harus berpegang pada Undang Undang Nomor 11 Tahun 2022. Federasi Nasional (NF atau PB/PP) harus menjadi anggota Federasi Internasional (IF) yang berafiliasi ke IOC. Dan, induk organisasi cabang olahraga harus berbadan hukum yang pendiriannya sesuai peraturan perundang-undangan diatur dalam pasal 69 ayat 4.
Dengan demikian, tidak memperpanjang sengketa yang terjadi di kepengurusan cabor meskipun ada kesempatan melayangkan gugatan ke CAS untuk pihak-pihak yang merasa tidak puas atas keputusan BAKI.
SEMOGA!!!!!
Azhari Nasution, Wartawan Olahraga Senior/Mantan Wakil Ketua Umum SIWO PWI Pusat
*Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi ludus.id

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!





