Juara yang Tak Ditulis di Awal: Perjalanan Dramatis Rachel/Febi Menuju Tahta Juara Australian Open 2025

Akhmad Sef

Foto/PBSI

LUDUS - Di Quaycentre, Sydney Olympic Park, dua pasangan muda Indonesia berdiri di seberang net yang sama dan menemukan diri mereka dalam panggung yang tak pernah sembarang: final Australian Open 2025, sebuah pertarungan yang memaksa mereka membuka seluruh isi diri, teknik, keberanian, keraguan, dan keyakinan terakhir yang tersisa. Rachel Allessya Rose/Febi Setianingrum akhirnya menutup duel panjang itu dengan kemenangan tipis 18-21, 21-19, 23-21 atas rekan sepelatnas mereka, Febriana Dwipuji Kusuma/Meilysa Trias Puspitasari, dalam duel 109 menit yang memakan habis tenaga dan emosi seluruh arena.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Pertarungan sejak awal lebih mirip alur novel yang berganti-ganti arah. Febriana/Meilysa membuka gim pertama dengan laju cepat, menguap­kan jarak 7-1, mengamankan interval 11-5, lalu menjaga keunggulan sampai 14-8. Tapi Rachel/Febi, yang seperti baru menemukan napas yang cocok, mulai mengikis ketertinggalan dari 11-17 menjadi 17-19. Upaya itu terhenti sekejap, cukup bagi Febriana/Meilysa menutup gim pertama 21-18.

Gim kedua bergerak sebaliknya. Rachel/Febi memulai dengan keberanian yang lebih bulat, unggul 7-5, meski interval jatuh tipis di tangan Febriana/Meilysa 11-10. Kejar-kejaran poin terus membentuk grafik yang tak pernah benar-benar menurun; 16-14 untuk Febriana/Meilysa, berubah menjadi 16-17, lalu 18-17 untuk Rachel/Febi. Ketika mereka mencapai game point 20-18, udara sempat menegang sebelum akhirnya kedudukan 21-19 memastikan rubber game yang terasa seperti takdir.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Gim ketiga membuka kisah lain. Febriana/Meilysa kembali melesat 7-2 dan menyimpan keunggulan 11-8 saat interval, tetapi Rachel/Febi menolak tunduk. Kedudukan 15-15 menjadi alarm bahwa final ini belum selesai.

Keunggulan 18-15 untuk Febriana/Meilysa pun tak mampu bertahan karena Rachel/Febi menarik skor menjadi 18-18, lalu memaksa drama lebih jauh hingga titik paling tipis dari keberanian: 23-21. Ketika shuttlecock terakhir jatuh, bukan hanya laga yang berakhir, tetapi batas antara tekanan dan kemenangan yang selama ini menghantui mereka.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Kemenangan ini memperpanjang rentetan performa mereka sepanjang pekan, termasuk langkah penting di semifinal ketika mereka menyingkirkan pasangan kuat dari Amerika Serikat. Di pelatnas, keduanya memang dikenal saling melengkapi: Rachel, lahir 30 Juni 2004 di Parung, Bogor, tumbuh sebagai produk pembibitan yang rapi, deretan prestasi juniornya menjadi landasan mengapa ia cepat naik ke level senior.

Febi, pasangan barunya musim ini, mengisi celah yang tepat, forecourt agresif, naluri penyelesaian, keberanian mengambil risiko dalam poin-poin krusial. Catatan turnamen memperlihatkan keduanya memang sedang membangun konsistensi yang mulai mengundang perhatian dunia.

Inilah kisah Rachel Allessya Rose/Febi Setianingrum yang sejak awal tak ditulis dengan tinta kemenangan, melainkan dengan degup jantung dua gadis muda yang datang ke Australian Open 2025 tanpa gelar besar, tanpa beban berlebih, dan tanpa predikat unggulan. Mereka datang seperti angin dari utara yang tenang, tak banyak diperhitungkan. Namun turnamen itu, pada akhirnya, menjadi panggung tempat keduanya membuktikan bahwa masa depan ganda putri Indonesia sedang ditulis ulang oleh tangan-tangan muda.

Perjalanan juara dimulai di babak 32 besar, ketika mereka dipertemukan dengan pasangan tuan rumah, Gronya Somerville dan Angela Yu. Di negeri orang, di hadapan dukungan publik lawan, Rachel dan Febi memulai laga dengan langkah yang ragu: 17–21 pada gim pertama, seperti ingatan yang mengingatkan bahwa setiap perjalanan besar selalu dimulai dengan kegagalan kecil. Tetapi dari kegagalan itu pula lahir keberanian. Mereka membalas 21–14, lalu menutup 21–15, bukan hanya kemenangan, tapi sebuah deklarasi halus bahwa mereka belum datang sejauh ini untuk pulang cepat.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Namun ujian berikutnya lebih berat: Rin Iwanaga/Kie Nakanishi dari Jepang, unggulan kedua turnamen. Pasangan yang sudah matang secara taktik, disiplin secara ritme, dan dingin dalam tekanan. Di atas kertas, Rachel/Febi hanyalah catatan kaki. Tetapi catatan kaki itulah yang dalam 72 menit pertandingan menjelma menjadi cerita utama. Dua gim 25–23, 25–23, angka yang menunjukkan betapa tipis garis antara kemenangan dan keterpurukan.

Dalam duel sepanjang itu, di babak 16 besar, Rachel lebih banyak mengambil risiko, sementara Febi memagari garis depan dengan pertahanan yang tak menyerah. Setiap poin diraih seperti menarik napas terakhir. Ketika match point jatuh ke tangan mereka, seisi hall serasa mengecil, menyisakan dua gadis yang menolak tunduk pada statistik.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Lalu datanglah babak yang sejak awal dianggap mustahil: perempat final menghadapi senior mereka sendiri, pasangan yang selama dua tahun terakhir menjadi ikon ganda putri Indonesia, Apriyani Rahayu dan Siti Fadia Silva Ramadhanti. Bagi banyak orang, ini adalah pertandingan guru melawan murid. Apri/Fadia dengan pengalaman, dengan jam terbang, dengan reputasi yang dibangun melalui medali dan final besar; Rachel/Febi dengan keberanian dan mungkin sedikit kenekadan.

Tetapi hari itu, keberanianlah yang lebih lantang berbicara. Rachel dan Febi tampil tanpa gentar, seakan belum pernah merasakan tajamnya serangan Apri/Fadia dalam sesi latihan nasional. Gim pertama berjalan mengejutkan, 21–10, selisih yang jarang terjadi ketika menghadapi pasangan sekelas Apri/Fadia.

Para senior itu mencoba bangkit pada gim kedua, memaksa pertarungan menjadi lebih ketat. Namun Rachel/Febi tetap menggenggam kendali. Mereka menahan setiap reli kritis, menepis tekanan, dan mengakhiri dengan 21–19. Di momen itu, tak hanya skor yang berubah, peta persaingan ganda putri Indonesia seolah digeser oleh tangan generasi baru.

Usai memenangkan partai itu, Rachel berkata, "Tadi kami sudah punya rencana mau main seperti apa, menyerang, pembukaan dan segala aspeknya diperhatikan dan fokus terus. Kami juga sehari-hhari bareng mereka jadi sudah hafal arah pukulannya dan permainannya secara keseluruhan."
Foto/PBSI

Foto/PBSI

Memasuki semifinal, mereka berhadapan dengan duo Amerika Serikat, Francesca Corbett/Jennie Gai. Laga ini bukan hanya soal final tiket, tapi juga soal menjaga tenaga, menjaga mental, menjaga sisa api setelah menumbangkan senior mereka. Dan mereka melakukannya dengan kepala dingin. 21–18, 21–19, dua gim yang rapat, dua gim yang memaksa mereka menekan kesalahan sendiri serendah mungkin.

Francesca dan Jennie bukan lawan sembarangan; mereka cepat, agresif, dan tak ragu mengambil alih tempo. Tetapi Rachel/Febi telah berubah. Mereka bermain seperti pasangan yang sudah lama besar di level elite: dewasa dalam keputusan, sabar dalam reli, dan berani menutup poin ketika kesempatan datang.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Ketika shuttlecock terakhir jatuh di semifinal itu, Rachel dan Febi tak hanya melangkah ke final. Mereka melangkah ke sebuah babak baru dalam hidup mereka. Keduanya telah menembus garis yang selama ini membedakan pemain menjanjikan dan calon juara. Mereka telah mengalahkan senior yang mereka hormati, melewati unggulan dua dunia, bertahan dalam reli-reli panjang, memenangkan laga yang disaksikan dunia.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Setelah pertandingan final, kepada tim media PBSI, Rachel mengakui, “Puji Tuhan kami bisa juara, kami bisa membuktikan hasil latihan, hasil usaha kami semenjak dipasangkan. Kami benar-benar terharu tadi setelah memenangkan pertandingan. Kami selalu tertinggal poin, kami terus tertekan tapi akhirnya bisa balik dan menang, ternyata dalam kondisi apa pun kami masih punya kesempatan yang sama untuk jadi juara.”

Febi merasakan gelar ini sebagai puncak perjalanan yang lama ditunggu. “Gelar ini sangat sulit dicapai karena perlu perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan. Kami persembahkan untuk keluarga, pelatih, PBSI, rekan-rekan di ganda putri, dan seluruh masyarakat Indonesia.”
Foto/PBSI

Foto/PBSI

Sementara di sisi seberang, perasaan yang tak kalah manusiawi keluar dari lawan sekaligus rekan satu negeri. Febriana berkata, “Hari ini perasaannya campur aduk, senang, excited tapi ada tidak puasnya juga. Yang terpenting kami bisa mengeluarkan semua kemampuan. Hasil runner up ini jadi batu loncatan untuk jadi nomor satu.” Meilysa menambahkan, “Kami belum cukup puas, harus belajar terus memperbaiki kesalahan. Tapi kami tetap bersyukur dengan hasil ini, semangat terus, pantang menyerah dan latihan sampai juara satu.”

Foto/PBSI

Foto/PBSI

Dari segala angka, reli panjang, dan tekanan, kisah ini akhirnya menyisakan satu pesan: regenerasi ganda putri Indonesia berjalan bukan di atas kertas, melainkan dalam pertandingan sepanjang 109 menit yang menjahit rasa sakit dan kemenangan. Di Quaycentre siang ini, Minggu (23/11/25), bukan hanya trofi yang terangkat, tetapi sebuah janji bahwa dua gadis muda bernama Rachel dan Febi baru saja membuka babak pertama dari perjalanan yang mungkin jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Inilah perjalanan dua gadis yang datang tanpa nama besar, tetapi pulang dengan gelar dan dengan keyakinan baru: bahwa masa depan ganda putri Indonesia, mungkin saja, mulai ditulis oleh mereka, Rachel Allessya Rose dan Febi Setianingrum.

Foto/PBSI

Foto/PBSI

-- Rachel Allessya Rose --

"Puji Tuhan kami bisa juara, kami bisa membuktikan hasil latina-latihan, hasil usaha kami semenjak dipasangkan. Kami pastinya senang dapat titel ini, buat diri sendiri dan buat partner juga.

Kami benar-benar terharu tadi setelah berhasil memenangkan pertandingan. Kami selalu tertinggal poin, kami terus tertekan tapi akhirnya bisa balik dan menang, ternyata dalam kondisi apapun kami masih punya kesempatan yang sama untuk jadi juara. Tidak kuasa menahan tangis tadi.

Setelah ini, kami mau mempertahankan performa yang sudah baik. Tetap belajar karena banyak pelajaran yang bisa diambil dari pertandingan-pertandingan sejauh ini. Mau improve juga pastinya, mau tembus di top level."

-- Febi Setianingrum --

"Gelar juara ini menjadi sesuatu yang saya inginkan, sangat sulit mencapainya karena perlu perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. Gelar ini kami persembahkan untuk keluarga, pelatih, PBSI, sektor ganda putri rekan-rekan dan kakak-kakak kami yang sudah berlatih bersama serta seluruh masyarakat Indonesia yang selalu mendukung."

-- Febriana Dwipuji Kusuma --

"Hari ini perasaannya campur aduk, senang, excited tapi ada tidak puasnya juga. Tapi yang terpenting kami bisa mengeluarkan semua kemampuan tadi. Hasil runner up ini akan kami jadikan batu loncatan untuk jadi nomor satu."

-- Meilysa Trias Puspitasari --

"Kami belum cukup puas, harus belajar terus memperbaiki kesalahan. Tapi kami tetap bersyukur dengan hasil ini, semangat terus, pantang menyerah dan latihan, latihan, latihan sampai juara satu."

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!