Pendaki Brasil Tewas di Rinjani, Waspadai Gejala Hipotermia dan Lakukan Ini Saat Tubuh Mulai Kedinginan
Ludus01

LUDUS - Kematian seorang pendaki muda asal Brasil di Gunung Rinjani membuat dunia menoleh sejenak ke Indonesia. Namanya Juliana de Souza Pereira Marins. Ia datang dari negeri tropis yang lain, dengan semangat yang sama: mendaki, menyentuh langit, lalu turun membawa cerita. Tapi langkahnya terhenti di Pelawangan Sembalun, dan pulangnya bukan lagi dengan napas, melainkan kabar duka.

Foto/Roman Odintsov
Rinjani, sebagaimana Merapi di Jawa atau Kinabalu di Borneo, adalah gunung yang indah. Tapi seperti semua keindahan, ia juga menyimpan sisi dingin yang kadang mematikan. Tidak ada yang tahu pasti apakah Juliana meninggal karena hipotermia atau karena luka jatuhnya. Tapi kabar yang beredar menyebut tubuhnya ditemukan dalam keadaan sangat lemah, mungkin telah terlalu lama melawan suhu ekstrem tanpa cukup pelindung.
Juliana jatuh pada 21 Juni 2025 pagi hari, dari Pelawangan Sembalun ke jurang sekitar 50 meter. Lokasinya ditemukan lewat drone, tapi cuaca buruk membuat evakuasi tertunda. Ia ditemukan empat hari kemudian dalam kondisi meninggal dunia. Laporan menyebut trauma akibat benturan, tapi suhu yang membeku juga disebut-sebut sebagai faktor yang mempercepat kematiannya.
Ia bukan satu-satunya. Di banyak jalur pendakian Indonesia, dari Semeru hingga Kerinci, hipotermia telah berkali-kali memakan korban. Tapi ia selalu luput dari perhatian karena jarang dianggap sebagai penyebab utama.
Puncak-puncak tropis sering disalahpahami. Kita mengira gunung Indonesia tak cukup dingin untuk membekukan, padahal angin dan ketinggian sering kali membuat suhu menusuk lebih tajam dari yang bisa dibayangkan. Dali Rahmadani, seorang pekerja televisi yang gemar mendaki, mengakui bahwa dari semua gunung yang pernah ia daki, termasuk Semeru, Salak, hingga Merbabu, Rinjani adalah yang paling menggigilkan. “Sampai puncaknya saja rasanya ingin cepat-cepat turun. Saking dinginnya, saya menggigil dan tidak bisa berpikir jernih,” tuturnya. Sebuah pengalaman yang, secara tak langsung, membisikkan tanda-tanda awal dari apa yang dikenal dunia medis sebagai hipotermia.

Foto/Dok.Dali Rahmadani
Kesan serupa datang dari Kenny Auztin, aktor dan runner-up pertama L-Men 2014 serta Mister International Indonesia 2015, yang juga pernah menaklukkan Rinjani. Dalam sebuah unggahan di akun Instagram-nya, ia menulis, "Another life bucket list checked!" Ia mencapai puncak jam 8 pagi setelah mendaki sejak pukul 2 dini hari. “Bukan sesuatu yang bisa gue banggain karena normalnya 4 jam,” tulisnya. “Mana belum terbiasa dengan ketinggian 3.726 mdpl, kepala pusing, perut mual, suhu dingin banget.” Dalam tiga hari dua malam pendakian, ia bahkan tak sempat mandi atau sikat gigi. Tapi meski begitu berat dan menggigil, ia menyebutnya sebagai “salah satu pengalaman terbaik”.
Kenny mungkin hanya mual dan pusing. Tapi gejala-gejala itu, dalam konteks yang salah dan suhu yang terus jatuh, bisa berubah menjadi ancaman yang tak kasatmata. Karena tubuh manusia punya batas. Dan dingin, seperti yang dialami banyak pendaki tanpa sadar, adalah pembunuh diam-diam.

Foto/Instagram/Kenny Auztin
Hipotermia tidak datang dengan deru. Ia datang dengan pelan, menusuk perlahan. Tidak selalu tampak berbahaya. Tapi begitu suhu inti tubuh turun di bawah 35°C, sistem tubuh mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Secara medis, hipotermia dibagi menjadi tiga tahap:
- Ringan (35–32°C): Menggigil hebat, sulit bicara, napas cepat.
- Sedang (32–28°C): Menggigil berhenti (bahaya!), bingung, kulit pucat atau kebiruan.
- Berat (<28°C): Tidak sadar, denyut lemah, risiko henti jantung.
Menurut Critical Care Clinics (2012), penurunan suhu 1°C saja sudah cukup menurunkan efisiensi enzim tubuh hingga 7%. Bayangkan tubuh yang terus berjuang menghasilkan panas, tapi tak punya cukup bahan bakar karena lapar, lelah, dan basah. Saat itulah tubuh menyerah dalam diam.
Faktor penyebab hipotermia di pegunungan Indonesia:
- Ketinggian dan tekanan rendah: suhu turun ±0,6°C setiap 100 meter.
- Angin gunung: mempercepat hilangnya panas tubuh (efek wind chill).
- Pakaian basah: dari hujan atau keringat mempercepat konduksi panas keluar.
- Kelelahan ekstrem: membuat metabolisme tubuh menurun.
- Kurang makan: tubuh tak punya bahan bakar untuk menghasilkan panas.
- Korban cedera/tidak bergerak: lebih cepat kehilangan panas.
Banyak pendaki mengira gunung-gunung di Indonesia terlalu tropis untuk membahayakan. Padahal, di atas ketinggian 2.000 meter, suhu bisa menukik hingga 5°C atau bahkan lebih rendah jika hujan mengguyur dan angin bertiup kencang. Dingin itu tak selalu tampak, tapi ia perlahan menggerogoti tubuh, menidurkan kesadaran, dan bisa mencuri nyawa dalam diam.

Foto/Ericjo
Mengapa Gunung Tropis Tak Bisa Diremehkan?
Kita dibesarkan di negeri panas. Kita berpikir salju adalah satu-satunya simbol bahaya dingin. Tapi kenyataannya, hipotermia juga menjalar diam-diam di gunung tropis. Di atas ketinggian 2.000 meter, suhu bisa turun drastis, apalagi saat malam, hujan, atau angin bertiup kencang.
Beberapa hal yang mempercepat datangnya hipotermia:
- Kelelahan ekstrem.
- Pakaian basah, terutama dari bahan katun.
- Kurang makan dan minum.
- Tidak bergerak (terluka, tersesat).
- Tidur tanpa perlindungan yang cukup.
Dingin itu tak selalu tampak. Tapi ia ada. Ia tinggal di balik kabut, di ujung malam, di tubuh yang lelah.

Foto/rdne
Apa yang Harus Dilakukan Saat Tubuh Mulai Kedinginan?
Berikut adalah tujuh langkah penyelamatan awal jika seseorang diduga mengalami hipotermia:
- Lindungi dari cuaca ekstrem. Segera bawa ke tempat kering dan tertutup angin.
- Ganti pakaian basah. Keringkan tubuh, pakaikan baju hangat dan kering.
- Gunakan selimut, sleeping bag, atau skin-to-skin contact jika perlu.
- Hangatkan bagian vital tubuh: leher, dada, dan paha dalam.
- Jangan guncang atau paksa bergerak. Gerakan kasar bisa picu henti jantung.
- Jika sadar, beri minuman hangat manis. Bukan kopi. Bukan alkohol.
- Segera cari bantuan medis. Hipotermia berat hanya bisa ditangani tenaga profesional.

Foto/Pexels/Esther
Langkah Pencegahan: Siapkan Sebelum Dingin Datang
Kita sering terlalu percaya pada niat baik dan semangat. Tapi gunung tidak peduli pada semangat. Ia hanya peduli pada persiapan. Karena itu, sebelum mendaki, kita perlu memperhatikan rekomendasi penting bagi pendaki gunung, seperti di bawah ini:
- Pelajari cuaca dan medan.
- Gunakan sistem 3 lapis pakaian:
- Base layer (dry-fit/merino wool)
- Mid layer (fleece/down jacket)
- Outer layer (windproof dan waterproof)
- Jangan pakai katun: cepat basah, sulit kering.
- Bawa baju cadangan, sarung tangan, kaos kaki hangat, dan topi kupluk.
- Emergency blanket/foil sangat direkomendasikan.
- Konsumsi makanan tinggi energi secara berkala.
- Bawa termos berisi air hangat.
- Perhatikan teman seperjalanan, hipotermia sering datang diam-diam.
- Pastikan tubuh tetap hangat dan bertenaga.
- Gunakan pelacak GPS, peluit, dan headlamp sebagai alat darurat.
Gunung tidak menghukum. Tapi ia menguji. Dan sering kali, ia tidak memberi kesempatan kedua.

Foto/Pexels/Toulouse
Pertolongan Pertama untuk Hipotermia
Penanganan hipotermia harus cepat, tenang, dan hati-hati. Berikut panduan darurat menurut Mayo Clinic dan American Red Cross:
Langkah Penanganan:
- Lindungi dari cuaca:
Pindahkan korban ke tempat kering, lindungi dari angin dan hujan. - Ganti pakaian basah:
Keringkan tubuhnya, lalu pakaikan pakaian hangat dan kering. - Pemanasan pasif dan aktif:
Gunakan selimut, sleeping bag, dan hangatkan dada, leher, serta pangkal paha. Bisa dilakukan skin-to-skin contact dalam sleeping bag. - Jangan diguncang atau dipaksa bergerak:
Getaran atau gerakan ekstrem bisa picu henti jantung (afterdrop). - Jika sadar, beri minuman hangat manis:
Hindari alkohol atau kafein. Kalori manis membantu menghasilkan panas. - Pantau napas dan denyut:
Siap lakukan CPR bila denyut jantung atau pernapasan terhenti. - Segera cari bantuan medis:
Hipotermia sedang dan berat harus ditangani profesional dengan cairan IV hangat, oksigen hangat, atau rewarming sistemik di rumah sakit.

Foto/Instagram/Kenny Auztin
Hipotermia bukan isu kecil. Ia nyata, ilmiah, dan mematikan. Di gunung, waktu adalah nyawa. Setiap detik kehilangan panas bisa berarti hilangnya kesadaran. Dan setiap keputusan untuk tidak mempersiapkan diri, bisa jadi keputusan terakhir.
Jangan naik gunung tanpa ilmu. Jangan naik gunung tanpa hormat. Dan jangan biarkan satu pendakian berubah menjadi duka panjang hanya karena meremehkan satu hal: suhu.

Foto/Dok.Dali Rahmadani
Rinjani memang menawarkan puncak dan pencapaian. Tapi juga ujian, dan kadang penghabisan. Mereka yang kembali dari sana membawa kisah. Tapi mereka yang tertinggal, seperti Juliana, menyisakan pelajaran: bahwa mendaki gunung bukan hanya tentang kaki yang kuat atau semangat yang tinggi, melainkan juga soal pengetahuan dan kesiapan menghadapi dingin yang tak tampak.
Tragedi Juliana bukan hanya soal jatuh. Ia tentang waktu yang terlambat. Tentang cuaca yang tak bisa dilawan. Tentang dingin yang kita remehkan. Ia menjadi pengingat, bahwa dalam setiap pendakian, pengetahuan bisa jadi perlengkapan paling penting. Lebih penting dari kamera, dari sepatu, bahkan dari semangat.
Karena tubuh yang lelah bisa dipulihkan. Tapi tubuh yang membeku kadang tak kembali. (Dari Berbagai Sumber)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!