5 Selebritas Indonesia, 2 Dunia, 1 Cinta: Layar dan Sepak Bola

Ludus01

“Sepak bola bukan hanya permainan. Sepak bola adalah hidup itu sendiri,” kata Pele. Tapi barangkali kita lupa, bahwa hidup, seperti sepak bola, tak pernah sesederhana angka di papan skor. Ia tentang jatuh dan bangun, tentang umpan yang meleset, kaki yang keseleo, dan tekad yang tak kunjung usang. Di antara stadion dan studio, di antara kamera dan peluit, beberapa orang memutuskan untuk hidup di dua dunia sekaligus.

Di dunia hiburan, mereka disebut selebritas. Di lapangan hijau, mereka hanya ingin disebut pemain bola. Tidak lebih. Dan tidak juga kurang.

“Cintai apa yang kau lakukan,” ujar Lionel Messi. Cinta, kata yang sering kehilangan bentuknya, terlalu mudah diucapkan, terlalu jarang dijalani. Tapi para selebritas yang bermain bola itu, mereka mempraktikkan cinta sebagai kerja. Sebagai rutinitas. Sebagai keringat yang jatuh sebelum matahari naik tinggi. Mereka tahu: cinta bukan sekadar euforia, tapi juga pengorbanan.

Cristiano Ronaldo, dalam kesendiriannya yang disiplin, pernah berkata: “Sepak bola harus dicintai sepenuh hati, karena di dalamnya ada pelajaran tentang kesetiaan.” Kalimat yang terdengar religius di tengah dunia yang serba cepat. Tapi justru di situlah letak paradoks para pesohor itu. Mereka hidup dalam sorotan kamera, tapi memilih untuk bermain dalam bayang rumput dan matahari. Di balik akun instagram dengan jutaan pengikut, mereka masih menendang bola seperti anak-anak yang pernah mereka jadi.

Bukan hanya mereka berlima, tentu saja. Banyak selebritas Indonesia yang juga bermain bola dengan semangat yang sungguh. Tapi ada alasan mengapa kita menyoroti lima nama ini: mereka mewakili generasi muda Indonesia yang tak sekadar populer di media sosial, tapi juga memiliki hubungan personal, hampir spiritual, dengan sepak bola.

Pertama, mereka adalah figur publik yang memiliki lebih dari enam juta pengikut di instagram, bukan untuk memburu sensasi, tapi untuk menggambarkan sejauh mana pengaruh mereka bisa menembus batas stadion dan layar ponsel.

Kedua, mereka pernah bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional, cita-cita yang tak terkubur oleh panggung hiburan. Ini yang penting.

Ketiga, hingga hari ini, mereka masih aktif bermain, baik dalam laga persahabatan, pertandingan komunitas, bahkan membangun klub atau fasilitas latihan sendiri. Dan terakhir, mereka menunjukkan komitmen yang konsisten, bukan musiman, dalam menjadikan sepak bola bagian dari hidup yang utuh.

Garry Lineker menyebut sepak bola sebagai “puisi yang bergerak.” Tapi para selebritas ini barangkali tak hendak membuat puisi. Mereka ingin menepati janji. Bahwa tubuh mereka akan tetap mengolah bola meski dunia berkata: itu bukan tempatmu.

Ada keindahan yang ganjil dalam keberanian itu. Dunia hiburan mengajarkan glamor dan popularitas, tapi lapangan mengajarkan rasa sakit yang nyata. Mereka memilih keduanya. Mereka berjalan di batas tipis antara yang tampak dan yang terasa. Dan barangkali, dalam perjalanan itu, mereka menemukan siapa diri mereka sebenarnya.

Johan Cruyff pernah bilang: “Kerja keras dan kesabaran adalah kunci.” Mungkin karena itu, mereka masih bermain. Bukan untuk menang, bukan untuk viral, tapi untuk bertahan. Untuk menolak menjadi dewasa yang melupakan mimpinya sendiri.

Mereka bukan atlet profesional. Tapi mereka juga bukan penonton. Mereka berdiri di tengah-tengah, di antara sorotan dan peluh. Dan mungkin justru di sanalah letak kejujuran mereka.

Kita melihat jumlah follower-nya, tetapi yang lebih penting adalah berapa lama mereka bertahan di lapangan. Kita mendengar suara tawa mereka di podcast dan vlog, tapi suara sepatu menyentuh bola, itulah suara yang lebih jujur.

Mereka hidup di dua dunia, dan menolak untuk memilih salah satunya. Mungkin karena mereka percaya: hidup tidak perlu memilih satu jalan. Kadang, justru yang paling indah adalah ketika kita sanggup berjalan di dua dunia tanpa kehilangan diri sendiri.

Dan di lapangan itulah, kisah ini terus bergulir. Tak ada kick-off resmi. Tak ada peluit panjang. Hanya cinta yang sederhana, dan kaki yang tak lelah berlari.

Inilah kisah mereka: para pejuang bola dengan jiwa seni, yang mengolah bola dan mimpi dengan sepenuh hati. Sebuah perjalanan yang penuh warna, menantang, dan inspiratif, yang akan kita kupas satu per satu.

Baca Juga: Ganteng, Atletis, Berprestasi dan Terkenal! 5 Atlet, 5 Adonis, Jadi Bintang Hiburan

Al Ghazali: Bola, Musik, dan Janji yang Ditepati

Pernikahan selalu tentang dua hal: siapa yang kita pilih… dan siapa yang tak lagi kita panggil pulang.

Al Ghazali, 28 tahun, berdiri di altar mewah, memeluk keputusan yang barangkali lebih tua dari dirinya sendiri. Ia menikahi Alyssa Daguise. Di tengah kerlip kamera dan keriuhan pesta selebritas, ia tak sedang menjadi anak Ahmad Dhani, bukan pula bayang Maia Estianty. Ia hanya seseorang yang memilih. Tapi seperti semua kisah manusia, ia tak pernah memilih dari ruang kosong. Di balik pelaminan, selalu ada panggung-panggung lain yang lebih dulu dihuni.

Salah satunya: lapangan bola.

Al tak pernah menggembar-gemborkan hidupnya sebagai pesepak bola. Ia bukan jebolan akademi, bukan juga pemain profesional. Tapi, kata siapa cinta harus bersertifikat? Ia mencintai bola seperti seseorang mencintai senja: bukan karena bisa dimiliki, tetapi karena selalu kembali. Ia bermain di laga amal, ikut futsal, bertanding dengan selebritas lain. Ia menggiring bola, terjatuh, tertawa, dan melanjutkan permainan. Ia tak tampil demi sorot kamera, ia hadir karena ingin bermain.

Sebagian orang mengenalnya karena darah seni yang menetes dari ayah dan ibunya. Tapi Al justru belajar mengatur tempo, bukan tampil di panggung depan. Ia menyusun nada di studio, dan membaca ruang kosong di lapangan. Gelandang atau winger, posisi yang tak selalu menjadi sorotan, tapi justru sering jadi jantung permainan. Ia memilih berada di jalur tengah, mengatur arah, bukan mendominasi layar. Barangkali karena hidup, baginya, bukan tentang siapa yang paling keras bicara. Tapi siapa yang paling mampu menjaga ritme.

Sejak remaja, Al turun di laga amal, main futsal, ikut pertandingan selebritas. Ia bukan hanya tampil untuk difoto. Ia bermain. Ia menggiring bola. Ia cedera ringan. Ia berlatih. Ia bersungguh-sungguh. Dalam sebuah unggahan Instagram, ia bahkan menulis: "Sepak bola mengajarkan saya tentang kerja keras, kesabaran, dan bagaimana menghargai setiap momen di lapangan."

Sebuah kalimat yang terdengar biasa. Tapi justru kebiasaan itulah yang membuatnya jujur. Karena dalam dunia yang terlalu sering penuh narasi, kejujuran kadang terdengar seperti bisikan. Dalam dunia selebritas yang serba citra, kalimat itu terasa jujur, karena lahir dari pengalaman, bukan skrip.

Dan kecintaannya pada sepak bola bukan sesuatu yang baru tumbuh. Ia adalah penggemar setia Manchester United. Bukan penggemar yang sekadar mengunggah logo klub di Instagram, tetapi yang benar-benar pergi jauh untuk menyaksikan langsung. Dalam sebuah perjalanan ke London, Al Ghazali tampak antusias saat bisa menonton langsung pertandingan klub kesayangannya itu dari tribun stadion, sebuah ekspresi sederhana yang menyimpan gejolak kecintaan yang tak pernah padam.

Ia tak terlalu banyak bicara di media. Ia lebih banyak mengungkapkan diri lewat musik, dan lewat sepak bola.

Musik memberinya nada. Bola memberinya ritme. Satu mengajarkan harmoni, satu lagi kerja sama. Jika di studio ia mengulik aransemen, di lapangan ia mengatur tempo permainan. Ia biasa tampil sebagai gelandang atau winger, peran yang menuntut visi, tapi tidak selalu berada di pusat sorotan.

Dan bukankah itu yang sedang ia jalani dalam hidupnya? Menjadi penting tanpa harus selalu paling terlihat.

Pernikahan Al dan Alyssa tidak hanya perayaan cinta. Ia juga semacam penanda: bahwa laki-laki ini telah memilih rumahnya, bukan lagi panggung. Tapi justru dari sanalah ia bisa bermain lebih bebas. Seperti di lapangan bola, yang tak meminta penonton, hanya meminta kehadiran yang utuh.

Foto/Instagram/Al Ghazali

Foto/Instagram/Al Ghazali

Al Ghazali tidak banyak bicara tentang politik, moral, atau filosofi hidup. Tapi ia bermain sepak bola. Dan itu sudah cukup. Karena, seperti kata Albert Camus, filosof yang pernah jadi kiper di Aljazair, "semua yang saya tahu tentang moral dan tanggung jawab, saya pelajari dari sepak bola."

Kini, di usia yang tak lagi remaja, Al berdiri di persimpangan baru. Ia punya istri. Ia punya karier. Ia punya pengikut. Tapi di tengah semua itu, ia tetap punya bola. Ia tetap akan datang ke lapangan. Ia tetap akan bermain. Karena sebagian dirinya masih anak laki-laki yang ingin mencetak gol di sore hari. Dan sebagian lainnya, kini telah menjadi lelaki dewasa yang tahu bahwa mencintai bukan hanya soal perasaan—tapi soal pilihan yang terus ditepati, bahkan setelah pesta selesai.

Dan barangkali, seperti dalam sepak bola dan cinta, Al Ghazali hanya ingin satu hal: bermain seumur hidup dengan setia.

Atta Halilintar: Raja Digital, Jenderal Lapangan , Dari Konten ke Kompetisi

Di zaman ketika algoritma bisa lebih berpengaruh dari aturan main, ketika selebritas bisa menjual mimpi sekaligus strategi, ada satu nama yang berdiri di antara kamera dan rumput hijau: Atta Halilintar. Kita mengenalnya dari YouTube, dari parade konten dan bisnis bertubi-tubi, dari gaya hidup yang seperti sinyal tak pernah padam. Tapi ada satu arena yang jarang dibicarakan dengan sungguh-sungguh: lapangan sepak bola.

Lapangan bukan panggung, meski sorot lampu kadang ikut masuk. Di sanalah Atta menemukan dirinya sebagai bukan hanya content creator, tapi kompetitor. Lebih dari hobi, sepak bola, dan kemudian futsal, bagi Atta adalah semacam liturgi modern. Disiplin, strategi, dan napas panjang. Sesuatu yang tak selesai dalam satu konten, tapi dalam banyak musim. Dan seperti Raffi Ahmad, yang memulainya dengan RANS, Atta pun membangun klubnya sendiri: AHHA PS Pati FC.

Itu bukan sekadar nama panjang. Itu tekad. Ia beli klub Liga 2, bukan demi gelar kehormatan sebagai pemilik, tapi demi ikut serta dalam menata ulang ekosistem sepak bola Indonesia dengan mental seorang visioner. Klub itu kemudian sempat berubah nama menjadi FC Bekasi City, menyesuaikan arah dan pasar, tapi Atta tetap berada di balik semua pergerakan. Ia unggah sesi rapat tim ke YouTube, ikut dalam pelatihan fisik, bahkan sesekali ikut bermain dalam laga uji coba. Ia menjadikan sepak bola bukan hanya tontonan, tapi narasi.

Ketika jalan di sepak bola nasional terasa berliku, seperti kita tahu, liku-liku di sepak bola Indonesia kadang lebih rumit dari jalan tol di hari libur, Atta tak mundur. Ia hanya mengubah formasi. Dari lapangan besar, ia pindah ke lapangan kecil. Lalu lahirlah Pendekar United, klub futsal yang ia dirikan dari nol. Di sini, posisinya tak hanya sebagai presiden klub, tapi juga pemain. Ia turun langsung di ajang Pro Futsal League 2022-2023. Sebuah langkah yang nyaris tak masuk akal: dari layar YouTube ke lapangan futsal, dari CEO ke pivot.

Di sinilah mungkin letak kejujuran yang paling mentah: kita bisa saja mengira semua ini hanya strategi konten. Tapi siapa yang mau menanggung cedera engkel hanya demi views? Dalam satu pertandingan selebritas yang disiarkan nasional, Atta harus ditandu keluar lapangan. Tapi tak ada keluhan.

Ia bangun lapangan futsal di rumahnya, bukan sebagai hiasan Instagram, tapi sebagai tempat latihan, tempat bermain, tempat bermimpi. Di akun media sosialnya, kita melihat ia bermain futsal lebih sering dari pada nongkrong di kafe. Dan mungkin itu penanda bahwa bagi sebagian orang, olahraga bukan gaya hidup, tapi cara bertahan hidup. Atta juga pendukung Real Madrid, klub yang barangkali mencerminkan dirinya: megah, strategis, kadang kontroversial, tapi tak bisa diabaikan.

Lapangan futsal, buatnya, sebuah ruang yang bukan hanya untuk menendang bola, tapi juga untuk menata ulang dirinya. Dalam dunia yang penuh jadwal dan suara notifikasi, di sana, ia menemukan sunyi yang khas: sunyi dari kejujuran fisik. Di sana, peluh lebih jujur daripada like, dan rasa sakit engkel lebih nyata daripada komentar netizen. “Main bola itu healing gue. Kalau capek kerja, gue maunya ke lapangan, bukan ke spa,” ucapnya. Kalimat itu sederhana, tapi punya gema eksistensial. Di tengah dunia yang sibuk mengejar pelarian, ia memilih masuk ke dalam pertandingan. Ia, membuka celah pada satu pertanyaan: sejauh mana manusia modern rela kelelahan untuk sesuatu yang ia cintai?

Friedrich Schiller pernah menulis, “Permainan adalah hal yang paling serius di dunia.” Atta seolah membuktikan itu. Ia bermain bola dengan tubuh, tapi juga dengan kesungguhan yang tak main-main.

Ia pernah merekrut Ricardinho, maestro futsal dunia, untuk memperkuat Pendekar United. Perekrutan itu bukan gimmick. Itu adalah pesan. Bahwa futsal Indonesia bisa punya panggung kelas dunia, jika ada yang cukup nekat, cukup kaya, dan cukup cinta untuk mewujudkannya. Dan Atta punya ketiganya.

Ini bukan proyek pencitraan. Ini proyek pengabdian. “You play with your soul as well as your body,” kata Pele, dan Atta menulis kalimat itu dengan keringatnya sendiri.

Membangun klub bukan soal modal semata. Membangun butuh waktu. “To build may have to be the slow and laborious task of years,” kata Winston Churchill. Dan Atta, yang lahir dari dunia serba instan, justru memilih jalan yang lambat: mendesain jersey sendiri, membuka trial untuk anak-anak muda, hingga bermain sendiri di lapangan. Barangkali ia sedang mengejar sesuatu yang lebih dari sekadar skor. Barangkali, seperti kata Eduardo Galeano, “Sepak bola adalah laboratorium sosial tempat harapan dan perlawanan dipertaruhkan.” Dan ia memilih berada di dalamnya—sebagai subjek, bukan objek tontonan.

Foto/Instagram/Atta Halilintar

Foto/Instagram/Atta Halilintar

“Saya ingin punya legacy,” katanya. “Saya mau, kalau anak saya besar, dia bisa bilang: bapak gue bikin klub bola yang beneran.” Kalimat itu terdengar personal, tapi sesungguhnya politis. Sebab di negeri yang sering memulai tapi jarang menyelesaikan, kata beneran adalah revolusi kecil.

Seperti banyak self-made men, Atta tak datang dari dunia bola. Tapi ia mencoba masuk dengan satu hal yang tak bisa dibeli: niat. Ia jadikan bola sebagai konten edukatif, bukan hanya demi klik, tapi demi menjawab kerinduan lama bangsa ini akan manajemen sepak bola yang melek zaman.

Legacy. Bukan viral. Kata itu menunjukkan bahwa di balik semua gebrakan digital, ada satu impian kuno yang ingin ia peluk: untuk dikenang. Bukan karena sensasi, tapi karena kontribusi.

Dan barangkali, dalam dunia di mana segalanya bisa dibuat instan, ketenaran, kebangkrutan, bahkan cinta, Atta Halilintar memilih jalan yang lebih lambat tapi lebih panjang: dari konten ke kompetisi, dari rapat ke lapangan, dari klik ke gol. Sebab baginya, membangun klub adalah membangun makna. Dan lapangan, sejatinya, adalah tempat paling jujur untuk menilai siapa yang benar-benar bermain, dan siapa yang hanya menonton.

Raffi Ahmad: Sang Kapten di Layar dan Lapangan

Seseorang bisa terkenal karena apa saja. Tapi menjadi berarti, itu urusan lain. Di antara sorot lampu dan gema stadion, Raffi Ahmad berdiri di antara dua panggung: layar kaca dan rumput basah.

Ia dikenal sebagai selebritas. Aktor, pembawa acara, produser, pengusaha, dan satu lagi: kapten yang tidak bermain di final, tapi membangun lapangan sejak peluit pertama. Raffi bukan hanya nama di layar, tapi juga suara di ruang ganti. Ia membeli klub, bukan karena tren, melainkan karena ada mimpi masa kecil yang tak pernah benar-benar pergi: menjadi pemain bola.

Dulu, di Bandung, ia ikut seleksi kiper untuk Persib. Tubuhnya masih kecil, tapi hasratnya sudah melompat seperti Peter Schmeichel atau Gianluigi Buffon, dua nama yang membuat mistar gawang jadi ruang sunyi yang ia dambakan. Ia gagal. Tapi dunia punya caranya sendiri untuk membalas kesungguhan yang tertunda. Kini ia membeli klub. Ia membangun stadion. Ia membayar pelatih, mendatangkan pemain asing. Ia tidak sekadar menamai klub itu RANS Nusantara FC, ia merawatnya seperti anak yang dilahirkan dari mimpi sendiri.

Raffi Ahmad pernah berkata, “Kalau saya bukan artis, saya akan jadi pemain bola.” Kita percaya. Sebab kata-katanya bukan kalimat puitis untuk kamera, melainkan pengakuan kepada dirinya yang dulu, yang pernah cedera saat trofeo selebritas dan tidak pernah memamerkan lukanya. Luka itu bukan dramatisasi. Tapi semacam puisi diam: bahwa tubuh bisa sakit, tapi cita-cita jangan pernah ikut pincang.

Dan mungkin karena itulah orang-orang tetap dekat padanya. Di tengah segala pencapaian, Raffi tidak membangun tembok eksklusif di sekelilingnya. Ia tetap dianggap humble, mudah didekati, dan, ini yang penting, mudah menolong. Banyak rekan seprofesi, menyebut Raffi sebagai tempat terakhir mereka mengadu ketika kesulitan datang tanpa janji. Dalam sunyi dunia hiburan yang keras dan kompetitif, Raffi hadir sebagai jeda: sebagai bahu, sebagai pintu, sebagai tangan yang tak keberatan menjangkau lebih dulu.

Tak heran jika namanya kini menjelma menjadi mimpi itu sendiri: impian yang diam-diam disimpan anak-anak muda dari gang ke gang, dari panggung kecil di daerah sampai red carpet ibu kota. Para pesohor tanah air pun sering menyebutnya dengan kekaguman yang setengah serius, setengah iri: Sultan Andara. Bukan semata karena rumah megah atau mobil mewah, tapi karena ia menjelma jadi lambang bahwa popularitas bisa dipakai untuk membangun, bukan sekadar memamerkan.

Apa yang jarang terlihat: Raffi kuat bukan karena ia tak pernah runtuh. Ia pernah dihantam gosip, diseret isu, dijegal fitnah dari kanan dan kiri. Ia tahu bagaimana rasanya disorot bukan karena karya, tapi karena kesalahan yang diperbesar. Tapi barangkali justru dari sanalah ia belajar melenting lebih tinggi. Ia tidak menyangkal masa lalu, ia menjadikannya batu pijakan. Ia berjalan terus, sambil membuktikan bahwa mimpi tidak mati hanya karena cacian sempat menang satu ronde.

Ia bermain bukan untuk gaya-gayaan. Ia tidak sedang cosplay jadi striker. Ia betul-betul ikut rapat teknis, ikut latihan, ikut menendang. Bahkan saat ia dilantik sebagai Utusan Khusus Presiden RI Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni, sepak bola tetap menjadi napas kedua. Ia bukan pemilik yang duduk di tribun VVIP sambil memotret dirinya sendiri. Ia adalah pemilik yang datang ke latihan, pulang dengan peluh, dan kadang pulang dengan kaki terkilir.

Dan mungkin karena itulah ia mampu mendatangkan Ronaldinho ke Indonesia. Bukan demi sorotan media, tapi sebagai pernyataan: bahwa sepak bola bisa menjangkau siapa pun, selama mimpinya tidak dilipat dan disimpan di lemari dewasa. Ia pun tak segan membawa anaknya ke stadion Eropa, menonton Liverpool lawan Bayern Munich. Di sana, di antara tribun dan yel-yel, ia memperkenalkan semangat: bahwa mencintai bola bukan sekadar bermain FIFA atau memakai jersey mahal. Tapi hadir, melihat, dan menghormati.

Dalam hatinya yang paling dalam, Raffi adalah bocah yang tak sempat jadi kiper sungguhan. Tapi di situlah kuncinya: bukan semua kegagalan harus ditebus dengan sukses. Kadang, cukup dirayakan. Dengan membangun lapangan. Dengan menamai klub sendiri. Dengan mencetak gol dalam laga amal dan merasa, meski hanya lima menit, menjadi pemain sungguhan.

Ia bahkan membeli saham minoritas di Persija, meski darahnya tetap biru Persib. Di situ ia menunjukkan bahwa sepak bola bukan soal fanatisme buta, tapi soal keberanian untuk ikut serta membangun masa depan olahraga. Ia tidak membela klub, ia membela cita-cita.

Foto/Instagram/selebritisfc

Foto/Instagram/selebritisfc

Johan Cruyff pernah berkata: “Sepak bola adalah soal kecerdasan dan hati.” Dan Raffi tampaknya mengerti dua-duanya. Ia cerdas membaca zaman. Ia membangun citra bukan hanya di televisi, tapi juga di tribun stadion. Ia paham bahwa satu klub bisa menghidupkan satu kota. Bahwa satu lapangan bisa menyambung napas ribuan anak muda yang merasa sepak bola lebih dari sekadar olahraga, ia adalah jalan pulang bagi banyak yang tak sempat jadi siapa-siapa.

Ia tidak sedang mengubah dunia. Tapi ia telah mengubah satu klub. Ia menyulap satu mimpi jadi akademi. Ia mendirikan stadion bukan sebagai mercusuar ego, tapi sebagai ruang bermain yang tak pernah Raffi punya waktu ia kecil. Ia sedang membayar utang kepada dirinya sendiri, kepada bocah Bandung yang dulu menengadah ke gawang dan bertanya, “Bisakah aku ke sana?”

Dan ya, sekarang ia memang tidak berdiri di bawah mistar gawang. Tapi ia menjaga gawang lain: impian.

Kita tahu Raffi Ahmad di layar. Tapi mungkin, Raffi yang paling jujur justru muncul saat mengenakan jersey, menendang bola, dan tersenyum seperti anak kecil. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal menjadi siapa. Tapi soal tidak pernah melupakan siapa yang dulu kita ingin jadi.

Rizky Billar: Mimpi Lama yang Menggelora di Lapangan, Di Antara Spotlight dan Rumput Basah

Jika bukan karena kamera, mungkin hari ini Rizky Billar sedang bersiap untuk laga sore bersama PSMS Medan. Atau setidaknya, berdiri di tengah lapangan mini soccer yang ia bangun sendiri di kampung halamannya. Tapi jalan hidup sering mengajak kita belok—kadang ke studio, kadang ke panggung hiburan, kadang ke tempat yang tak pernah kita rancang.

Rizky Billar, aktor kelahiran 12 Juli 1995, sudah menjadi ikon layar kaca dan media sosial. Tiga belas juta orang mengikuti langkahnya di Instagram. Ia tampil di sinetron, variety show, iklan, dan menjadi magnet berita hiburan. Namun di balik sorotan itu, ada sepasang sepatu bola yang tak pernah benar-benar ia gantung.

Jauh sebelum menjadi selebritas, Rizky adalah bocah Medan yang serius berlatih sepak bola. Ia mengikuti pelatihan KONI, bercita-cita menjadi pemain profesional, dan menjadikan sepak bola sebagai jalan hidup. Tapi satu penyakit bernama tifus datang seperti kartu merah yang tiba-tiba. Billar dipaksa berhenti latihan di masa krusial, dan di situlah cita-cita itu perlahan kabur seperti garis gawang saat hujan deras.

Namun seperti filosofi sepak bola itu sendiri, bahwa pertandingan tak selesai sebelum peluit panjang berbunyi, mimpi itu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berpindah medan. Dari stadion ke studio. Dari seragam klub ke kostum sinetron. Tapi cinta tetap tinggal.

Billar rutin bermain di liga-liga amatir Jakarta. Ia menyebut sepak bola sebagai terapi, sebagai ruang tempat tubuhnya kembali jujur dan hatinya bisa bersuara. Ia pernah mengalami cedera lutut yang membuatnya absen cukup lama. Tapi seperti katanya sendiri:

"Dalam sepak bola, seperti dalam hidup, yang penting adalah terus bangkit setiap kali terjatuh."

Tak sulit melihat jejak itu. Potret tubuhnya yang atletis kerap muncul di banyak media. Mereka tak hanya memotret kisah kehidupannya, tapi juga memotret aksinya di lapangan hijau. Ia tidak hanya main-main. Ia bermain sungguh-sungguh. Ketika ramadan datang, ia bahkan menggagas Ramadhan League, sebuah turnamen mini yang mempertemukan selebritas, pesepakbola, dan komunitas. Ia juga terlibat dalam fun football yang akhirnya membuka jalan bagi kolaborasi Atta Halilintar dan Putra Siregar dalam membangun FC Bekasi City.

Dari situ pula lahir Leslar FC, tim yang ia miliki dan kelola bersama sang istri, Lesti Kejora. Klub ini tidak hanya tampil sebagai simbol cinta mereka, tapi juga mimpi lama yang tidak pernah hilang. Leslar FC menjadi wadah ekspresi, tempat Billar menjadi pemain, pelatih, sekaligus penggagas. Sebuah klub yang menghidupkan kembali hasrat sepak bolanya dalam wujud yang nyata dan kolektif. Di lapangan itu, kamera berhenti, tapi peluh tetap mengalir.

Di balik semua itu, ada satu keinginan yang nyaris seperti deklarasi batin: ingin memiliki saham di PSMS Medan. Klub masa kecilnya. Klub kotanya. Ia ingin berkontribusi, membangun lapangan, memberi ruang bagi mimpi-mimpi lain yang tak sempat tumbuh di tubuhnya sendiri. “Saya punya cita-cita seperti Raffi Ahmad,” katanya satu kali, “ingin membuat lapangan dan klub sendiri.”

Barangkali karena itu, Billar sangat terikat pada filosofi Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Yang satu percaya pada kerja keras tanpa kompromi. Yang satu lagi percaya bahwa talenta adalah titipan yang harus disempurnakan dengan latihan dan keikhlasan. Billar meniru keduanya: latihan keras dan hidup jujur.

Ia juga dikenal sebagai fans berat Liverpool. Klub yang menolak tunduk bahkan dalam kekalahan. Klub yang pernah bangkit dari ketertinggalan 0–3 dan menjadi juara Eropa. Klub yang mengajarkan bahwa sejarah tidak dibuat dari kemenangan yang mudah, tapi dari luka yang diperjuangkan dengan penuh gairah.

Kesetiaannya pada Liverpool begitu besar, hingga ia, dalam nada bercanda tapi penuh makna, “memaksa” istri dan kedua anaknya untuk ikut mencintai klub yang sama. Kaus merah dengan logo burung Liver itu tak jarang terlihat dikenakan dalam momen keluarga. Barangkali, bagi Billar, keluarga bukan hanya ruang untuk mencintai, tapi juga ruang untuk mewariskan semangat. Dan sepak bola, bagi dia, adalah warisan emosi yang pantas dibagikan sejak kecil.

Sang istri, Lesti Kejora, mungkin awalnya datang dari dunia yang berbeda: panggung musik dan industri dangdut. Tapi seperti pasangan yang baik, ia belajar memahami medan yang digandrungi suaminya. Dalam beberapa unggahan media sosial, anak pertama mereka bahkan tampak digandeng ayahnya di lapangan, seolah sedang dibaptis secara perlahan ke dunia bola, dunia ayahnya.

Foto/Instagram/Rizky Billar

Foto/Instagram/Rizky Billar

Albert Camus, filsuf Prancis yang juga mantan penjaga gawang, pernah berkata:

"Semua yang kutahu tentang moral dan tanggung jawab manusia, aku pelajari dari sepak bola."

Rizky Billar sedang menjalani hal serupa. Ia mungkin tidak menjadi atlet profesional. Tapi ia tetap bermain, tetap mencintai, tetap berdiri di tengah lapangan saat kamera tak lagi menyala. Ia tahu bahwa hidup bukan hanya soal profesi, tapi juga soal kesetiaan. Dan kesetiaannya, bahkan ketika panggungnya berubah, tetap tertambat pada rumput basah dan bola yang terus bergulir.

Mungkin di sanalah letak makna: menjadi dewasa bukan berarti meninggalkan mimpi lama. Tapi menjaga nyalanya agar tak padam, bahkan saat kita sedang menggandeng tangan kecil anak kita, dan mengenalkan mereka pada warna merah Liverpool, warna cinta yang diam-diam ingin kita wariskan.

Rizky Nazar: Sepak Bola dan Cinta Sejati

Andai panggung hiburan tak datang lebih dulu, mungkin kita mengenalnya bukan sebagai Rizky Nazar yang tersenyum dari layar kaca, tetapi Rizky Nazar yang berlari di atas rumput stadion, mengejar bola, mengejar mimpi yang lebih sunyi tapi lebih abadi.

Sebab dari semua hal yang hinggap di hidupnya, popularitas, jutaan pengikut, sinetron-sinetron primetime, film-film laris, ada satu hal yang tak pernah ingin ia lepaskan: sepak bola. Bukan sekadar hobi, tapi semacam rumah kedua. Tempat di mana peluh terasa jujur, di mana tubuh menemukan bentuk keberanian yang berbeda dari sorotan kamera.

Dengan ±6 juta pengikut di instagram, Rizky tak pernah menjual diri sebagai pesohor sepak bola. Tapi siapa pun yang mengenalnya tahu: di balik gaya hidup aktor muda, ada jiwa maniak bola yang tidak bisa diam. Ia bukan penggemar musiman. Ia pencinta sejati.

Cristiano Ronaldo adalah idolanya sejak kecil. Ia menyukai pemain asal Madeira itu bukan semata karena jumlah gol atau trofi, tapi karena work ethic-nya yang legendaris. “Saya suka sepak bola karena itu membuat saya merasa hidup. Di sana, saya bisa jatuh, bangkit, dan terus berlari,” ujarnya satu waktu, dan barangkali Ronaldo pun akan mengangguk setuju mendengarnya.

Cristiano Ronaldo, sosok yang sejak kecil diidolakan Rizky, pernah berkata: “We don’t want to tell our dreams. We want to show them.” Dan begitulah Rizky menjalani cintanya pada sepak bola, tanpa banyak kata, tanpa deklarasi besar. Ia menunjukkannya lewat latihan, lewat keringat, lewat kesetiaan turun ke lapangan di sela jadwal syuting yang padat. Sepak bola baginya adalah panggung diam, tempat di mana mimpi tidak diucapkan, melainkan dijalani.

Rizky Nazar pernah benar-benar bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional. Ia mengikuti pelatihan sejak kecil, menyusuri lapangan-lapangan kecil dengan bola di kakinya dan semangat yang tidak kalah dari anak-anak akademi klub.

Ketika dunia hiburan datang dan menjadikannya aktor utama dalam sinetron dan film, bola tetap ada di sampingnya, menunggu seperti kekasih yang sabar. Ia tergabung dalam Colossus FC, tim selebritas yang juga digawangi oleh Al Ghazali. Tapi bagi Rizky, ini bukan soal eksistensi sosial. Bukan ajang pamer jersey mahal dan gaya seleb. Ini tentang pelarian yang penuh cinta.

Ia datang ke lapangan dengan niat. Berlatih dengan disiplin. Kadang ikut sesi privat demi meningkatkan teknik dan stamina. Bahkan ketika cedera ringan datang, ia tak gentar. Bagi Rizky, sepak bola bukan kegiatan sambil lalu. Ini bagian dari hidup. Ini napas.

Friedrich Nietzsche pernah menulis, “He who has a why to live can bear almost any how.” Siapa pun yang punya alasan untuk terus hidup, akan sanggup menanggung bentuk apa pun dari perjuangan. Rizky Nazar menemukan “why”-nya dalam sepak bola. Ia tak sekadar bermain untuk menang, tapi untuk bertahan. Dari tekanan sorotan. Dari padatnya jadwal. Dari lelah yang tak terlihat oleh kamera.

Di lapangan, ia belajar bukan hanya tentang umpan dan gol, tapi juga tentang kehilangan, tentang bangkit ketika jatuh, tentang diam-diam menyembuhkan diri lewat gerak dan keringat. Ia belajar sabar ketika cedera, dan rendah hati ketika menang. Ia menemukan ketenangan dan rasa kebersamaan yang tak bisa ia temui di tempat lain, bahkan di dunia yang selama ini memberinya nama besar.

Lahir pada 17 November 1996, Rizky Nazar tumbuh di zaman ketika anak muda didorong untuk serba bisa. Ia pun menjelma sebagai aktor muda serba bisa, bermain sinetron, membintangi layar lebar, menjadi idola remaja. Tapi satu hal tak pernah berubah: bola tetap menjadi detak rahasia yang terus ia jaga.

Foto/Instagram/Rizky Nazar

Foto/Instagram/Rizky Nazar

Kadang hidup menempatkan kita bukan di tempat yang kita rencanakan, tapi di tempat yang bisa kita cintai dengan cara baru. Rizky Nazar tidak menjadi striker profesional seperti yang ia impikan semasa kecil. Tapi di tengah dunia akting dan sorotan, ia masih turun ke lapangan dengan kaki yang siap berlari, dengan hati yang tetap percaya: sepak bola bukan soal panggung, tapi soal cinta yang tak selesai.

Dan jika takdir berkata lain, jika dunia hiburan tidak membukakan pintu, kita mungkin akan mengenal Rizky Nazar lewat nomor punggung, bukan nama peran.

Tapi bahkan sekarang pun, di tengah gegap gempita layar dan spotlight, ia masih menendang bola dengan mata anak kecil, penuh harap, penuh cinta, dan tanpa pamrih.

Karena di dunia yang penuh sandiwara, sepak bola adalah satu-satunya tempat di mana Rizky Nazar bisa menjadi dirinya sendiri.

Mereka tahu, mereka tak akan berlaga di Piala Dunia. Mereka juga sadar, barangkali tak akan pernah mengenakan seragam timnas, berdiri di bawah kibaran Merah Putih sambil menyanyikan Indonesia Raya di stadion internasional. Tapi mereka tak menyerah pada kenyataan itu. Mereka memilih tetap bermain. Menyentuh bola, bukan mimpi. Karena bagi mereka, yang penting bukan di mana kita bermain, tapi bagaimana kita mencintai permainan itu.

Dan mungkin, justru di situ letak kehebatan mereka.

Di tengah dunia yang mendewakan kecepatan dan sensasi, lima anak muda ini memilih jalan yang sepi: latihan, jatuh bangun, disiplin, dan kesetiaan pada satu hal yang sederhana, bola bundar. Mereka tak bermain untuk tepuk tangan. Mereka bermain untuk janji kecil pada diri sendiri, bahwa mimpi masa kecil tak harus dikubur hanya karena dunia berubah.

“Sepak bola adalah bahasa universal yang menyatukan kita semua,” kata Sepp Blatter, mantan Presiden FIFA yang pernah memimpin organisasi tertinggi sepak bola dunia selama lebih dari dua dekade. Dan kelima selebritas ini adalah buktinya. Bahwa sepak bola bukan hanya milik para atlet profesional, tetapi juga milik siapa saja yang mencintainya dengan sepenuh hati. Mereka membuktikan bahwa lapangan hijau bisa menjadi tempat perjumpaan yang jujur antara popularitas dan kerendahan hati, antara panggung hiburan dan semangat olahraga.

Melalui peran mereka, sebagai pemain, pemilik klub, dan penggemar yang setia, mereka telah menjadi bagian dari denyut sepak bola Indonesia. Mereka tak hanya bermain, tapi juga merawat atmosfer, membangun ekosistem, dan menciptakan ruang bagi mimpi-mimpi baru untuk tumbuh. Dalam diam dan dalam sorotan, mereka menyumbang harapan. Mereka memperlihatkan bahwa mencintai sepak bola tidak membutuhkan status, hanya ketulusan.

Sebagian orang menyebut mereka selebritas. Tapi barangkali, kita justru harus menyebut mereka penjaga mimpi. Penjaga ingatan, bahwa sepak bola bukan hanya milik stadion besar atau kaki-kaki terlatih dari Eropa. Ia juga milik siapa saja yang mencintainya dengan utuh, yang bersedia jatuh dan bangkit tanpa kamera, tanpa panggung.

Dan jika hidup adalah lapangan yang lebih luas dari yang bisa kita lihat, maka mereka adalah para pemainnya. Bukan untuk menang, tapi untuk bermain dengan sepenuh hati. Sebab di sanalah, kehidupan menemukan bentuknya yang paling jujur.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!