Ganteng, Atletis, Berprestasi dan Terkenal! 5 Atlet, 5 Adonis, Jadi Bintang Hiburan
Ludus01

Kita selalu terpikat oleh tubuh. Dalam mitologi Yunani, Adonis tidak dikenal karena ilmunya, tetapi karena lekuk fisiknya yang memuja simetri. Adonis adalah tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang melambangkan ketampanan laki-laki ideal dan menjadi simbol keindahan fisik maskulin. Nama ini sering dipakai secara metaforis dalam budaya populer modern untuk menyebut pria yang sangat tampan, atletis, dan memikat, mirip seperti istilah “Dewa Ganteng”.

Grafis/Pipis Fahrurizal/LUDUS.id
Dalam dunia modern, kamera menggantikan kuil, dan layar menggantikan altar. Atlet, dalam hal ini, adalah Adonis baru. Mereka tak hanya mengalahkan waktu dalam angka dan medali, tapi juga menggoda zaman lewat sorot cahaya dan estetika.
Di negeri yang kerap bising oleh sorakan tribun dan sinyal sinetron, ada lima nama yang layak disebut. Mereka adalah atlet: para petarung di gelanggang, para pengukir rekor. Wajah mereka tampan, tubuh mereka proporsional, prestasi mereka tak diragukan. Tapi dunia hiburan tidak cukup puas pada penampilan. Yang membuat mereka benar-benar masuk ke panggung bukan hanya rupa, melainkan multitalenta: karisma, ekspresi, disiplin tubuh, bahkan daya bicara, yang dengan cepat ditemukan oleh pencari wajah layar dan pemburu figur populer.
Friedrich Nietzsche (1844–1900), seorang filsuf, penyair, dan filolog asal Jerman menulis, “Siapa yang punya tubuh kuat, ia akan berbicara dengan dunia dalam bahasa yang lebih nyaring daripada suara filsafat.”
Tapi kadang dunia tidak hanya mendengar kekuatan tubuh, ia juga menangkap potensi tersembunyi: kepekaan, irama, dan keberanian untuk berpindah panggung.
Maka ketika Iko Uwais mematahkan tulang layar dalam The Raid, dan Joe Taslim merobek Hollywood dengan tatap dinginnya dalam Fast & Furious 6, The Night Comes for Us, hingga perannya sebagai Sub-Zero di Mortal Kombat, kita menyaksikan lebih dari sekadar tubuh yang bergerak. Kita menyaksikan bakat yang ditemukan, diasah, dan dibawa ke dunia lain, dunia sinema dan budaya pop global.
Denny Sumargo tak hanya men-dribble bola, tapi juga menata narasi, tentang luka, kehilangan, dan cara-cara laki-laki bisa menangis di ruang publik. Samuel Rizal, dengan wajah sinematik dan jejak basket profesional, menjadi jembatan antara stadion dan studio. Dan Glenn Victor Sutanto, yang dulu menaklukkan air, kini meluncur di permukaan dunia hiburan, muncul dalam iklan, panggung modelling, dan wacana tubuh laki-laki masa kini.
Mereka bukan hanya atlet. Mereka adalah penjelajah dimensi. Tubuh mereka menghafal irama disiplin dan ketekunan, tetapi juga menyimpan percik seni dan performa. Mereka adalah tubuh yang berbicara, dan kini, didengar lebih banyak orang lewat layar kaca dan suara komersial.
Mereka adalah atlet. Tapi mereka, lima orang atlet ini, juga lebih dari itu. Mereka adalah tubuh yang berbicara, dan kini, didengar lebih banyak orang lewat layar kaca.
Denny Sumargo: Bad Boy Basket yang Memenangkan Hidup

Ada tubuh-tubuh yang dilatih untuk melompat lebih tinggi dari luka. Denny Sumargo adalah salah satunya.
Lahir di Luwuk, Sulawesi Tengah, 11 Oktober 1981, ia dibesarkan oleh seorang ibu tunggal yang menjadi satu-satunya jangkar hidupnya. Sejak kecil, hidup Denny bukan panggung gemerlap, tapi medan bertahan. Ia tidak pernah bertemu ayahnya sejak dalam kandungan hingga usia 24–25 tahun, baru sekali bertemu, yang berlangsung satu jam sebelum sang ayah wafat keesokan harinya. Kehidupan masa kecilnya banyak ditemani pertanyaan yang tak terjawab, dan konflik batin yang tak sempat ia tutup
Pertemuan itu, yang datang terlalu lambat dan pergi terlalu cepat, menjadi semacam koma dalam hidup Denny, sebuah titik yang menandai, tapi tak pernah bisa dijelaskan.
Dalam ruang hampa itulah Denny tumbuh. Ia menyimpan pertanyaan, juga kemarahan, yang tidak sempat dicarikan jawab. Tapi tubuhnya terus bergerak. Ia bermain basket, bukan untuk jadi bintang, tapi karena tubuhnya menemukan irama di sana. Di lapangan, ia menjadi ledakan. Sebuah perpaduan antara tenaga mentah dan teknik, antara nyali dan naluri.

Foto/IBL
Ia memperkuat klub-klub besar seperti Aspac Jakarta dan Garuda Bandung. Menjadi salah satu shooting guard terbaik tanah air, terkenal karena vertical jump-nya yang eksplosif dan gaya bermain yang agresif tapi elegan. Ia bergabung dengan Aspac setelah pindah ke Jakarta pada tahun 2000 dan meraih beberapa penghargaan di sana, termasuk Rookie of the Year pada tahun 2001.
Denny masuk dunia bola basket bukan karena ingin populer, tapi karena tubuhnya menemukan irama di sana. Di lapangan, ia bukan hanya pemain, ia adalah ledakan. Posisi shooting guard dan small forward menjadi panggung bagi tubuhnya yang lentur namun keras kepala.
Puncaknya datang saat SEA Games 2007 di Nakhon Ratchasima, Thailand, Denny menjadi bagian penting dari skuad Garuda. Ia dikenal sebagai pemain dengan vertical jump terbaik di tim, dan daya eksplosif yang bisa mengubah tempo pertandingan. Ia adalah atlet dengan insting liar, tapi akurasi disiplin. Seorang komentator pernah menyebutnya “The Indonesian Vince Carter” karena gaya dunknya yang buas, berani, dan teatrikal.
Tapi tubuh sekuat itu pun bisa kelelahan menanggung beban batin.
Ketika gantung sepatu, Denny mencoba dunia baru. Ia masuk ke film (5 cm, Mall Klender, Kartini), sempat mencicipi dunia sinetron, tapi tak pernah benar-benar merasa pulang. Popularitas datang, tapi juga cibiran. Ia dicintai, tapi juga dihujat. Di balik sorotan, masih ada anak kecil dalam dirinya yang belum berdamai dengan masa lalu.

Denny Sumargo dalam film Kartini karya Hanung Bramantyo. Foto/Instagram/kartinithemoviefc
Tapi Denny tidak memilih untuk kabur. Ia memilih untuk bicara.
Melalui kanal "Curhat Bang Densu" di YouTube, ia membuka ruang pengakuan, ruang pembelajaran, bahkan ruang pengampunan. Ia mewawancarai orang, tapi sesungguhnya sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Di situ, air matanya tak disembunyikan. Doanya tak dipoles. Ia menyebut nama Tuhan dengan jujur. Di hadapan kamera, ia bukan lagi atlet. Ia bukan lagi selebritas. Ia manusia yang sedang belajar pulang ke dirinya sendiri.
Kini, Denny hidup lebih tenang. Ia menikahi Olivia Allan, perempuan yang tak hanya mendampinginya, tapi juga meneguhkan langkahnya untuk hidup lebih dalam dan utuh. Tubuhnya tetap bugar, wajahnya tetap dikenal, tapi Denny Sumargo hari ini lebih dari itu: ia adalah suara yang berani mengakui luka dan mengubahnya menjadi cahaya.
Ia pernah jadi bintang di langit-langit arena. Tapi kini, ia menjadi lentera kecil di antara gelapnya dunia yang penuh pura-pura. Dan mungkin, itu jauh lebih penting.
Glenn Victor Sutanto: Dari Kolam Renang ke Layar Kaca, Ketika Tubuh Bicara Lebih dari Kata

Ada tubuh yang dilatih untuk menembus air. Tapi Glenn Victor Sutanto membuktikan bahwa tubuh itu juga bisa menembus kamera, dengan ketenangan, senyum, dan kilau yang tak dibasahi klorin.
Lahir di Bandung, 7 November 1989, Glenn adalah bagian dari generasi emas renang Indonesia. Ia tak hanya menguasai satu gaya, tapi menguasai atmosfer: gaya kupu‑kupu, gaya punggung, hingga estafet 4×100 m gaya bebas, semua ia kuasai, semua ia lalui. Sejak remaja, namanya sudah akrab di lintasan basah pada kancah antarnegara.
Ia meraih lebih dari 15 medali SEA Games, termasuk emas di nomor 100 m gaya punggung di SEA Games Laus 2009 dengan waktu 56,42 detik. Glenn juga mencatat prestasi membanggakan sebagai perenang pertama Indonesia yang menembus rekor nasional 50 m gaya kupu‑kupu di bawah 24 detik pada Olimpiade Rio 2016. Ia adalah tubuh yang berlari di atas air dengan disiplin dan presisi.

Glenn Victor masuk ke Top 3 Mister International 2024. Foto//Dok. Glenn Victor
Berkat konsistensi prestasinya, publik mulai mengenalnya sebagai figur, bukan hanya atlet. Setelah pensiun, ia mengikuti The New L‑Men of the Year 2024 dan keluar sebagai juara. Kemenangannya bukan sekadar soal fisik, tetapi juga pesan gaya hidup sehat yang ingin ia sebarkan. Ia pun mewakili Indonesia di Mister International 2024, di mana ia menjadi Top 3, prestasi yang memaksanya benar‑benar dilihat sebagai sosok global.
Dari situ, kamera tak lagi hanya menangkap tubuh berotot, tapi menangkap ketenangan wajah dan karisma naturalnya. Ia memasuki dunia hiburan: muncul menjadi bintang iklan, menjadi bintang tamu di berbagai acara, hingga wajahnya dikenal publik yang jauh lebih luas daripada dunia renang. Dan, ia juga dikenal sebagai influencer gaya hidup sehat.

Foto/Dok. Glenn Victor
Bagi banyak orang, ini kejutan. Tapi bagi Glenn, ini lanjutan dari perjalanan panjang: dari kolam renang ke panggung, dari disiplin atlet hingga inspirasi publik, dari sudut sibuk untuk berekspresi di layar kaca. Tubuhnya yang dibentuk oleh disiplin renang kini dibingkai dalam narasi gaya hidup sehat dan maskulinitas modern.
Kini, ia dikenal bukan hanya sebagai atlet, tetapi juga brand ambassador, dan pelatih renang bersertifikasi internasional. Glenn membuktikan bahwa tubuh bisa menjadi bahasa kedua, bahwa perenang dengan dedikasi, tak hanya menuntaskan di air, tapi juga menuntun publik ke arah hidup sehat, estetis, dan bernyawa.
Dan seperti kata Nietzsche:
"He who has a why to live can bear almost any how."
Glenn punya alasan. Dan selama itu ada, ia terus melaju, entah dalam air, di kamera, maupun di nilai-nilai yang dia sebarkan.
Iko Uwais: Silat, Kamera, dan Tubuh yang Membelah Dunia

Ia bukan aktor yang dilatih bertarung, tapi pesilat yang tanpa rencana dipanggil kamera.
Lahir di Jakarta, 12 Februari 1983, Iko Uwais tumbuh dalam keluarga Betawi yang lekat pada nilai-nilai tradisional, spiritual, dan kedisiplinan tubuh. Kakeknya, H. Achmad Bunawar, adalah pendekar ternama sekaligus pendiri perguruan silat Panglipur, aliran yang menekankan keseimbangan, harmoni gerak, dan filosofi tubuh sebagai penjaga martabat. Dari sang kakek, silat diwariskan bukan sebagai keterampilan bela diri semata, melainkan sebagai jalan hidup.
Tubuh Iko sejak dini menyerap ritme silat seperti anak-anak lain menyerap bahasa ibunya. Ia bukan hanya bergerak untuk bertahan atau menyerang, tapi untuk mengungkapkan dan menyampaikan makna. Tahun 2005, ia menjuarai turnamen silat DKI Jakarta dan masuk pelatnas. Tapi di luar gelanggang, ia hidup seperti rakyat biasa. bekerja sebagai sopir di perusahaan telekomunikasi, menjalani hari dengan peluh yang tidak pernah dramatis.

Tendangan split, lumpur, dan halaman penjara, yang disebut sebagai unsur pertarungan terhebat sepanjang masa dalam film The Raid 2 yang melambungkan nama Iko Uwais. Foto/Instagram/TheRaid2
Sampai pada suatu hari yang tampaknya biasa, sutradara asal Wales, Gareth Evans, sedang mencari narasumber untuk film dokumenter tentang silat. Ia datang ke perguruan Panglipur, dan melihat Iko. Di tubuh Iko, Gareth tak hanya melihat kekuatan, tapi ketenangan, potensi dramatik, dan ekspresi yang diam-diam menyala. Maka lahirlah film Merantau (2009), debut layar lebar Iko yang memadukan kejujuran silat dengan narasi film yang emosional.
Tapi dunia sungguh terbuka ketika The Raid (2011) muncul. Festival-festival seperti Toronto dan Sundance menyambutnya dengan tepuk tangan berdentum. Di film itu, tubuh Iko bergerak seperti bahasa baru: cepat, bersih, mematikan, tapi juga indah. Ia membuat silat relevan dalam sinema dunia di tengah dominasi kungfu dan taekwondo yang lebih dulu punya panggung global.
Setelah itu, Hollywood memanggil. Iko muncul dalam Mile 22 bersama Mark Wahlberg, Stuber, The Night Comes for Us, The Expendables 4, hingga sekilas di Star Wars: The Force Awakens. Ia tak hanya menghadirkan silat sebagai teknik, tapi sebagai estetika. Tubuhnya membawa budaya, bukan hanya aksi.

Di balik tubuh yang terus bergerak itu, Iko berdiri di atas akar yang kukuh. Ia adalah cucu pendekar, anak dari keluarga pekerja keras, dan suami dari Audy Item, penyanyi bersuara khas yang dinikahinya pada tahun 2012. Audy bukan hanya pasangan hidup, tapi juga rekan jiwa dalam menavigasi dunia hiburan yang gemerlap dan seringkali menyesatkan arah. Dari pernikahan mereka lahir dua putri, dan di sela latihan serta pengambilan gambar, Iko tetap menyisakan waktu untuk menjadi ayah, menjadi suami dan tetap, menjadi murid dari tubuhnya sendiri.
Ia menyebut dirinya "pesilat yang main film", bukan "aktor yang bisa silat".
Di situlah kejujurannya tetap menyala. Ia tidak pernah sepenuhnya berpindah panggung, hanya menambah tempat untuk tubuhnya berbicara lebih luas. Dari pelataran perguruan, ke bioskop dunia.
Dan mungkin karena itulah, setiap kali Iko muncul di layar, kita tak hanya melihat peran. Kita melihat warisan. Kita melihat tubuh Indonesia yang sedang bicara kepada dunia, tanpa teriak, tanpa tipu, tapi dengan irama yang sangat tua dan sangat baru sekaligus.
Joe Taslim: Tatapan Dingin, Darah Panas, dan Jalan Sunyi Seorang Petarung

Setiap gerakan dalam bela diri menyimpan diam. Dan Joe Taslim, sejak kecil, telah belajar bahwa kekuatan tak selalu ditunjukkan dengan pukulan—kadang ia hadir dalam ketenangan.
Lahir di Palembang, 23 Juni 1981, Johannes “Joe” Taslim tumbuh di tengah keluarga Tionghoa yang menjunjung tinggi kedisiplinan, pendidikan, dan nilai kerja keras. Ayahnya adalah kepala sekolah, ibunya guru, dan rumah mereka lebih sering dipenuhi buku daripada televisi. Tapi di sela pelajaran matematika dan tata bahasa, tubuh Joe gelisah mencari ruang untuk bergerak. Maka bela diri menjadi jalan sunyinya—sebuah tempat di mana tubuhnya bisa berkata lebih banyak daripada mulutnya.

Perjalanan prestasi Joe Taslim sebagai atlet judo nasional. Foto/Isntagram/Joe Taslim
Ia memilih judo, bela diri Jepang yang mendidik bukan hanya tangan dan kaki, tapi juga emosi dan penundukan ego. Ia berlatih sejak belia. Keringat, lebam, dan kesepian menjadi teman akrabnya. Tahun 1997, ia memperkuat tim nasional. Ia menyabet medali emas Kejurnas 2006, medali perak SEA Games 2007, dan deretan prestasi lain yang membungkam keraguan: tubuhnya bukan sekadar kuat, tapi terlatih dengan filosofi. Ia bukan atlet yang suka sorotan, tapi setiap matras yang disentuhnya seperti lembar kitab yang dibaca dalam diam.
Tapi seperti kebanyakan peristiwa besar dalam hidup, jalannya berbelok saat ia tidak mencarinya. Dunia film mendekat, pelan, lalu meledak.
Hollywood memperhatikannya. Bukan sekadar menoleh, tapi terhenyak. Tubuh dari Palembang itu, dengan diam yang penuh ancaman dan gerak yang mendesis seperti pisau, tiba-tiba meledak di radar industri hiburan global. Dan ketika Joe Taslim diumumkan sebagai bagian dari Fast & Furious 6 (2013), jutaan mata di Indonesia seakan tersengat oleh kenyataan: seorang judoka nasional kini berdiri sejajar dengan bintang-bintang dunia, dalam waralaba film paling komersial sedunia.
Dalam film itu, Joe tampil bukan hanya sebagai penjahat, tapi sebagai keheningan yang mematikan. Tatapannya dingin, tubuhnya gesit, dan kehadirannya menyisakan trauma pada penonton, bukan karena teror, tapi karena ketepatan. Dunia menyaksikannya bukan sebagai aktor Asia pelengkap adegan laga, tapi sebagai ikon baru sinema aksi global.

Film fenomenal besutan Hollywood yang melambungkan nama Joe Taslim di dunia film internasional
Lalu ia menembus Star Trek Beyond. Lalu meledak lagi di The Night Comes for Us. Tapi puncaknya—atau mitosnya—lahir ketika ia membeku sebagai Sub-Zero dalam Mortal Kombat (2021). Dalam film itu, tubuh Joe tak hanya berperan, ia menjadi kutukan, ia menjadi legenda. Ia tidak lagi dikenal sebagai atlet Indonesia. Ia dikenal sebagai wajah ketakutan dan keindahan dalam satu tarikan napas es. Indonesia tidak hanya bangga, Indonesia terperangah.
Tapi di balik semua itu, Joe tetap menyebut keluarga sebagai fondasi. Ia adalah suami dari Julia Taslim dan ayah dari tiga anak. Dalam berbagai wawancara, ia selalu menyebut bahwa anak-anaknya adalah alasan ia tetap belajar. Tetap tenang. Tetap mencari keseimbangan, seperti judo yang ia pelajari dulu, dalam matras Palembang yang sunyi.
Ia bukan aktor yang dipoles, tapi petarung yang ditemukan. Dan mungkin karena itu pula, dalam setiap adegannya, Joe tidak sekadar memukul atau berlari. Ia menghadirkan filsafat tubuh. Ia menunjukkan bahwa bela diri bukan sekadar seni kekerasan, tapi juga seni hadir dalam keheningan.
Samuel Rizal: Dari Slam Dunk ke Sinar Kamera, Ketika Tubuh Menjadi Narasi

Ada tubuh yang dilatih untuk melangkahi batas gravitasi. Samuel Rizal adalah salah satunya.
Lahir di Jakarta, 26 November 1980, Samuel “Sammy” Rizal Arifin tumbuh dari darah Padang, Ambon, dan Manado, dalam keluarga dengan dua orang tua pendidik. Tinggi badannya 183 cm, membantunya menjejak ke lapangan basket sejak usia belia, ketika ia mulai mengasah teknik dribble dan tembakan jarak jauh sebagai anak yang penuh semangat.
Bakatnya tidak semata alami, ia sempat bergabung dengan klub Satria Muda Jakarta, mewakili Indonesia dalam kejuaraan three-on-three di Taiwan, dan dipanggil ke tim nasional junior. Ia dikenal sebagai pemain dengan agresivitas tinggi, vertical jump eksplosif, dan postur tubuh ideal. Komentator sempat menyebutnya seperti “Vince Carter-nya Indonesia” karena cara bermainnya yang akrobatik dan teatrikal.
Tapi tubuh semacam itu bahagia bukan hanya saat mencetak angka. Sammy, di sela-sela latihan, menguji tubuhnya lewat angkat beban dan latihan pilates, menjaga otot agar tetap padat dan fleksibel . Gaya hidupnya yang disiplin, termasuk pola makan kaya protein, membuatnya semakin mudah dikenal sebagai atlet "kekar dan sehat". Namun, hatinya terus mencari tempat lain untuk bersuara.

Kesempatan itu datang dalam bentuk sinema. Saat sedang mengikuti seleksi basket profesional tahun 2002, ia ditawari menjadi model catwalk oleh talent scout, yang kemudian mengantarkannya ke dunia akting. Karier aktingnya dimulai lewat Tusuk Jelangkung (2003), namun namanya benar-benar melejit saat berperan sebagai Adit dalam Eiffel I'm in Love (2003). Film itu meraih lebih dari tiga juta penonton, dan parkir namanya di hati publik muda.
Ketenaran itu memukau: ia meraih Most Favorite Actor dalam MTV Indonesia Movie Awards 2004. Namun yang menarik adalah bahwa ia tetap menghidupi kecintaannya pada basket, ia bahkan mendirikan ACES Basketball Jakarta, tim amatir yang ia kelola dan bermain di liga open. Ia menyatukan kedua dunia itu: berbicara lewat statistik pertandingan dan dialog naskah film.

Foto/Instagram/Samuel Rizal
Kini, Samuel disebut sebagai aktor dengan tubuh atletis, wajah menawan, dan karakter yang tetap humble. Ia membintangi berbagai film horor (Ghost Soccer: Bola Mati 2025), film remaja (Apa Artinya Cinta?, Eiffel I'm in Love), serta sinetron dan web series. Tapi yang lebih menarik: ia dikenal juga sebagai figur gaya hidup sehat, gym, pilates, bahkan diving bersama anaknya.
Sammy hadir sebagai narasi yang menghubungkan dua dunia, olahraga dan hiburan. Tubuh yang dulu menjulang di ring basket kini juga mengecup lampu sorot layar. Ia membuktikan bahwa lompatan bisa bermakna ganda, dan identitas bisa lebih dari satu dengan satu tubuh yang siap bercerita.

Tubuh yang Melampaui Medali: Ketika Arena Berganti Kamera
Tak semua kemenangan berakhir di podium. Sebagian justru dimulai ketika sorak-sorai lapangan usai, ketika tubuh kembali diam, dan dunia meminta bentuk lain dari kehadiran.
Lima tubuh itu pernah disambut peluit, pelampung, papan skor. Mereka adalah representasi dari kekuatan, kecepatan, ketepatan. Tapi waktu, seperti air, membawa mereka ke tepian lain: layar sinema, sinetron, panggung digital. Dunia hiburan bukan sekadar pelarian. Ia adalah arena baru yang juga menuntut bentuk, ekspresi, dan keberanian, bukan sekadar dari otot, tapi dari rasa dan cerita.
Denny Sumargo, atau Densu, si "Bad Boy Basket", bukan sekadar pemain dengan dunk spektakuler. Ia adalah luka yang bergerak. Setelah gantung sepatu, ia menjelma menjadi pengakuan: menjadi aktor, podcaster, dan juru selamat bagi banyak kisah yang tak punya tempat bicara. Densu bukan sekadar bintang, ia adalah kanal luka kolektif yang diberi mikrofon.
Glenn Victor Sutanto melompat dari air ke cahaya. Ia perenang nasional dengan puluhan medali SEA Games dan debut di Olimpiade Rio. Tapi tubuhnya yang terlatih tak berhenti di sana. Ia tak pernah berteriak. Tapi ketenangannya adalah bentuk baru dari kedisiplinan tubuh.
Iko Uwais membuka jalan. Dari linoleum sasana pencak silat, tubuhnya ditarik ke kamera oleh mata visioner Gareth Evans. Ia tidak belajar akting, tapi tubuhnya sudah bicara sebelum dialog ditulis.
Joe Taslim datang dari dunia judo dan SEA Games. Tapi ia juga datang dari keluarga Tionghoa Palembang yang mencintai seni bela diri seperti mencintai musik klasik. Di The Night Comes for Us, ia menari dalam darah dan kamera. Ia adalah tubuh yang melampaui negara.
Samuel Rizal mungkin adalah transisi yang paling natural. Ia bukan sekadar atlet basket dengan shooting guard akrobatik, tapi juga wajah yang merebut jutaan penonton lewat Eiffel I'm in Love. Ia tetap bermain basket. Ia juga tetap memelihara tubuhnya dengan gym dan pilates. Tapi kini tubuhnya menjadi sinyal lain, tentang cinta, kehilangan, dan dialog remaja yang tak lekang.
Mereka berlima adalah Adonis-Adonis Indonesia yang tak hanya menjual wajah atau otot, tapi disiplin, luka, dan tekad. Mereka adalah narasi tentang transformasi, bahwa tubuh tak berhenti saat karier atlet usai. Ia berpindah medium. Ia menemukan panggung baru.
Dan mungkin, seperti kata Nietzsche,
"To become what you are, you must go beyond what you were."
Untuk menjadi diri yang utuh, manusia harus melampaui versi lamanya.
Maka jangan heran jika wajah-wajah yang dulu berlari di lapangan, kini berdiri di depan kamera. Mereka tidak berkhianat pada masa lalu. Mereka justru menghidupi bentuk baru dari kemenangan.
Mereka pernah menang di ring, di lintasan, di kolam, di udara. Tapi kemenangan terbesar kadang datang ketika tak ada wasit, tak ada stopwatch, hanya kamera yang merekam dan publik yang menafsir. Di sanalah mereka berdiri hari ini, bukan sebagai atlet yang ditinggal waktu, tapi sebagai manusia utuh yang berani menjadikan tubuhnya panggung cerita, bukan sekadar alat juara.
Mereka tak pernah benar-benar pensiun, hanya mengganti arena. Dari podium ke panggung, dari medali ke makna. Dan di dunia yang haus wajah serta cerita, mereka tetap melaju, dengan tubuh, disiplin, dan jiwa yang tak pernah berhenti berbicara. (Dari Berbagai Sumber)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!