Anak Malang, dari Malang: Surat Terbuka Nia kepada Presiden, Menpora, dan Wamentan
Ludus01

"Saya Bukan Anak Siapa-siapa, Tapi Saya Anak Indonesia"

Di sebuah sudut Kabupaten Malang, tepatnya di Kemantren, satu jam ditempuh dari kota Malang, di antara deru angin yang menyisir lereng-lereng hijau, lahirlah seorang gadis yang mengangkat pedang bukan untuk berperang, melainkan untuk bermimpi. Namanya Nia Ayu Agustina, lahir pada 3 Agustus 2004, anak sulung dari pasangan Suharjo, seorang peternak sapi yang akrab dengan saban fajar dan bau rumput basah, dan Sudarsih, ibu rumah tangga yang membesarkan anak semata wayangnya dengan keberanian dan kekuatan.

Nia Ayu Agustina bersama keluarga besarnya. Foto/Dokpri
Nia tumbuh bukan di rumah yang dipenuhi trofi mahal, tetapi di rumah yang dipenuhi keyakinan: bahwa kerja keras tak akan pernah sia-sia. Ia belajar anggar sejak usia muda, sejak SMP, di bawah sang pelatih Maria Wauran dan Elvizar, dan tak pernah berhenti menggenggam mimpi, menjadi juara, mewakili Indonesia, tampil di Olimpiade.
Nia tidak tumbuh di rumah yang bising oleh ambisi, tapi di rumah yang penuh keikhlasan. Ia mengenal anggar bukan dari ruang mewah, melainkan dari tanah dan keringat. Tapi dari sana pula ia belajar menebas rasa takut, menekuk keraguan, dan mengayunkan sabel sebagai simbol keberanian.
Prestasinya bukan karangan. Ia, juara 1 Individu Sabel Putri Porprov Situbondo 2022, juara 1 Kejurnas Junior dan Senior 2024 di Manado, juara Beregu di Porprov Sidoarjo 2023, dan podium demi podium yang ia taklukkan di Jakarta, Banyuwangi, Bogor, hingga Sulawesi.

Dan tak berhenti di situ: pada tahun ini, di bulan Juni 2025, Nia, di bawah pelatih Rully Mauliadhani Apriliani dan Olfi Rumuat, mewakili Indonesia di Kejuaraan Asia Anggar di Bali. Ia berdiri sejajar dengan atlet-atlet dari negara Asia lain, bukan sebagai penggembira, tetapi sebagai wakil sah negeri ini. Karena ia tahu, jalur internasional tempat ia bertanding berada di bawah federasi dunia anggar FIE, satu-satunya yang diakui oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Dari sinilah persoalan dimulai. Karena mengikuti kejuaraan internasional yang dipimpin oleh federasi yang sah secara global, Nia justru dianggap “bermasalah” oleh kepengurusan anggar daerah.
Alih-alih diapresiasi, ia dilarang tampil di ajang Porprov di rumahnya sendiri, Kabupaten Malang, oleh organisasi provinsi yang tak mengakui jalur FIE. Konflik organisasi yang membelah dua ini, seperti menutup gelanggang bagi mereka yang justru memilih jalur yang benar.
Padahal, bagi Nia, bermain anggar bukanlah soal organisasi. Itu soal mimpi. Soal dedikasi. Soal keberanian seorang anak muda untuk menepati janji kepada dirinya sendiri.

Kini, ia bukan sedang bersiap tanding, tapi sedang merangkai kata demi kata. Karena di saat suara mayoritas diam, seseorang harus cukup berani untuk bersuara. Ia tidak sedang menyalahkan, tapi juga tidak ingin menyalahkan diri sendiri atas pilihan yang ia ambil, pilihan yang sejatinya taat pada aturan dunia.
Bagi Nia, kemenangan adalah hasil dari dedikasi. Perjuangan adalah jalan yang sepi tapi jujur. Dan sukses bukan sekadar angka di papan skor, tapi tentang menepati janji kepada diri sendiri, untuk terus bertahan, meski dunia seperti ingin menyingkirkanmu.
Namun, kini langkahnya tersandung. Bukan oleh lawan di arena, tapi oleh sistem yang bahkan tidak pernah dia pilih. Ia tak bisa ikut Porprov. Tak bisa tampil di PON. Tak bisa mewakili daerahnya sendiri. Semua karena dualisme organisasi. Karena konflik yang membelah federasi anggar dan membiarkan atlet jadi korbannya.

Bagi Nia, kemenangan bukan sekadar naik podium, melainkan menuntaskan janji kepada diri sendiri: bahwa kerja keras tak pernah sia-sia. Bahwa tubuh yang lelah, lutut yang memar, dan pikiran yang gentar akan diganjar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar medali, pengakuan akan harga dirinya sebagai seorang atlet.
Ia percaya, perjuangan adalah jalan yang tidak selalu ramah, tapi selalu jujur. Dan bahwa sukses, pada akhirnya, bukan hanya tentang mencetak skor, tapi tentang tumbuh sebagai manusia yang tahu cara jatuh, dan tahu lebih baik cara bangkit.
Dan ketika gagal, Nia bukan tipe yang menyalahkan siapa-siapa. Ia akan menengok ke dalam, mengevaluasi, belajar, lalu kembali turun gelanggang. Karena ia tahu, tidak semua orang berani berdiri kembali di tempat yang pernah menjatuhkannya.
Kini, Nia sedang kuliah, semester 3 Universitas Budi Utomo Malang, ambil jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, masih menjadi bagian dari Klub Anggar Kabupaten Malang, dan masih memeluk mimpi yang sama: menjadi pribadi yang terus tumbuh dan suatu hari nanti, tampil di Olimpiade, membawa nama Indonesia.

Tapi hari-hari belakangan ini, mimpi itu bukan hanya menjauh. Ia seperti dikebiri oleh konflik yang bahkan bukan dimulai oleh Nia. Ketika ia dilarang bertanding bukan karena prestasi atau kesiapan, tapi karena ia berasal dari "organisasi yang tidak diakui oleh daerah", maka itu bukan hanya menyakitkan, itu merusak sendi paling dasar dalam olahraga: keadilan.
Dan di sinilah ia kini berdiri. Menuliskan surat dengan segenap keberanian, bukan karena ingin menentang, tetapi karena ingin menggugah. Agar negeri ini tahu, bahwa di balik pedang sabel yang ia genggam, ada seorang gadis yang tidak sedang ingin melawan siapa pun, kecuali ketidakadilan.
Dan dari luka itulah, Nia menulis. Khusus dan eksklusif hanya melalui LUDUS.ID. Bukan untuk mengeluh. Tapi untuk bersuara.
“Kami tidak minta diistimewakan. Kami hanya ingin diberi ruang untuk bertanding dengan adil.”

Kemantren, Kab. Malang, 30 Juni 2025
Kepada Yth.:
Bapak Presiden Republik Indonesia
Bapak Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Bapak Wakil Menteri Pertanian Republik Indonesia
Dengan hormat,
Saya, Nia Ayu Agustina, atlet anggar dari Kabupaten Malang, menulis surat ini dengan harapan yang sangat besar: agar suara seorang atlet muda bisa didengar di tengah bisingnya tarik-menarik kepentingan di balik olahraga.
Saya memulai anggar bukan untuk masuk organisasi mana pun. Saya memulai karena saya cinta. Karena saya ingin bertanding. Karena saya ingin menjadi juara dan mengibarkan Merah Putih.
Tahun 2023, saya masuk dalam Puslatda Jawa Timur untuk persiapan Pra-PON dan PON Aceh-Sumut. Tapi saat hari seleksi tiba, saya dinyatakan tidak bisa bermain, bukan karena tidak layak atau tidak berprestasi, melainkan karena saya dianggap dari “organisasi yang berbeda”.
Tahun 2024, saya tetap bertahan. Saya ikut Kejurnas di Manado, memenuhi semua syarat administratif, dan menjadi juara nasional. Lalu saya dipanggil pelatnas dan mewakili Indonesia di Kejuaraan Asia di Bali, turnamen resmi yang berada di bawah federasi dunia anggar FIE, yang diakui oleh IOC. Saya mengikuti kejuaraan itu karena saya tahu, Olympic Chapter sudah jelas menyatakan: hanya federasi nasional yang tunduk pada organisasi internasional yang diakui IOC yang sah membawa atlet ke panggung Olimpiade.

Dan Olimpiade adalah mimpi saya.
Tapi mimpi itu kini seperti digantung di ujung pedang.
Tahun ini, saat Porprov ke-9 digelar di Kabupaten Malang, kampung halaman saya sendiri, saya justru kembali tidak diizinkan bertanding. Saya, dan 11 atlet anggar Kabupaten Malang lainnya, dilarang tampil. Sekali lagi, karena dualisme organisasi.
Yang paling menyakitkan bagi saya adalah sikap dari KONI Jawa Timur. Saya sangat kecewa. Karena siapa sih atlet di negeri ini yang tidak ingin ikut PON? Sebelum ada seleknas, saya punya harapan besar bisa tampil di PON. Kapan lagi bisa bertanding di ajang besar, saat usia saya masih muda dan penuh tenaga?
Tapi di cabang anggar ini, rasanya seperti ada pilih kasih. Seolah-olah perhatian dan kesempatan hanya diberikan untuk “anak buah” dari daerah tertentu.
Saya sempat sangat down. Bukan karena kalah bertanding. Tapi karena tidak diberi kesempatan untuk masuk gelanggang. Karena sistem memilih siapa yang boleh maju, bukan berdasarkan kerja keras atau prestasi, tapi berdasarkan garis organisasi.

Namun di tengah segala kecewa itu, saya masih menyimpan harapan.
Saya melihat kehadiran Bapak Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo dan juga Bapak Wakil Menteri Pertanian Sudaryono di ajang Kejuaraan Asia di Bali kemarin. Saya dengar keduanya punya perhatian besar terhadap anggar, apalagi Wamentan yang katanya pernah jadi atlet anggar. Dan di sana, kami merasakan bahwa sinyal dukungan dari pemerintah mulai terasa. Itu seperti nyala lilin kecil di tengah ruangan yang nyaris gelap. Maka surat ini saya tulis juga sebagai bentuk keyakinan: bahwa negara belum sepenuhnya berpaling dari kami.
Saya bukan anak siapa-siapa. Tapi saya anak Indonesia. Dan saya percaya, negara ini tidak boleh diam saat mimpi-mimpi anak mudanya dihentikan oleh konflik dan kekuasaan.
Bapak Presiden, Bapak Menpora dan Bapak Wamentan,
Saya percaya, negara ini tidak kekurangan kebijaksanaan untuk melihat siapa yang sedang berjuang dan siapa yang sedang memperjuangkan kepentingan.
Maka izinkan saya berharap, kiranya ketegasan dan keberpihakan pada prinsip keadilan dapat menjadi suluh bagi kami, atlet-atlet muda yang hanya ingin bertanding dengan jujur, di jalan yang benar. Kami butuh satu federasi yang sah, yang berpihak pada atlet, dan yang membuka jalan ke Olimpiade, bukan menutupnya.

Kami butuh keputusan, bukan pembiaran.
Kami butuh keadilan, bukan pemihakan.
Dan untuk para pengurus organisasi anggar, saya ingin berkata dengan jujur: Jika kalian benar-benar mencintai olahraga ini, maka belajarlah untuk legowo. Jabatan bukan segalanya. Tapi masa depan atlet muda adalah segalanya bagi negeri ini. Jangan halangi jalan kami hanya karena kami bukan bagian dari kelompok kalian.
Saya tahu saya masih muda. Tapi saya percaya: diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita saya sendiri. Saya tidak ingin menyesal karena tidak bersuara.
Dan saya tidak ingin dikenang sebagai atlet yang tunduk pada ketidakadilan, tapi sebagai seseorang yang pernah melawan, dengan pedang dan suara. Saya ingin dikenal bukan hanya sebagai atlet anggar, tapi sebagai seseorang yang pernah melawan ketidakadilan demi mimpinya.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!