
“Untuk menjadi juara yang hebat, Anda harus percaya bahwa Anda adalah yang terbaik. Jika tidak, berpura-puralah menjadi yang terbaik.”
-- Muhammad Ali --

Kalimat itu terdengar congkak bagi sebagian orang. Tapi bagi Muhammad Ali, percaya diri bukan sekadar sikap, itu jalan hidup. Ia tidak hanya memenangi pertarungan di atas ring, tetapi membentuk ulang makna seorang juara: bukan hanya yang tercepat atau terkuat, tapi juga yang paling teguh.
Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial dipenuhi kembali oleh video-video lama tentang Muhammad Ali. Bukan rekaman KO-nya yang melegenda, bukan pula pidato anti-perang yang menggelegar. Yang viral justru sederhana: potongan video yang menunjukkan bintang bertuliskan "Muhammad Ali" di Hollywood Walk of Fame, bukan di trotoar seperti biasa, melainkan tertanam di dinding.

Walk of Fame Muhammad Ali. Foto/Usatoday
Potongan video itu disertai kekaguman: mengapa nama besar ini tidak diletakkan di lantai seperti bintang-bintang lainnya? Jawabannya sederhana, tapi sarat makna, agama dan prinsip. Dan dari sinilah kita kembali mengingat siapa Muhammad Ali sebenarnya: seorang juara, yang tak hanya unggul di atas ring, tapi juga berdiri kokoh atas nilai-nilai yang diyakininya.
Hollywood Boulevard. Jalan para bintang. Di sana, lebih dari 2.700 nama dari dunia hiburan, olahraga, dan seni terpajang dalam marmer merah muda. Elvis Presley, Audrey Hepburn, Michael Jackson. Tapi hanya satu bintang yang tidak berpijak pada bumi.

Ali dianugerahi bintang pada 11 Januari 2002, dalam kategori “Live Performance”. Ia adalah satu-satunya petinju yang mendapat kehormatan itu. Namun, alih-alih bersujud bersama bintang-bintang lain di trotoar, namanya dipasang di dinding Dolby Theatre, karena satu alasan sederhana namun dalam: iman dan penghormatan.
“Saya menyandang nama Nabi Muhammad yang mulia. Tidak mungkin saya membiarkan orang-orang menginjak nama Nabi saya,” kata Ali, sebagaimana dikutip oleh The Guardian dan dikonfirmasi ulang oleh Snopes.
Permintaan itu diterima oleh Komite Walk of Fame. “Itu permintaan pribadi yang kami hormati,” ujar Johnny Grant, Ketua Komite saat itu (NBC Los Angeles, 2016). Maka, dari ribuan nama yang ditabalkan di trotoar, nama Muhammad Ali berdiri sendiri, tegak lurus di dinding, seperti prinsip hidupnya.

Ali tidak hanya meninggalkan jejak dalam sejarah olahraga. Ia meninggalkan jejak moral. Di dalam ring, ia dikenal dengan gaya bertinju flamboyan dan percaya diri: “I float like a butterfly, sting like a bee.”
Aku melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. Dan memang begitu ia tampil: ringan di kaki, mematikan di pukulan.
Ia, Muhammad Ali, menari-nari di atas ring.
Semua itu dimulai dari Roma, 1960, ketika remaja bernama Cassius Clay meraih emas di Olimpiade. Ia pulang sebagai pahlawan, dan emas itu menjadi jalan menuju keabadian olahraga.

Foto/olympic.com
Dan, Ali memulai karier tinjunya sebagai Cassius Clay, remaja berapi-api dari Louisville, Kentucky. Ia merebut perhatian dunia di usia 18 tahun. Tapi dunia baru benar-benar mengenalnya pada 25 Februari 1964, saat ia mengalahkan Sonny Liston dan merebut gelar Juara Dunia Kelas Berat versi WBA dan WBC. Ia kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali, memeluk Islam, dan menolak wajib militer dalam Perang Vietnam.
Di atas ring, ia memenangi 56 pertandingan dari 61 laga, dengan 37 kemenangan KO, dan menjadi juara dunia tiga kali: 1964, 1974, dan 1978. Tapi Ali lebih dari sekadar petinju. Ia menjadi ikon perlawanan, suara kaum kulit hitam, dan wajah Islam di Amerika yang lantang bersuara.

Namun, tak selamanya tubuh itu tegap berdiri. Pada 1984, Ali mengumumkan bahwa ia mengidap Penyakit Parkinson, kemungkinan akibat pukulan berulang di kepala. Meski perlahan kehilangan kekuatan bicara dan kendali tubuh, Ali tak pernah kehilangan aura. Ia tetap tampil di publik, menjadi duta perdamaian, menyulut obor Olimpiade Atlanta 1996, dan mendirikan Muhammad Ali Parkinson Center di Phoenix, Arizona.
Momen paling ikonik bukan hanya saat pukulannya menghentikan lawan. Justru ketika tangannya yang gemetar menyulut obor Olimpiade Atlanta 1996, dalam sorak publik yang haru. Saat dunia menyaksikan mantan juara itu berdiri dalam pelan, tapi tetap tegak.
Itu bukan hanya api Olimpiade, itu api keteguhan hati.

“24 tahun lalu hari ini, Muhammad Ali menyalakan obor Olimpiade Atlanta 1996, memberikan kita salah satu momen paling ikonik dalam sejarah olahraga,” tulis akun resmi Olimpiade dalam mengenang ulang momen itu.
Dalam diam dan gemetar, Ali tetap menyala.
Warisannya pun hidup. Bukan hanya dalam ingatan publik, tapi dalam darah putrinya: Laila Ali, yang mengikuti jejak sang ayah ke ring tinju. Laila pensiun dengan rekor tak terkalahkan: 24 kemenangan, 0 kekalahan, 21 KO, dan menyandang gelar juara dunia kelas menengah wanita. Dalam setiap wawancara, Laila selalu menyebut ayahnya bukan hanya sebagai legenda, tapi guru kehidupan.

Tapi di luar ring, ia adalah penyair, pembela keadilan, dan pemilik lidah tajam terhadap ketimpangan. Ia menolak Perang Vietnam, kehilangan sabuk juaranya, namun tetap berdiri tegak. Ia tidak bertarung demi piala, tapi demi prinsip yang tidak bisa dijual.
Ketika Muhammad Ali wafat pada 3 Juni 2016, ratusan orang berkumpul di depan Dolby Theatre. Mereka membawa bunga, sarung tinju, dan air mata. Mereka berkumpul di depan satu-satunya bintang yang tak bisa diinjak. Tak seorang pun berdiri di atas namanya. Karena bahkan dunia yang sibuk sekalipun tahu: ada nama yang terlalu suci untuk dipijak.

Di antara nama-nama yang dipasang untuk ketenaran, nama Ali dipasang karena keyakinan.
Kini, ketika video lama itu kembali menyebar, generasi baru mengenal ulang seorang legenda. Bukan hanya karena sabuk juaranya, tapi karena cara ia mempertahankan martabat di atas popularitas. Mereka mungkin tak menyaksikan langsung Thrilla in Manila atau Rumble in the Jungle. Tapi mereka bisa belajar satu hal dari bintang yang berdiri tegak: bahwa ketenaran bisa bersinar, tapi keyakinan yang membuatnya bertahan.

Ali tidak hanya ingin dikenang sebagai petinju terbaik, tapi sebagai manusia yang teguh pada hati dan imannya. Ia tidak mencari tempat di bawah kaki manusia. Ia memilih berdiri setara dengan wajah mereka.
Dan di situlah seharusnya para legenda berdiri.
“Siapa pun yang tak cukup berani mengambil risiko, tak akan pernah meraih apa pun dalam hidup,” kata Muhammad Ali.
Dan ia telah membuktikannya.
Hollywood Walk of Fame adalah panggung selebritas. Tapi Ali bukan selebritas biasa. Ia tidak hanya dikenang karena gelar dan sabuk, tapi karena cara ia berdiri atas nama keyakinan, bahkan ketika seluruh dunia menunduk.

Ia telah mengatakannya sejak awal:
“I’m the greatest ever,” katanya. Dan memang, sulit untuk membantah itu. Masih sulit hingga kini.
(Dari Berbagai Sumber)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!