Cahaya dari Astana: Kisah Haru Tim Judo Tunanetra Indonesia Raih Dua Emas di IBSA Asian Championship 2025
Akhmad Sef


LUDUS - Di antara dingin yang menggigit hingga minus sepuluh derajat di Astana, Kazakhstan, ada kehangatan yang justru datang dari mata yang tak melihat, tapi hati yang menyala. Pada tanggal 7–8 November 2025 itu, Tim Judo Tunanetra Indonesia menorehkan kisah yang melampaui statistik: dua medali emas, tiga perunggu, dan tempat di tiga besar kejuaraan IBSA Judo Asian Championship. Sebuah capaian yang tidak hanya berbicara tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk berdiri tegak di panggung yang tak mudah bagi siapa pun yang datang dengan keterbatasan fisik, tapi kelebihan semangat.

Foto/NPC Indonesia
Dheny Marsyelina, di kelas J1 -60 kilogram putri, membuka jalan dengan langkah yang hampir bisa kita dengar bunyi tekadnya. Ia bukan sekadar mengalahkan lawan; ia menaklukkan kegugupannya sendiri di keikutsertaan perdananya di ajang selevel Asia.
“Pastinya di awal saya sempat merasa gugup,” katanya, dengan suara yang jujur dan ringan, “tapi setelah saya bisa mengalahkan lawan di pertandingan pertama, di pertandingan selanjutnya saya lebih percaya diri.” Dari situ, emas pun datang, seperti hadiah kecil dari keyakinan yang tak padam.

Foto/NPC Indonesia
Roma Siska menyusulnya di kelas J1 +70 kilogram putri. Ia berhadapan dengan lawan-lawan yang kuat dari Kazakhstan, tuan rumah yang secara tradisi memang sulit ditaklukkan di arena judo tunanetra. Tapi Roma menutup pertandingan dengan kemenangan yang tak hanya berarti medali emas, tapi juga simbol bahwa Asia Tenggara bisa berbicara di antara dominasi Asia Tengah. “Kejuaraan di Kazakhstan bulan ini sangat memacu adrenalin,” ucapnya pendek, tapi penuh arti.

Foto/NPC Indonesia
Tiga perunggu lain datang dari Junaedi di kelas J1 -70 kilogram putra, Fajar Pambudi di kelas J1 -95 kilogram putra, dan Novia Larassati di kelas J1 -52 kilogram putri. Sementara Rafli Ahnaf Shidqi, yang berjuang di kelas J1 -50 kilogram putra, menutup kiprahnya dengan posisi lima besar, sebuah hasil yang mungkin tak gemerlap di atas kertas, tapi berarti banyak bagi sebuah tim yang sedang membangun langkah menuju mimpi yang lebih jauh: Paralimpiade Los Angeles 2028.

Foto/NPC Indonesia
Pelatih Lee Young Il, sosok asal Korea Selatan yang kini menanamkan ilmunya di tanah Indonesia, menyebut perjuangan anak-anak asuhnya “tidak mudah”. Bukan hanya karena lawan-lawan kuat, tapi juga karena alam sendiri menantang mereka. “Para atlet harus beradaptasi dengan cuaca ekstrem. Cuaca dingin di sini menyentuh minus sepuluh derajat,” ujarnya. Tapi, seperti judo yang lahir dari filosofi keseimbangan tubuh dan jiwa, mereka menaklukkan dingin itu dengan kehangatan solidaritas dan disiplin.
Lee tahu betul bahwa perjalanan belum selesai. “Peta kekuatan di Asia masih didominasi Kazakhstan dan Iran. Kami berharap Indonesia sebagai negara Asia Tenggara bisa ikut mendominasi kawasan Asia,” katanya. Tapi nada suaranya bukan nada keluhan. Ada sesuatu yang tenang dan yakin di balik kalimat itu, seolah ia tahu bahwa dalam setiap langkah perlahan, Indonesia sedang menuju masa di mana bendera merah putih akan lebih sering berkibar di arena judo dunia.

Foto/NPC Indonesia
Indonesia kali ini menempati posisi ketiga di bawah Kazakhstan dan Iran. Tapi di balik angka itu, ada sesuatu yang lebih besar: kesadaran bahwa mata memang bisa tertutup, namun arah bisa tetap jelas bila hati tidak goyah.
Dheny menyebut Kazakhstan sebagai lawan terberat. Tapi yang sesungguhnya ia lawan mungkin bukan hanya atlet di seberang tatami, melainkan rasa ragu dalam dirinya sendiri. “Alhamdulillah semua bisa terlewati dengan baik dan saya bisa memberikan yang terbaik untuk Indonesia,” katanya. Ucapan sederhana yang lahir dari seorang juara yang tahu: kemenangan sejati bukan hanya tentang memeluk medali, tapi tentang menaklukkan ketakutan yang tak terlihat.

Foto/NPC Indonesia
Dari Astana, perjalanan mereka belum berhenti. Di depan, ada ASEAN Para Games 2025 di Thailand, tempat berikutnya di mana semangat ini akan diuji. Lalu, ASIAN Para Games 2026 di Nagoya, Jepang, yang menjadi pintu gerbang ke Paralimpiade Los Angeles 2028. Jalan itu panjang, tapi seperti filosofi judo yang diajarkan Jigoro Kano: “Jita Kyoei”, saling menolong dan saling maju untuk kebaikan bersama.

Foto/NPC Indonesia
Mungkin di situlah makna sejati dari prestasi ini: bukan semata jumlah medali, tapi cara mereka membuat kita, yang bermata sempurna namun sering kehilangan arah, kembali mengerti arti berjuang tanpa banyak bicara.
Karena di dingin Astana itu, mereka yang tak bisa melihat justru mengajarkan kita bagaimana caranya menatap terang.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!






