Cerita yang Tak Pernah Usai, Jejak, Jeda, dan Janji: Dari Hari ke Alwi, Setelah Jojo Pergi

“Memory is the only place where the mortal can live eternally.”
— Milan Kundera, novelis dan filsuf Ceko-Prancis —

Hariyanto Arbi meneruskan tradisi juara keluarga (Foto: ludus.id)
Itu benar. Bahwa “Ingatan adalah satu-satunya tempat di mana yang fana bisa hidup abadi.” Dan, salah satu wajah dari ingatan itu datang menyapa gara-gara sebuah unggahan sederhana di Instagram. Hariyanto Arbi, atau dipanggil Hari, menulis pesan untuk Jonatan Christie, atau Jojo, yang memutuskan mundur dari pelatnas PBSI—sebuah pesan yang tak hanya menyentuh Jojo, tapi juga saya. Di tengah derasnya komentar dan penilaian publik, Hariyanto hadir dengan suara yang tenang, bijak, dan penuh empati. Pesan sederhana tapi sarat makna!
Maka, ketika Hari menulis pesan kepada Jojo, ia seolah tidak hanya berbicara kepada seorang adik atau junior. Ia sedang berbicara kepada dirinya sendiri, yang dulu, dan juga kepada Alwi Farhan, yang kini sedang tumbuh. Dalam pesannya, Hari menulis:
“Keluar dari Pelatnas bukanlah keputusan yang mudah, tapi saya percaya, Jojo pasti sudah melalui banyak pertimbangan, perhitungan matang, dan doa panjang sebelum akhirnya memutuskan jalan ini. Memilih menjadi pemain profesional bukan berarti jalan akan lebih mudah, justru tantangannya akan jauh lebih besar. Tapi di situlah letak kedewasaan atlet diuji.
Jo, apapun pilihanmu, selama itu untuk kebaikan bangsa dan demi kejayaan bulutangkis Indonesia, saya dan seluruh masyarakat akan tetap mendukungmu. Karena pada akhirnya, yang dicatat sejarah bukan dari mana kamu berasal, tapi apa yang kamu perjuangkan dan tinggalkan untuk Negeri ini.”
Bukan tanpa makna Hari menulis itu. Sebab dia tahu persis bagaimana rasanya menjadi yang tertinggi—juara All England, juara dunia, pilar emas Piala Thomas. Pada usia 22 tahun, ia sudah menggenggam emas Asian Games 1994. Tapi ia juga tahu bahwa kemenangan besar selalu datang bersama harga yang tak terlihat—kesunyian, pengorbanan, luka yang tak terucap.
Baca Juga: Kris Taenar Wiluan, Lelaki yang Tidak Berkata “Saya”

Jonatan Christie memutuskan keluar dari Pelatnas PBSI dan memilih jalur profesional. Tantangan berat yang akan ia hadapi (Foto: Dok. PBSI)
Jonatan Christie, atau Jojo, dengan caranya sendiri, menapak jalan itu. Ia menorehkan emas SEA Games (2017), emas Asian Games (2018), hingga All England (2024). Di usia 26, ia memilih keluar dari pelatnas. Sebuah keputusan yang terlihat mundur dari luar, tapi mungkin justru langkah maju secara batiniah. Karena seperti kata Hari, kedewasaan atlet diuji bukan saat menang, tapi ketika harus memilih arah baru di tengah peta yang tak lagi jelas.
Dan kini, giliran Alwi Farhan. Di usia 19, ia belum memenangkan gelar besar di level senior. Tapi sejarah sudah mencatatnya sebagai tunggal putra Indonesia pertama yang menjuarai Kejuaraan Dunia Junior. Ia berdiri bukan di musim emas, melainkan musim transisi. Di saat Jojo melangkah keluar, Alwi masuk. Di saat keraguan menyeruak, ia justru menunjukkan bahwa harapan tidak mati.
“Setiap usia mencatat perjalanannya sendiri: Hari di usia 22 menaklukkan dunia, Jojo di 21 mempersembahkan emas Asia, dan Alwi di 19 menggetarkan dunia junior. Tapi angka hanyalah awal dari sebuah musim—musim yang kadang penuh sorak, kadang penuh jeda.”
Perjuangan mereka bertiga tak sama jalurnya. Tapi ada simpul yang mengikat: bahwa menjadi atlet bukan hanya soal bakat dan medali, tapi tentang bagaimana bertahan dalam ketidakpastian, membuat keputusan saat tak ada lampu sorot, dan tetap mencintai negeri bahkan ketika panggung sudah tidak lagi memanggil.
Saya teringat kembali pada sosok Hari —tenang, bersahaja, dengan senyum yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu. Ia adalah legenda bulu tangkis Indonesia, yang pernah dijuluki “smash 100 watt.” Tapi lebih dari itu, ia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu bagaimana rasanya berada di atas panggung dunia lewat Pelatnas PBSI, lalu perlahan di luar arena, dan namanya bertahan hingga kini.
“Pada akhirnya, sejarah memang tak mencatat dari mana seseorang berasal, tapi apa yang ia tinggalkan. Dari Hari yang membuka jalan, Jojo yang mempertahankan bara, hingga Alwi yang mulai menyalakan obor baru—kita melihat bahwa perjuangan atlet tunggal putra bukan sekadar soal angka ranking, tapi tentang warisan mentalitas juara yang mengendap dalam diam.”

Dari lapangan, ke bisnis, dan menapaki dunia politik, hati Haryanto Arbi tetap untuk bulu tangkis (Foto: ludus.id)
Dua tahun lalu, kami bertemu Hari di ruang kerjanya. Tak banyak yang berubah dari dirinya. Tertawanya kecil, hemat suara. Tapi suaranya dulu pernah menggelegar ke seluruh dunia. Ia adalah juara dunia 1995, peraih medali emas Asian Games Hiroshima 1994, dan empat kali ikut membawa Indonesia menjuarai Piala Thomas: 1994, 1996, 1998, dan 2000.
Ia tak bicara tentang politik, sebab yang ia tegaskan hanyalah lapangan. Tempat di mana keringat, sorak, dan sepi bertemu. Di sanalah kenangan hidupnya bersemayam, bersama raket yang dulu mengguncang dunia—dan kini terus hidup lewat bisnis bernama Fly Power. Ini bukan cerita kekuasaan, tapi tentang kekuatan yang tumbuh dari konsistensi tanpa sorotan.
Mengingatnya adalah malam-malam panjang saya, yang diisi dengan menyalin gerak dan detak dari tiap reli dan smash-nya ke dalam naskah berita. Kadang sambil menggigil oleh kebanggaan, kadang tercekat oleh keterharuan dan semangat yang sulit dijelaskan. Tak bisa saya ingkari, perjalanan Hari adalah bagian dari perjalanan saya sendiri sebagai wartawan olahraga.
Kami berbagi musim yang sama: musim kemenangan, musim jatuh, dan musim perjuangan yang tak tampak —yang tak selalu tercatat di papan skor, tapi diam-diam membentuk siapa kita.
Pertemuan dengan Hari dulu, bahkan lebih dari itu. Ia menjadi titik mula. Dari obrolan kami—yang penuh kepercayaan dan cerita yang tak pernah habis—saya menemukan berbagai gagasan pada saat awal Ludus.id hadir. Lahir dari semangat untuk mencatat, menyimpan, dan menyampaikan kisah para atlet Indonesia, bukan hanya saat mereka menang, tapi saat mereka tetap memilih bertahan.
Hari ini, saya tidak hanya ingin bercerita tentang Hariyanto Arbi. Tapi juga tentang mereka semua—para atlet dan pelaku olahraga yang hidupnya dipersembahkan untuk prestasi, tetapi sering kali hanya diingat saat menang. Padahal, kekalahan pun menyimpan cerita yang tak kalah berharga.
“Saya membenci setiap menit latihan, tapi saya berkata pada diri sendiri: ‘Jangan menyerah. Rasakan sakitnya sekarang, dan hiduplah sebagai juara seumur hidup.’”
“I hated every minute of training, but I said, ‘Don’t quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion.’”
— Muhammad Ali, petinju legendaris dunia, juara dunia kelas berat, ikon perlawanan dan inspirasi abadi —
Itulah semangat yang saya bawa. Semangat yang sama dari seorang seperti Hariyanto Arbi, yang tak hanya bicara skor, tapi untuk mendengarkan suara-suara yang tak terdengar. Untuk menjadi ruang curhat, ruang refleksi, dan ruang pengakuan bagi para atlet yang telah melewati banyak hal demi satu kata: perjuangan.
Tidak semua atlet mudah didekati. Tidak semua cerita mudah diceritakan. Tapi saya percaya, selalu ada ikatan emosional yang menyatukan: keinginan untuk berbagi, untuk menjadi inspirasi, untuk meninggalkan jejak yang lebih dalam dari sekadar trofi.
Saya hadir sebagai sahabat. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menghubungkan. Bukan untuk menonjolkan, tapi untuk menyambungkan.
“Winners never quit, and quitters never win.”
— Vince Lombardi —
Kalimat sederhana itu bukan hanya pepatah motivasi, tapi juga refleksi tajam tentang perjalanan panjang dan penuh liku di dunia olahraga. Kegagalan, kekalahan, dan tekanan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan bagian dari proses menuju kemenangan yang sejati.

Harapan baru tunggal putra bulu tangkis Indonesia ada di tangan Alwi Farhan (Foto: Dok. PBSI)
Sebab, di tengah reruntuhan ambisi yang tak kesampaian, untuk memenangkan Piala Sudirman 2025, ada satu cahaya yang perlahan mulai menyinari: Alwi Farhan.
Alwi bukan sekadar nama baru di dunia bulu tangkis. Ia adalah simbol harapan yang lahir dari kerja keras, ketekunan, dan semangat juang yang membara. Dalam pertandingan final yang menguras tenaga dan emosi, Alwi berhasil meraih gelar juara dunia junior sebagai tunggal putra pertama Indonesia, yang menembus prestasi itu. Ini bukan kemenangan yang datang begitu saja, melainkan hasil dari perlawanan gigih, keberanian bangkit saat tertinggal, dan kekuatan mental yang patut diacungi jempol.
Ketika saya memandang Alwi, pikiran saya melayang jauh ke masa lalu, tepatnya ke tahun 1994, saat Asian Games di Hiroshima. Saya berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan pertarungan sengit antara dua legenda Indonesia: Hariyanto Arbi dan Joko Suprianto. Hari, dengan smash-nya yang terkenal “1000 watt”, menghujam pertahanan lawan dengan kekuatan dan ketepatan yang luar biasa. Saat itu, Hari berhasil merebut emas Asian Games dan setahun kemudian mengukuhkan diri sebagai juara dunia. Ia juga sempat dua kali memperkuat tim Piala Sudirman Indonesia, walaupun tak membawa pulang trofi emas, kehadirannya tak pernah bisa dilupakan.
Baca Juga: Chico Aura Dwi Wardoyo dan Sebuah Kekalahan yang Tak Selesai
Cerita Hari adalah bukti bahwa setiap perjalanan penuh liku dan pengorbanan. Smash-nya yang mengguncang bukan hanya menaklukkan lawan, tapi juga membakar semangat sebuah generasi. Kini, Alwi berada di jalan yang sama, dengan bayang-bayang para legenda yang mengisi ruang di belakangnya. Ia bukan Hari, dan tak perlu menjadi Hari. Ia adalah dirinya sendiri, dengan potensi yang baru mulai mekar.
Hari bukan hanya pemenang. Ia adalah penanda zaman. Smash-nya bukan sekadar angka poin, tapi ledakan semangat sebuah generasi. Alwi membawa nyala yang sama—nyala yang membuat kita percaya bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dilanjutkan.
“Kita hidup untuk menceritakan kisah kita,” kata Gabriel García Márquez.
Saya menulis ini bukan untuk menilai. Tapi untuk menyambungkan. Antara masa lalu dan masa kini. Antara Hari, Jojo, dan Alwi.
Tiga nama. Tiga zaman. Tapi satu garis merah: ketekunan, semangat, dan keberanian untuk terus maju.
Mundurnya Jonatan bukan akhir. Justru mungkin awal yang lain. Sebab sejarah tunggal putra Indonesia tak pernah benar-benar selesai. Ia terus ditulis, diperbaiki, diulang, dan diperjuangkan. Di sinilah Alwi berdiri sekarang—di panggung yang dulu diisi oleh nama-nama besar, membawa harapan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Saya ingin kembali menegaskan filosofi yang menjadi pegangan: “Winners never quit, and quitters never win.” Pemenang tidak pernah menyerah, dan yang menyerah tidak pernah menang.
Di sanalah letak kekuatan sejati: bukan hanya pada kemenangan yang diukur dari trofi, tapi pada keberanian untuk terus berjuang, melangkah meski jalan terjal, dan tetap percaya pada harapan yang tak pernah padam.
“Mungkin, satu-satunya hal yang tak berubah dari sejarah tunggal putra Indonesia adalah tekadnya. Ia selalu menemukan bentuk baru. Dalam smash yang memekakkan, dalam air mata kekalahan, bahkan dalam keputusan untuk pergi. Tapi setiap langkah, entah menang atau tumbang, tetap melangkah menuju nama Indonesia.”
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy
Suka dengan artikel ini?
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!