
Jika nanti ia benar mundur, mari kita beri ia ruang. Jika nanti ia kembali, mari kita beri ia waktu

Foto-foto Chico Aura Dwi Wardoyo: Dok. PBSI
Barangkali, hidup tak pernah benar-benar adil bagi mereka yang dituntut menang terus. Publik mudah jatuh cinta pada yang berjaya, dan secepat itu pula mencemooh saat mereka jatuh. Chico Aura Dwi Wardoyo, pemain tunggal putra pelatnas PBSI, tahu betul rasanya. Dulu dielu-elukan, kini dihujat netizen dan disebut “beban” oleh sebagian warganet. Tapi siapa yang tahu, seberapa jauh ia pernah berlari untuk sampai di titik ini?
Saya ingat kali pertama menyaksikan permainan Chico di Kejuaraan Dunia Junior 2016. Ia masuk final, satu-satunya wakil Indonesia di tunggal putra kala itu, dan pulang membawa medali perak. Ia dikalahkan pemain Cina Sun FeiXiang. Tekniknya dan gerakannya belum sehalus pemain elite dunia, tapi ada nyala di matanya, semacam keyakinan bahwa ia akan terus naik kelas. Penampilannya di sepanjang turnamen sudah menunjukkan kilatan potensi besar. Ia memang bukan Jonatan Christie yang lebih dulu populer, bukan Anthony Ginting yang lincah mencuri poin, tapi Chico—saya tahu sejak itu—memiliki hal yang tak bisa dilatih: kesabaran.
Pelatih Deni Danuaji, yang mendampingi Chico saat itu, menyampaikan evaluasinya dengan jujur namun penuh harap. Ia mengatakan bahwa Chico sebenarnya punya peluang besar untuk menang, terutama di gim pertama. Tapi di poin-poin akhir, Chico bermain terlalu hati-hati dan membuat beberapa kesalahan sendiri. “Gim kedua dia terbawa pola permainan lawan, kurang bisa mengembangkan permainan sendiri. Tapi saya tetap puas dan bersyukur dengan penampilannya. Chico punya motivasi dan karakter bagus. Itu bekal penting untuk masa depannya,” kata Deni.

Dari sanalah saya tahu: Chico belum sempurna, tapi ia berbeda. Ia tak hanya membawa raket dan strategi, tapi juga daya tahan. Kegigihan. Sesuatu yang tak selalu bisa diajarkan oleh pelatih mana pun.
Sebab dalam dunia olahraga—dan barangkali juga hidup—yang bertahan seringkali lebih penting daripada yang menang. Teknik bisa diasah, strategi bisa dipelajari, tapi keberanian untuk berdiri setelah kalah, untuk tetap hadir meski dunia mulai berbalik punggung, itu adalah hal langka. Chico memiliki itu sejak muda: ketabahan yang tidak gaduh, kekuatan yang tidak perlu diumumkan.
Ia tidak datang dari sorak-sorai, tapi dari ruang antara kalah dan bertahan. Dan justru dari sanalah, para juara sejati biasanya lahir.
Tapi, bulu tangkis tak cukup ditopang oleh kesabaran. Ada waktu, ada hasil, ada ranking, dan ada algoritma nilai di kepala para pelatih dan penggemar. Dalam dua tahun terakhir, performa Chico menurun. Di Thailand Masters 2025, ia kalah dari pemain muda India, Sankar Muthusamy Subramanian. Di Indonesia Masters sebelumnya, ia disingkirkan Kenta Nishimoto sejak babak pertama. Kritik mulai deras. Bahkan, Mulyo Handoyo, pelatih kepala tunggal putra, menyebutnya tampil “seperti pemain junior”, padahal ini tahun ketujuhnya di pelatnas.
Di sela latihan, Februari lalu, Mulyo Handoyo berkata pelan namun tegas, “Banyak sekali kekurangan Chico.” Ia tak berkata itu tanpa alasan. Delapan tahun di pelatnas, pernah mencicipi kerasnya Super 1000, tapi jejak kematangan itu belum benar-benar tampak.
“Sebagai pemain, mestinya dia sudah punya pengalaman,” lanjutnya.

Bukan sekadar kritik, itu adalah pengingat. Bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Dan bakat, tanpa pertumbuhan, bisa diam-diam layu.
Lalu, setelah pernyataan Mulyo yang menghiasi media nasional, kini, pekan ini, datang kabar tak sedap: Chico disebut-sebut mundur dari pelatnas. Ada yang menulisnya dengan nada sensasional, seolah ia menyerah. Nitizen menggeruduk akun pribadi dan akun badminton Indonesia. Tapi tidak semua berita punya niat jahat, dan tidak semua pengunduran diri lahir dari kepengecutan.
Dari markas Cipayung, akhirnya menjawab rumor itu, kamis kemarin. Eng Hian, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI, angkat bicara. “Kami masih dalam proses komunikasi dengan Chico untuk membuatkan roadmap kejuaraan baru supaya Chico bisa kembali berprestasi dengan maksimal,” katanya. “Hal ini kami lakukan karena prestasi Chico yang belum mencapai target yang diharapkan.”
Saya membaca pernyataan itu bukan dengan nada murka, tapi harap. Kalimat Eng Hian terdengar sebagai tangan yang belum benar-benar melepaskan. Masih ada ruang untuk dialog. Masih ada keyakinan bahwa Chico bisa pulih, jika diberi panggung yang sesuai.

Tapi panggung itu kini gaduh. Netizen seolah jadi panel juri yang berteriak dari bangku tribun maya, menuntut emas, mengabaikan luka. Mereka lupa bahwa kemenangan itu bukan makanan harian. Ia harus dipanen dari ladang latihan yang panjang dan sepi.
Lihatlah apa yang terjadi pada Marselino Ferdinan, gelandang Timnas U-23 Indonesia. Saat tim kalah dari Irak di perebutan tempat ketiga Piala Asia U-23 2024, Marselino tak hanya dikritik, tapi dibantai secara emosional. “Ego lu setinggi Yao Ming,” tulis seorang warganet. Yang lain menyindir, “Tendangan lu kayak anak SD.” Seseorang bahkan mencibir, “Lu mau main sendiri ke Paris, hah?”
Komentar yang tidak adil, datang dari jempol yang terlalu mudah panas. Dan ketika Justin Hubner mencoba membela dengan menulis, “Kamu bukan pendukung sejati jika kamu membenci pemain Tim Nasional-mu sendiri,” dunia seakan lupa bahwa semua yang ada di lapangan adalah anak-anak muda yang sedang belajar menang—dan kalah.
Chico mungkin sedang kalah. Tapi ia belum selesai.
Ia lahir di Jayapura, kota yang tak banyak melahirkan bintang bulu tangkis. Ia dibesarkan bukan oleh sistem elite, tapi oleh jalan terjal bernama perjuangan. Ketika ia memutuskan merantau ke Jakarta, bergabung dengan PB Exist, lalu masuk pelatnas Cipayung tahun 2015, ia membawa seluruh keberanian anak daerah yang ingin menembus batas pusat. Dan kadang saya bertanya: jika sekarang, ia, yang 15 Juni nanti genap berusia 27 tahun, tergelincir, mengapa kita tak bisa melihat betapa panjang jalan yang telah ia tapaki?
Saya tak ingin membela kekalahan. Saya juga ingin Indonesia menang. Tapi saya lebih ingin Indonesia merawat para atletnya, bahkan saat mereka sedang tak menang. Karena, seperti kata Bung Hatta, “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.”
Dan Chico, bagi saya, adalah pahlawan kecil yang belum usai.

ika nanti ia benar mundur, mari kita beri ia ruang. Jika nanti ia kembali, mari kita beri ia waktu. Karena kemenangan yang lahir dari kegagalan, selalu lebih indah dari menang yang tak pernah jatuh. Ini adalah makna yang dibawa oleh filosofi hidup seorang atlet yang memulai dari bawah, yang tahu betul betapa berartinya perjalanan ini.
Lin Dan, legenda bulutangkis dunia dari Tiongkok, pernah bilang begini, “Kamu harus sanggup menghadapi rasa sakit dan tekanan jika ingin menang lagi.” Dan barangkali, Chico sedang berada di tahap itu: menatap rasa sakit, agar kelak bisa pulang membawa kemenangan yang lebih jernih, lebih matang, dan lebih milik dirinya sendiri.
Saya sempat mengirimkan pesan lewat WhatsApp—singkat saja, seperti mengetuk pintu hati yang masih tertutup. Tapi belum ada balasan. Entah karena waktu, entah karena sedang berlatih. Tapi saya masih menyimpan keinginan: ingin mendengar langsung, ingin tahu lebih banyak, sebelum semuanya hanya tinggal rumor dan bayangan.
Baca Juga: Kris Taenar Wiluan, Lelaki yang Tidak Berkata “Saya”
Menatap matanya yang dulu pernah menyimpan api semangat, yang kini mungkin mulai meredup oleh cemoohan dan keputusasaan, saya ingin tahu bagaimana perasaan seorang atlet yang telah berjuang habis-habisan, yang tak hanya berperang melawan lawan, tetapi juga melawan diri sendiri. Apakah hatinya kini penuh keraguan? Atau ia tetap memegang teguh mimpi yang dulu pernah ia genggam dengan penuh keyakinan?
Saya ingin mendengar langsung ceritanya, tentang setiap tetes keringat yang tumpah di lapangan, tentang setiap hari yang ia habiskan berlatih, berharap bisa kembali mengukir sejarah. Tentang setiap momen ketika ia merasa terasing, seolah dunia hanya melihat hasil, bukan proses yang tak terucapkan.
Dan meskipun saya hanya bisa membayangkan apa yang ia rasakan, saya berharap suatu hari ia bisa bangkit lagi. Seperti yang selalu saya percayai, seorang pahlawan bukan diukur dari seberapa sering ia menang, tetapi dari seberapa besar ia mampu berdiri tegak, bahkan saat dunia tak lagi mendukungnya.
Saya ingin tahu bagaimana perasaan seorang atlet yang telah berjuang sekuat tenaga, yang kini terperangkap di tengah hujatan dan keraguan. Apa yang ia rasakan saat dunia begitu cepat menilai, dan apakah masih ada ruang untuk harapan dalam hatinya?
Mungkin saya tak akan menemukan jawabannya dengan pasti, tapi saya berharap Chico tahu, meskipun dunia terkesan melupakan, ada banyak dari kami yang percaya padanya. Keberanian untuk bangkit lagi, itulah yang membuat seorang juara sejati—bukan sekadar kemenangan yang diraih.

Dan jika ia akhirnya kembali, saya ingin menjadi bagian dari kisah itu, menyaksikan bagaimana perjuangan panjang ini akhirnya berbuah. Sebab di balik setiap atlet yang jatuh, ada sebuah kisah tentang harapan yang tak pernah padam.
Mungkin, jika saya bertemu dengannya, saya akan mendengar kisah sebenarnya. Dan ketika saya mendengar kisah itu, saya berharap bisa berkata, “Chico, kamu tidak sendiri. Kami masih ada di sini, menunggu ketika kamu siap kembali.”
Dan Chico, jika kamu membaca ini, ketahuilah: kami masih menunggumu untuk bangkit!
Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—juga mendengarkan.
Instagram: @akhmadsefgeboy
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!