
"Ada seni dalam bertarung, dan ada pertarungan dalam seni."
— Miyamoto Musashi

LUDUS - Di tengah denting senyap bilah logam dan kemewahan konvensi, hari terakhir Kejuaraan Anggar Asia 2025 di Nusa Dua, Bali, mempertemukan yang tak lazim: politikus dan pedang, Wakil Menteri dan olahraga kaum ksatria. Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian yang juga eks ajudan Presiden Prabowo Subianto, datang ke arena bukan sekadar untuk menyaksikan. Di hari terakhir Kejuaraan Anggar Asia 2025, Minggu (22/6/2025), Sudaryono hadir di Bali International Convention Centre, tidak untuk meninjau, tetapi untuk ikut menyilang pedang.
Ia memang datang terlambat ke Nusa Dua, Bali, Minggu itu. Tapi langkahnya yang tegap mengundang sorot. Setelah berbincang dengan Menpora Dito Ariotedjo dan Ketua Umum PB Ikasi Amir Yanto, Sudaryono naik ke panggung, mengangkat senjata, dan bertanding dengan atlet degen putri Indonesia, De Fretes Weldy. Tak sekadar simbolik: geraknya tampak terlatih.

Wamentan Sudaryono naik ke panggung untuk bertanding dengan atlet degen putri Indonesia, De Fretes Weldy. Foto/Dok.PB Ikasi
Ada yang tak kasatmata di balik peristiwa itu, sebuah pertemuan antara birokrasi dan bela diri, antara ambisi politik dan etos kesatria. Ia tak datang untuk berpidato, melainkan membawa sebuah janji yang nyaring di telinga para pecinta olahraga: memperkenalkan anggar kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Pak Presiden Prabowo itu kan seorang prajurit yang mengenal olahraga bersifat ksatria. Beliau sudah menekuni olahraga pencak silat, berkuda, dan menembak. Nah, sekarang kita perlu perkenalkan anggar yang merupakan olahraga kaum bangsawan dari para ksatria,” ujarnya.

Wamentan Sudaryono bersama Presiden Prabowo Subianto. Foto/Dok.ludus.id
Anggar, dalam sejarahnya, memang lahir dari duel kaum aristokrat Eropa, bukan untuk membunuh, melainkan untuk mempertahankan kehormatan. Namun pada abad ini, di panggung-panggung internasional, anggar telah bertransformasi menjadi seni strategis, kecepatan saraf, dan ketepatan insting. Di tangan seorang pemimpin yang mengerti makna kehormatan dan kedisiplinan, anggar bisa menjadi lebih dari sekadar olahraga: ia menjadi pendidikan karakter.
Di kalangan lingkar dalam Prabowo, Sudaryono tak jarang dijuluki sebagai “kesatria Jedi”. Julukan yang awalnya terdengar ringan, namun lama-lama terasa filosofis. Seorang Jedi dalam cerita Star Wars adalah penjaga keseimbangan, pejuang yang setia, dan sekaligus pengemban nilai moral dalam diamnya. Sudaryono, dengan bilah anggar di tangannya dan kesetiaan pada guru politiknya, tak sedang berperan dalam fiksi. Ia sedang menghidupkan etos seorang prajurit dalam dunia yang semakin penuh diplomasi dan kata-kata.

Olahraga menjadi menu wajib bagi Sudaryono dan istrinya Pratitis Mukti Tami. Foto/Dok.ludus.id
Yang menarik, semangat sportivitas itu tak berhenti di arena. Di tengah kesibukannya sebagai politisi, sebagai wakil menteri yang kerap dinas keluar kota, Sudaryono tetap menyempatkan diri untuk berolahraga. Jogging menjadi kebiasaannya yang nyaris tak terganggu oleh jadwal padat. Ia, yang juga Ketua DPP Gerindra Jawa Tengah, percaya, tubuh yang bugar adalah pangkal ketajaman berpikir dan kejernihan mengambil keputusan. Dan keyakinan itu ia tularkan ke rumah, Andra Jedi, anak sulungnya kini gemar bermain bola dan catur, dua cabang yang pada dasarnya bertolak belakang: satu menuntut kecepatan kaki, lainnya kesabaran kepala.
Olahraga, dalam keluarganya, bukan sekadar kegiatan fisik, melainkan cara hidup. Dan barangkali di situlah warisan paling sunyi: bahwa seorang pemimpin yang baik tidak mewariskan jabatan, tetapi kebiasaan yang sehat.

Wamentan Sudaryono bersama Ketua Umum NPC Indonesia Shenny Marbun. Foto/Dok. ludus.id
Tapi dalam olahraga, ia tak ingin sekadar menjadi simbol. Sebelum menjadi Wamentan, ia telah ikut menyiapkan kontingen difabel terbaik Indonesia. Di Paralympic Games Paris 2024, ia menjabat sebagai Vice Chef de Mission (CdM)—sebuah posisi penting yang tidak hanya mengurus teknis, tapi juga menyemai semangat. Di sana, di tengah atlet-atlet yang tubuhnya barangkali tak sempurna, Sudaryono melihat kesempurnaan lain: tekad.
Sudaryono bukan pemula dalam urusan pedang. Ia menyebut dirinya pecinta berat anggar, bahkan sempat berlatih saat kuliah di Jepang, negara yang menjadikan bela diri sebagai bagian dari tata hidup. Dan dari sana, muncul keyakinan: atlet Indonesia punya keunggulan yang khas. “Tubuh atlet Indonesia itu lebih lentur. Jadi, kita lebih istimewa dibandingkan atlet negara lain,” katanya.
Lentur, bukan lemah, melainkan fleksibel. Ia bukan hanya kelebihan tubuh, tetapi kelebihan jiwa: kemampuan untuk beradaptasi, menunggu, dan menahan diri. Di medan anggar, kelenturan menjadi taktik. Dalam hidup bangsa, ia menjadi kekuatan bertahan.

Sudaryono datang ke arena Kejuaraan Asia Anggar disambut Ketua PB Ikasi Amir Yanto. Foto/Istimewa
Optimisme pun menyeruak. Sudaryono yakin, Indonesia bisa bersaing di panggung dunia. Alasannya bukan ilusi. Anggar Indonesia pernah menyumbang emas di SEA Games, merebut perak Asian Games lewat Silvia Kuswandi, dan tak absen dalam daftar peserta Olimpiade. Namun, sebagaimana pertarungan apa pun, kemenangan tak hanya ditentukan oleh sejarah, melainkan juga oleh persiapan hari ini.
Kuncinya, menurutnya, terletak pada latihan intensif, pemahaman berbagai pola permainan, serta keikutsertaan dalam turnamen internasional. “Atlet anggar yang banyak mengenal pola permainan pasti bisa meraih prestasi. Karena, lawan akan kesulitan membaca permainannya saat bertanding,” ujarnya. Pola adalah kata yang sederhana, namun dalam. Dalam arena anggar, seperti dalam politik, siapa yang mampu membaca gerak lawan sebelum lawan sendiri menyadarinya, akan berada selangkah di depan.
Namun anggar tidak bisa hidup hanya di panggung-panggung mewah. Sudaryono menyarankan PB Ikasi mengenalkan olahraga ini ke sekolah-sekolah. Liga Anggar Pelajar dan Liga Mahasiswa perlu dirintis, sebagaimana telah berhasil di Jepang. Di sanalah bibit-bibit kualitas dilatih, bukan di istana-istana kejuaraan, melainkan di aula sekolah, di lorong kampus.

Anggar, pada akhirnya, bukan tentang tikaman tercepat, tetapi keputusan paling tepat. Ia mengajarkan bahwa serangan harus menunggu momen yang benar. Bahwa kemenangan bukan teriakan, melainkan ketenangan. Bahwa ksatria tak selalu lahir di medan perang, kadang, mereka muncul dari kesunyian latihan yang panjang dan kesabaran mengendalikan diri.
"Kemenangan sejati bukanlah menaklukkan orang lain, tapi menaklukkan diri sendiri." Itu kata Khalil Gibran.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!