Dari Surat ke ILeague, Sepak Bola Nasional: Di Tangan Erick Thohir, Di Antara Risiko dan Mimpi

Ludus01

Antara delapan, kemudian tujuh, dan seorang ketua yang tak takut membayar harga pilihan.

“To govern is to choose.”
—Pierre Mendès France, mantan Perdana Menteri Prancis

Ada saat ketika angka kehilangan kepolosannya. Ketika “delapan” bukan lagi bilangan genap yang sederhana, melainkan gema dari kegelisahan yang lebih besar: bahwa liga ini tumbuh terlalu cepat, terlalu jauh dari akar tanah tempat ia berpijak.

Surat itu dikirim dari Jakarta, pertengahan Juli. Isinya tak panjang. Namun cukup untuk mengetuk pintu ruang rapat klub-klub Liga 1, juga membuka percakapan gaduh di forum-forum daring. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menyurati ILeague, operator tertinggi kompetisi nasional, dan menyampaikan satu permintaan: kurangi jumlah pemain asing yang boleh tampil di lapangan dari delapan menjadi tujuh.

Tampak kecil. Tapi dalam sepak bola Indonesia, yang terbiasa melesat dengan gairah industri dan tuntutan tontonan, satu angka bisa berarti satu dunia. Satu pengurangan bisa berarti satu prinsip. Dan prinsip itu adalah ini: bahwa tanah ini tak boleh kehilangan tempat untuk anak-anaknya sendiri.

Kalimat itu terdengar halus. Tapi di dalamnya terkandung sebuah kritik diam-diam: bahwa selama ini, ruang bagi pemain lokal terlalu sempit. Bahwa mimpi anak negeri bisa layu, bahkan sebelum diberi kesempatan berbunga.

Erick Thohir bukan administrator biasa. Sebelum menjadi Ketua Umum PSSI, ia lebih dulu memimpin kerajaan bisnis: dari media, olahraga, sampai konglomerasi industri. Ia pernah memiliki klub bola di Amerika, DC United, di Italia, Inter Milan, mengatur jalannya bisnis Mahaka Group, lalu masuk kabinet sebagai Menteri BUMN. Dan di posisi inilah, reputasinya makin dikenang: sebagai pejabat yang tak segan mengganti direksi, membubarkan perusahaan pelat merah yang membebani negara, atau menjual aset yang dianggap tidak strategis.

"You can’t be afraid to make unpopular decisions. That’s leadership," kata Margaret Thatcher. Erick tampaknya meminjam logika itu.

Ia memimpin Kementerian BUMN seperti CEO memimpin holding: cepat, tajam, dan transaksional. Tapi dari cara itu kita melihat satu prinsip utuh: bahwa yang tak menghasilkan kebaikan jangka panjang, harus ditinggal, meskipun sempat populer. Ia berani membubarkan Merpati, memaksa efisiensi Telkom, dan mengawasi restrukturisasi Garuda Indonesia di tengah badai utang. Semua bukan tanpa risiko politik. Tapi ia tetap melakukannya.

Ketika ia pindah ke PSSI, banyak yang meragukan: apakah pendekatan bisnis bisa diterapkan di lembaga yang lebih banyak bermain di ranah emosi? Tapi justru di situ letak eksperimennya. Ia memosisikan sepak bola nasional sebagai sistem yang bisa dibenahi dengan logika kepemimpinan yang tegas, bukan hanya euforia sesaat.

PSSI adalah medan lain. Ia datang bukan sekadar membawa portofolio, tapi harapan yang sering kali terlalu besar untuk institusi yang terlalu lama menunda perbaikan.

Dan seperti di kementerian, di sepak bola pun ia kembali membuat keputusan yang tidak selalu manis di depan mata: mengganti pelatih kepala Shin Tae-yong saat waktu sudah mepet menuju laga penting Kualifikasi Piala Dunia 2026.. Sebuah keputusan yang mungkin hanya bisa diambil oleh orang yang siap menanggung badai. Atau orang yang percaya bahwa risiko adalah harga dari kemajuan. Sebuah keputusan yang bisa menimbulkan badai. Tapi diambil juga, karena ia memandang lebih jauh dari sekadar laga. Karena ia menaruh nasib sepak bola nasional bukan pada popularitas hari ini, melainkan pada kesiapan masa depan.

Karena itu, surat tentang pemain asing bukan hanya regulasi teknis. Ia bagian dari cara pandang: bahwa negara ini tidak boleh hanya jadi pasar tontonan, tapi juga jadi tempat pertumbuhan. Dan pertumbuhan butuh ruang. Butuh jam bermain. Butuh kesabaran. Karena kemenangan sejati bukan siapa yang mencetak gol malam ini, tapi siapa yang tetap berdiri esok hari.

“Pengurangan pemain asing bukan berarti penurunan kualitas,” kata Erick. “Justru ini mempertegas komitmen kita untuk menciptakan ruang dan kesempatan lebih besar bagi talenta muda Indonesia.”

Kalimat itu terdengar halus. Tapi di dalamnya terkandung sebuah kritik diam-diam: bahwa selama ini, ruang bagi pemain lokal terlalu sempit. Bahwa mimpi anak negeri bisa layu, bahkan sebelum diberi kesempatan berbunga.

Kakang Rudianto (Persib Bandung), yang kini membela tim U-23 Indonesia. Foto/Instagram/Kakang Rudianto

Kakang Rudianto (Persib Bandung), yang kini membela tim U-23 Indonesia. Foto/Instagram/Kakang Rudianto

Yang menarik, surat itu keluar bukan di tengah berita sepak bola sedang sepi. Justru saat perhatian publik tertuju penuh pada Timnas Indonesia yang tengah bersiap untuk berjuang di babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026. Harapan sedang menanjak. Euforia sedang tumbuh. Tapi justru di saat yang bising itulah, satu keputusan strategis dikeluarkan secara diam-diam.

Saat itu, publik ramai memperbincangkan absennya Ole Romeny karena sakit. Di saat bersamaan, skuad U23 juga sedang berlaga di Piala AFF U-23 2025 , membawa beban harapan dan tuntutan performa. Dan di antara semua hiruk-pikuk itu, Erick Thohir memilih mengambil keputusan jangka panjang yang tak kasat mata. Ia memilih memikirkan dasar, bukan hanya sorak.

Barangkali di situlah letak gaya kepemimpinannya: menyisip di antara kegaduhan, menyisipkan fondasi ketika yang lain sibuk dengan pertandingan.

Erick bukan orang baru di gelanggang kekuasaan. Ia tak hanya bergerak di lapangan, tapi juga di ruang-ruang strategi. Di tengah upaya membenahi sepak bola nasional, ia juga berhasil melakukan satu langkah politik penting: mengajak Presiden Prabowo Subianto untuk masuk ke tubuh PSSI sebagai Ketua Dewan Kehormatan.

Langkah itu terlihat simbolik. Tapi dalam dunia yang penuh lobi dan persepsi, ia menunjukkan sesuatu yang lebih besar: bahwa Erick tahu kapan dan di mana harus membuka pintu, dan kepada siapa ia harus mengaitkan tuas kekuasaan.

Presiden, yang memang menyukai sepak bola, yang datang ke stadion, yang menyebut nama-nama pemain muda di sela pidatonya, bukanlah figur yang susah dijangkau. Tapi menjadikannya sebagai bagian struktural dari federasi adalah seni mengunci momentum. Sebuah sinyal: bahwa sepak bola kini dijaga dari atas, dan tidak boleh lagi berjalan sembarangan.

Dan langkah-langkah itu berlanjut. Tak hanya soal kuota asing, Erick juga meminta agar setiap pemain Timnas U23 yang dimiliki klub, wajib mendapat menit bermain minimal 45 menit per pertandingan. Bukan sekadar tampil lima menit di ujung laga. Bukan pelengkap. Bukan basa-basi.

Hokky Caraka, pemain PSS Sleman yang membela tim U-23 Indonesia. Foto/Instagram/Hokky Caraka

Hokky Caraka, pemain PSS Sleman yang membela tim U-23 Indonesia. Foto/Instagram/Hokky Caraka

“Kita tidak ingin pemain muda hanya menjadi figuran,” katanya. “Mereka harus tumbuh melalui pengalaman nyata di lapangan.”

Di situlah letak pertaruhannya: bahwa membangun sepak bola bukan hanya soal mencetak gol, tapi mencetak karakter. Bahwa menang hari ini tidak berarti apa-apa jika tak melahirkan generasi yang sanggup menang besok.

Ada kecemasan yang samar tapi terasa jelas: bahwa liga ini bisa menjadi panggung yang megah, tapi asing bagi pemain lokal. Klub-klub berlomba merekrut bintang asing. Tak salah. Tapi jika ruang itu sepenuhnya diambil oleh yang datang dari jauh, kapan anak-anak negeri belajar berjalan di panggung sendiri?

“Sebab keberhasilan, jika tak dibarengi keberpihakan, hanya akan melahirkan keterasingan,” tulis Jacques Derrida.

Dan keberpihakan dalam surat Erick itu tampak nyata: ia memilih untuk memberi ruang. Untuk mempercayai pemain muda. Untuk memaksa klub belajar bersabar menumbuhkan, bukan sekadar membeli yang sudah jadi.

Surat itu belum ultimatum. Tapi ia seperti jeda dalam musik yang bising: menyisipkan keheningan yang memaksa berpikir. Bahwa di tengah gairah bisnis dan logika siaran langsung, tetap harus ada ruang bagi yang sedang belajar bermimpi. Bahwa liga ini tak bisa dibangun hanya oleh pemain asing yang datang dan pergi, tapi oleh anak-anak yang tumbuh dari lapangan-lapangan kecil, di kota-kota yang tak punya stadion mewah.

Sepak bola, pada akhirnya, bukan soal siapa yang mencetak gol malam ini. Tapi soal siapa yang tetap berdiri sepuluh tahun lagi. Siapa yang tumbuh. Siapa yang bertahan. Dan siapa yang kelak, akan menulis sejarahnya sendiri.

Erick Thohir tak selalu benar. Tapi ia memilih. Dan seperti kata Pierre Mendès France, to govern is to choose. Memimpin berarti memilih, bahkan jika pilihan itu membawa kritik. Bahkan jika ia menyakitkan hari ini. Sebab keberanian untuk memilih adalah syarat dasar untuk mengubah apa pun yang selama ini dibiarkan mengalir tanpa arah.

Barangkali, dari surat itu, kita sedang menyaksikan satu hal yang sudah lama ditunggu: bahwa sepak bola nasional akhirnya dipimpin bukan hanya oleh orang yang ingin menang, tapi oleh seseorang yang tak takut membayar harga dari mimpi yang ingin ditanam.

Ia datang ke PSSI bukan membawa janji, melainkan risiko. Dan mungkin itu yang kita butuhkan sekarang. Seorang pemimpin yang tak takut membayar harga dari keputusan jangka panjang. Karena liga ini sudah terlalu lama jadi panggung tanpa naskah, pertandingan tanpa arah.

Surat itu mungkin hanya mengubah satu angka. Tapi ia bisa jadi titik mula perubahan cara pandang: bahwa dalam sepak bola, seperti dalam hidup, yang penting bukan hanya tentang siapa yang datang, tapi siapa yang tumbuh dan bertahan.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!