Diva Bersinar, Edgar Bicara Juang: Dua Emas untuk Indonesia di Piala Asia Wushu 2025

Ludus01

LUDUS - Songyuan, China. Di balik gerakan lincah dan tarikan napas yang nyaris tak terdengar, ada cerita tentang waktu yang sempit, Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) yang nyaris tak berdenyut, dan peluang yang datang bukan dari jalur biasa. Tapi dari celah kecil yang dimanfaatkan dengan sepenuh hati. Itulah cerita Timnas Wushu Indonesia di 1st Wushu Taolu Asian Cup 2025, 5–6 Juli lalu di Songyuan, China, pulang membawa dua medali emas dan dua perunggu, dengan perjuangan yang tak biasa.

Eugenia Diva Widodo mengalahkan atlet tuan rumah dalam nomor Gunshu dengan skor 9,666, unggul tipis dari Zhen Yibinyu yang mengumpulkan 9,663 poin. Foto/Dok.Eugenia Diva Widodo

Eugenia Diva Widodo mengalahkan atlet tuan rumah dalam nomor Gunshu dengan skor 9,666, unggul tipis dari Zhen Yibinyu yang mengumpulkan 9,663 poin. Foto/Dok.Eugenia Diva Widodo

Nama Eugenia Diva Widodo mencuat paling terang dari ajang ini. Lahir di Jakarta, 16 Mei 2003, Diva adalah mahasiswi BINUS University, jurusan Information Systems, sekaligus anak sulung dari dua bersaudara. Ia bukan hanya tampil, tetapi memimpin, menari di atas matras, mengalahkan atlet tuan rumah dalam nomor Gunshu dengan skor 9,666, unggul tipis dari Zhen Yibinyu yang mengumpulkan 9,663 poin.

“Jujur, saya tak menyangka. Lawan saya dari Tiongkok, dan semua tahu mereka sangat kuat,” ujar Diva, kepada LUDUS.ID setelah pertandingan. “Saya hanya berusaha menampilkan kemampuan terbaik saya. Syukurlah bisa memperoleh hasil yang memuaskan dalam event kali ini.”

Diva, yang berlatih di bawah bendera Klub Rahmat Wushu, juga menyumbang perunggu bersama Tasya Ayu di nomor Duilian Putri. Sementara itu, Tasya sendiri menambah satu perunggu lagi dari nomor Nanquan Putri.

Tasya Ayu meraih satu perunggu dari nomor Nanquan Putri. Foto/PBWI

Tasya Ayu meraih satu perunggu dari nomor Nanquan Putri. Foto/PBWI

Namun, cerita kemenangan tak hanya datang dari jalur perorangan. Tim putra Indonesia, Edgar Xavier Marvelo, Seraf Naro Siregar, dan Ahmad Ghifari Fuaiz, merebut medali emas dari nomor Duilian Putra. Kemenangan ini terasa istimewa, bukan hanya karena prestasi, tetapi juga karena konteks yang melingkupinya.

“Kita pertama-tama bersyukur bisa bertanding di Asian Cup ini karena mendapat wildcard,” kata Edgar, usai dikalungi medali, melalui pesan yang ia kirim kepada LUDUS.ID lewat WhatsApp, mewakili rekan-rekannya. “Kualifikasinya berbenturan dengan PON tahun lalu, jadi tim Indonesia tidak mengirim atlet. Kami baru dapat kuota karena ada nomor pertandingan yang pesertanya mengundurkan diri.”
Tim putra Indonesia (Edgar Xavier Marvelo, Seraf Naro Siregar, dan Ahmad Ghifari Fuaiz) merebut medali emas dari nomor Duilian Putra. Foto/Dok.Edgar Xavier Marvelo

Tim putra Indonesia (Edgar Xavier Marvelo, Seraf Naro Siregar, dan Ahmad Ghifari Fuaiz) merebut medali emas dari nomor Duilian Putra. Foto/Dok.Edgar Xavier Marvelo

Berbeda dengan negara-negara lain yang melakukan persiapan panjang, tim Indonesia hanya memiliki waktu satu bulan. Bahkan, pelatnas sempat terhenti karena kebijakan efisiensi. Tapi di balik keterbatasan itu, semangat justru menyala lebih terang.

“Kita sebagai tim, dari atlet, pelatih, hingga pengurus, bekerja sama dengan sangat intens untuk memaksimalkan waktu yang sedikit. Puji Tuhan, kerja keras ini membuahkan hasil: dua medali emas dan dua perunggu,” tambah Edgar.

Atlet wushu Indonesia membawa pulang 2 medali emas dan 2 perunggu. Foto/Dok.PBWI

Atlet wushu Indonesia membawa pulang 2 medali emas dan 2 perunggu. Foto/Dok.PBWI

Tak banyak yang tahu bahwa Diva dan Tasya hanya mendapat kesempatan tampil di nomor perorangan dan beregu, sementara tim putra hanya punya satu peluang di nomor beregu. Tapi peluang sekecil apa pun, jika diresapi dengan semangat dan kerja sama, bisa berubah menjadi pencapaian besar.

Di bawah kibaran bendera Merah Putih, para pendekar muda itu berdiri tegak. Mereka bukan hanya atlet yang menang, mereka adalah simbol dari keteguhan di tengah keterbatasan. Sebuah pelajaran: bahwa waktu yang sempit, dana yang terbatas, dan peluang yang tak pasti bisa dilipatgandakan oleh tekad.

Dan mungkin, di antara semua itu, yang paling menyentuh adalah kalimat sederhana dari Diva, gadis 21 tahun yang tengah menyeimbangkan dunia kampus dan dunia tanding: "Saya hanya berusaha menampilkan kemampuan terbaik saya."

Kadang, itu memang sudah lebih dari cukup untuk membuat sejarah.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!