
“Sebetulnya kembali kepada hati kita. Berbuat kebaikan dan hidup harus jujur. Itulah rahasia umur panjang.”
– Eddie Marzuki Nalapraya

Mayjen TNI (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya meninggal dunia, pada Selasa, 13 Mei 2025, di usianya 93 tahun (Foto: Ludus.id)
Demikian ditegaskannya, ketika ditanya rahasia panjang umur. Usianya saat itu, masih 91 tahun. Tapi, selasa pagi tadi, 13 Mei 2025, langit Jakarta seolah turut merunduk. Di Rumah Sakit Pondok Indah, pukul 09.50 WIB, seorang tokoh besar berpulang dengan tenang. Namanya: Mayjen TNI (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya. Usianya 93 tahun. Namun warisannya—khususnya bagi dunia pencak silat—abadi selamanya.
Kabar wafatnya menyebar cepat lewat pesan-pesan singkat dan unggahan media sosial. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, kehilangan ini bukan sekadar berita. Ini adalah gugurnya pohon rindang yang telah menaungi pencak silat Indonesia, bahkan dunia, selama lebih dari setengah abad. Bukan berlebihan jika ia dikenal dengan gelar yang penuh hormat: Bapak Pencak Silat Dunia.
Lahir di Tanjung Priok pada 6 Juni 1931, Eddie kecil tumbuh di zaman bergolak. Ia masih remaja ketika kolonialisme mencoba menginjak kembali bumi Nusantara lewat Agresi Militer Belanda 1947. Tapi Eddie memilih jalan sunyi para pendekar—ia turun ke medan perjuangan, dan di sela-sela pertempuran itulah ia bertemu dengan pencak silat, bukan hanya sebagai seni bela diri, tapi sebagai jalan hidup. Sebuah warisan bangsa yang harus dijaga, diperjuangkan, dan diwariskan.
Sepanjang hayatnya, Eddie tak pernah berhenti memperjuangkan satu hal: agar pencak silat tidak hanya hidup di gelanggang, tetapi juga di hati bangsa, dan lebih jauh lagi, di mata dunia. Saat ia menjabat Ketua Umum PB IPSI dari 1981 hingga 2003, ia tidak hanya mengelola organisasi—ia membangun sebuah ekosistem. Di tangannya, pencak silat bukan hanya olahraga, tapi jembatan budaya, diplomasi, bahkan identitas.
Pada 1980, ia ikut merintis berdirinya Persekutuan Pencak Silat Antar Bangsa (Persilat). Tiga tahun kemudian, di Kuala Lumpur, ia terpilih sebagai presiden pertama. Jabatan itu diembannya sampai 2005 sebelum tongkat estafet diberikan kepada Prabowo Subianto. Tapi kontribusinya tak berhenti di situ.
Ia adalah arsitek diplomasi silat antarnegara. Di bawah inisiasinya, lahir organisasi pencak silat di negara-negara tetangga: Persisi di Singapura, Pesaka di Malaysia, dan juga perwakilan Brunei Darussalam. Pada 1987, upayanya membuahkan hasil: pencak silat resmi dipertandingkan di SEA Games.
Tapi mimpinya jauh lebih besar. Ia ingin silat dikenali dunia, bukan hanya sebagai cabang olahraga, melainkan sebagai warisan budaya umat manusia. Maka dimulailah perjuangan panjang menuju pengakuan UNESCO. Dari 2014 hingga 2019, Eddie membina langsung Tim Pencak Silat Road to UNESCO & Olympic. Ia tidak hanya menjadi tokoh seremonial, tetapi mentor, pemikir, bahkan pejuang di balik layar.
Pada 12 Desember 2019, di Kolombia, impian itu terwujud. Pencak Silat resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Dan dalam sejarah itu, nama Eddie Marzuki Nalapraya akan selalu disebut sebagai tokoh sentral.

Jenazal almarhum Eddie Marzuki Nalapraya disemayamkan di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata (Foto: Dok Perguruan Silat Tapak Suci)
Dan, tokoh sentral pencak silat itu, kini telah pergi. Jenazahnya disemayamkan di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah—tempat yang ia bangun, rawat, dan jadikan pusat spiritual silat Indonesia. Lalu ia akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tempat para pejuang bangsa bersemayam.
Namun warisan Eddie tidak berhenti di batu nisan. Ia tertulis di setiap gerak silat yang diajarkan dari satu guru ke murid berikutnya. Ia hidup dalam semangat anak-anak muda yang mempersembahkan medali emas bagi Indonesia dari gelanggang silat. Ia bergema dalam salam hormat para pendekar dari Asia hingga Eropa, dari gelanggang di Vietnam hingga arena silat di Swiss, tempat ia bahkan diberi gelar sebagai Bapak Pencak Silat Eropa.
Penghargaan KONI Lifetime Achievement Award hanyalah salah satu dari banyak bentuk pengakuan. Ia juga pernah menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta (1984–1987), Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1998–2003), dan Ketua Umum Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI). Namun pencak silat tetap menjadi rumahnya. Darahnya. Napasnya.
Dalam kunjungan kenegaraan, Presiden Spanyol bahkan menjulukinya Bapak Pencak Silat Dunia. Sebuah gelar yang datang bukan karena formalitas, tapi karena dedikasi seumur hidupnya terhadap seni bela diri bangsa.
Kini, Eddie Marzuki Nalapraya telah pergi. Tapi seperti kata orang bijak: pendekar sejati tak pernah benar-benar mati. Mereka hanya berpindah ke alam di mana jiwa-jiwa agung beristirahat. Di dunia ini, mereka hidup dalam warisan. Dan warisan Eddie adalah satu: agar silat terus bertahan sebagai jati diri bangsa, dan jati diri dunia.
Kami sangat mencintaimu. Indonesia, dunia olahraga, dan seluruh pecinta pencak silat kehilanganmu. Tapi yang paling menyentuh, yang takkan pernah tergantikan, adalah kehadiranmu di setiap langkah yang kita ambil. Kau adalah nyala api yang kini kami bawa dalam hati, dalam setiap gerakan, dalam setiap perjuangan. Sebab meskipun tubuhmu telah tiada, semangatmu akan terus hidup dalam setiap pukulan dan tendangan, dalam setiap silat yang mengalir dari generasi ke generasi.
Dan pada akhirnya, kami tahu, meski tak lagi melihatmu di panggung ini, dalam setiap lompatan silat, kami akan selalu merasa hadirmu, karena cintamu yang tak pernah pergi.
Selamat jalan, Pendekar Bangsa, Bapak Pencak Silat Indonesia, bahkan dunia. Salam hormat dari gelanggang yang kau dirikan, dari jiwa-jiwa yang kau bentuk, dari dunia yang telah kau buat lebih mengenal Indonesia. (Aes)

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!