Kilau Merah Putih di Pattaya: Catatan Indonesia Fighter Team di 8th Heroes Taekwondo International Championship

Ludus01

LUDUS - Pattaya pada awal Agustus 2025 bukan sekadar kota wisata dengan deretan pantai, cahaya lampu malam, dan deru turis yang datang silih berganti. Di jantung kota, di Indoor Sports Complex, Eastern National Sports Training Center, riuh teriakan “kiap!” bergema bersahutan. Lebih dari 6.000 atlet dan pendukung dari 27 negara membanjiri arena, menghadirkan sebuah festival energi, persaingan, dan persaudaraan lintas batas.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Inilah The 8th Heroes Taekwondo International Championship, turnamen ranking internasional dengan status T1, yang digelar pada 9–10 Agustus 2025. Sebuah panggung yang bukan hanya soal medali, melainkan tentang inklusivitas.

“Kejuaraan ini bukan sekadar soal medali, tapi soal inklusivitas, tentang bagaimana para atlet muda hingga atlet difabel bisa tampil sejajar,” ujar Cassandra Haller, CEO sekaligus motor penggerak Heroes Taekwondo Organization.

Turnamen ini digelar dengan wajah penuh warna. Heroes Taekwondo menggandeng Taekwondo Association of Thailand dan SPADT Thailand (Sports Association for the Disabled of Thailand), membuka ruang kompetisi luas: dari Kyorugi, Para Kyorugi, Poomsae, Freestyle Poomsae, hingga nomor-nomor unik seperti Speed Kick dan Taekwondo Dance.

Sabtu siang, 9 Agustus 2025, Walikota Pattaya Poramet Ngampichet bersama Maitree Kongruang, Presiden SPADT, membuka acara secara resmi. Kibaran bendera, musik pembuka, dan tepuk tangan membentuk suasana yang menegaskan pesan universal: olahraga ini bukan hanya soal kemenangan, melainkan juga kebersamaan dan daya hidup.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Di atas matras, lahirlah kisah-kisah pribadi. Di tengah riuh itu, tujuh wajah muda dari Indonesia melangkah dengan seragam putih taekwondo. Mereka datang bukan lewat bendera daerah atau kontingen resmi, melainkan lewat wadah bernama Indonesia Fighter Team (IFT), sebuah tim independen berbentuk travel tour atlet, merangkul siapa saja: klub, daerah, atau individu, untuk bertanding di panggung internasional.

Semuanya bermula dari sebuah dojang di Jakarta, suara hentakan kaki dan teriakan “kiap!” kerap terdengar setiap sore. Dari tempat itulah, Reinaldy Atmanegara, mantan taekwondoin nasional peraih emas SEA Games Singapura, melanjutkan hidupnya setelah turun dari gelanggang resmi. Medali emas yang dulu digenggamnya bukan hanya simbol kejayaan pribadi, melainkan juga tanggung jawab untuk melahirkan generasi baru. Ia mendirikan RATG, sebuah klub taekwondo yang bukan sekadar tempat berlatih, tetapi juga ruang untuk menyalakan kembali semangat yang pernah membawanya berdiri di podium tertinggi Asia Tenggara.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Namun Reinaldy tahu, medali tidak hanya lahir dari latihan rutin di dalam negeri. Anak-anak muda butuh panggung lebih luas, pengalaman menatap mata lawan asing, merasakan sorak penonton internasional, dan menimbang diri di hadapan sistem kompetisi dunia. Dari kesadaran itulah ia membentuk IFT.

Agustus 2025, IFT memilih Pattaya sebagai tujuan. Kota wisata di tepi Teluk Thailand itu akhir pekan itu bukan hanya dihiasi neon dan turis, melainkan juga riuh suara ribuan atlet, termasuk atlet-atlet muda yang dibawa Reinaldy lewat IFT. Mereka adalah:

  • Calesta Angel – Kyorugi B 15–17 tahun, Female I, 63–68 kg, G2
  • Mikail Abhinava Nugroho – Kyorugi B 15–17 tahun, Male D, 51–55 kg, G4
  • Muhammad Rashdan Shafiq – Kyorugi B 15–17 tahun, Male G, 63–68 kg, G1
  • Aisha Kalyana Nugroho – Kyorugi B 12–14 tahun, Female D, 37–41 kg, G2
  • Alexander Samuel Aluwi – Kyorugi C 11–12 tahun, Male A, -25 kg
  • Richard Aldrich Aluwi – Kyorugi B 9–10 tahun, Male E, 29–32 kg, G4
  • Cetta Maria Jovita – Kyorugi-PSS A 11–12 tahun, Female D, 31–34 kg

Di tengah lautan seragam putih dari berbagai negara, tujuh nama itu berdiri dengan keberanian yang sama: melangkah, bertarung, dan membawa pulang kisah.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Hasilnya, dua emas, satu perak, tiga perunggu, serta satu atlet yang menembus delapan besar. Angka itu mungkin kecil dibandingkan klub-klub raksasa dari Asia, tapi di baliknya tersimpan perjuangan tak mudah. Calesta Angel menjadi bintang paling terang dengan medali emas, diikuti Mikail yang menyempurnakan kejayaan dengan emas kedua. Rashdan Shafiq pulang dengan perak, sementara Aisha, Alexander, dan Richard menyumbang perunggu. Cetta, meski tak naik podium, berhasil melangkah hingga delapan besar, sebuah janji yang belum selesai.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

“Rasanya seneng banget bisa meraih medali emas di 8th Heroes Taekwondo International Championship. Terima kasih untuk keluarga, pelatih, dan teman-teman yang selalu dukung dan kasih semangat. Kemenangan ini jadi motivasi buat aku terus berlatih dan berprestasi di kesempatan berikutnya,” ujar Calesta, wajahnya sumringah di podium, medali emas menggantung di lehernya.

Tiga klub berada di balik bendera IFT kali ini: Angel Prima, Sacti Club, dan RATG.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Bagi Indonesia Fighter Team, capaian ini lebih dari sekadar angka. Format tim independen menunjukkan cara baru: membangun ekosistem olahraga tanpa menunggu birokrasi, memberi kesempatan pada anak-anak muda untuk mencicipi atmosfer global. Bahwa mereka pulang dengan medali hanyalah bonus; yang lebih penting adalah keberanian untuk hadir.

Dan, bagi Reinaldy, mendampingi anak-anak asuhnya kali ini menghadirkan kebanggaan tersendiri.

“Sangat luar biasa. Saya melihat langsung bagaimana mereka berjuang dengan penuh semangat, disiplin, dan sportivitas di panggung internasional. IFT tidak hanya berperan sebagai travel yang mengurus keberangkatan, tetapi juga benar-benar mendampingi dan membantu mempersiapkan para atlet agar tampil lebih optimal.

Sebelum berangkat, ada sesi latihan bersama saya, dan setibanya di Thailand kami juga memfasilitasi latihan dengan sosok-sosok besar seperti Panipak Wongpattanakit dan Ramnarong Sawekwiharee. Semua itu kami lakukan agar para atlet mendapat pengalaman terbaik, sekaligus tambahan ilmu dan kepercayaan diri saat berlaga. Harapan saya, pengalaman ini bisa menjadi motivasi, bukan hanya untuk terus meraih prestasi, tetapi juga untuk menginspirasi generasi muda Indonesia bahwa kita mampu bersaing di level dunia.”

Memang benar. Di arena sebesar ini, cerita tentang Calesta Angel dan kawan-kawan terasa bagai obor kecil di lautan cahaya. Tapi di situlah nilainya. Turnamen ini juga menegaskan wajah modern taekwondo. Semua nomor Kyorugi memakai KPNP PSS (Protector and Scoring System), sistem elektronik yang memastikan transparansi penilaian. Pendaftaran serba digital lewat platform GMACScore, ditutup 26 Juli 2025.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Pada akhirnya, di balik ribuan medali dan deru pertandingan, ada nilai yang lebih dalam. Taekwondo di Pattaya bukan sekadar olahraga bela diri asal Korea dengan tendangan dan pukulan. Ia telah menjelma panggung kemanusiaan: tempat di mana tubuh yang bergerak seirama membawa pesan tentang keberanian, harapan, dan kemungkinan tanpa batas.

Foto/Dok.RATG

Foto/Dok.RATG

Bagi Indonesia, perjalanan tujuh anak muda ini bukan penutup cerita, melainkan awal. Dari Pattaya, langkah mereka bisa menembus arena yang lebih besar, dan suatu hari, barangkali, mengibarkan Merah Putih di podium dunia, dan mengumandangkan Indonesia Raya.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!