Kris Taenar Wiluan, Lelaki yang Tidak Berkata “Saya”

Pada tahun 2009, Kris Wiluan tercatat dalam peringkat ke-40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes (Foto: ludus.id)
0
0

Ada orang-orang yang hadir tanpa mengetuk. Mereka membangun tanpa plang nama, menyalakan cahaya tanpa berdiri di bawahnya.

Ada yang percaya: cahaya tak perlu menunjuk siapa yang menyalakannya.

Sore itu, di sebuah pojok hotel yang tenang — sebuah tempat dengan beranda lebar, taman hening, dan aroma kayu jati yang samar — tak sengaja, Tuhan mempertemukan saya dengan seorang lelaki yang suaranya datar, tapi matanya jernih.

Saya sudah lama mengenalnya. Saya masih ingat: dulu, rambutnya hitam pekat, tubuhnya lebih ramping, langkahnya ringan. Hari itu, waktu sudah bergeser, tapi satu hal tidak berubah: gaya bicaranya tetap sederhana, tetap tenang. Seperti air yang tidak pernah tergesa-gesa.

Namanya Kris Taenar Wiluan. Tapi nama itu tak ia bawa ke atas meja.

Di antara percakapan kami sore itu, saya juga mengingat latar belakangnya: Kris Taenar Wiluan lahir pada 1948 di Jakarta. Ia adalah pengusaha besar di bidang energi dan industri maritim. Melalui Citramas Group yang didirikannya, ia mengembangkan kawasan industri terpadu di Batam dan perusahaan-perusahaan pengeboran minyak. Ia juga memimpin KS Energy, perusahaan berbasis di Singapura yang bergerak di sektor jasa energi.

Pada tahun 2009, ia tercatat dalam peringkat ke-40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, sebuah pengakuan atas kiprahnya di dunia bisnis yang berakar kuat, namun salah satu taipan Indonesia ini tetap rendah hati.

Langkahnya tetap menjejak tanah. Kekuasaan dan ketenaran tak pernah mengubahnya; ia tetap sederhana, membumi, dan menghadirkan kerendahan hati dalam setiap geraknya. Tanpa jarak, masih seperti dulu, selalu membawa kehangatan.

Prestasi taekwondo Indonesia di Olimpiade Barcelona ’92 ada nama Kris Wiluan di dalamnya (Foto: Istimewa)

Prestasi taekwondo Indonesia di Olimpiade Barcelona ’92 ada nama Kris Wiluan di dalamnya (Foto: Istimewa)

Di dunia olahraga, Kris Wiluan pernah masuk ke dalam Pengrus Besar Taekwondo Indonesia sebagai Ketua Bidang Luar Legeri. Jabatan yang sangat cocok karena lihainya melakukan lobi-lobi dan kedekatannya dengan pusat taekwondo di Kukkiwon Korea dan dunia, hingga taekwondo dipertandingkan di olimpiade kali pertamanya. Hingga sampai sekarang, dia masih dipercaya sebagai Presiden Asean Taekwondo federation (ATF). Ia terus  aktif mendorong prestasi Indonesia di arena global. Ia menyusun jalan panjang agar anak-anak negeri ini punya tempat di gelanggang dunia.

Di taekwondo, ia memimpin tak dengan pekik, tapi dengan ketekunan, menjadikan Indonesia bagian dari peta dunia.

Baca Juga: Baru Kris Wiluan, Taekwondo Indonesia Raih Medali Olimpiade

Bertahun-tahun bergulir. Dunia berubah. Tapi dalam dirinya ada sesuatu yang tak lekang: ketulusan, keteguhan bekerja dalam diam dan di usia 44 tahun, dipercaya menjadi Kepala Tim (Project Director) taekwondo Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.

Taekwondo adalah jalan pertama yang ia buka. Di Olimpiade Barcelona 1992, Indonesia mengejutkan dunia dengan meraih medali. Sejarah mencatat bahwa perak Dirc Richard, Rahmi Kurnia dan Susilawati serta perunggu dari Yefi Triaji, ada Kris Wiluan di dalamnya. Tapi nama Kris Wiluan tak mengisi berita. Ia memilih mundur, membiarkan kemenangan bersandar sepenuhnya pada para atlet muda itu.

Atas dedikasi semuanya itu, Presiden ATF ini juga menerima penghargaan Dan 6 Kehormatan dari Kukiwon.

Kris Wiluan bersama Dirc Richard, taekwondoin yang meraih medali perak Olimpiade Barcelona ’92 (Foto: ludus.id)

Kris Wiluan bersama Dirc Richard, taekwondoin yang meraih medali perak Olimpiade Barcelona ’92 (Foto: ludus.id)

Ia tetap sama: tidak bicara tentang dirinya, melainkan tentang anak-anak yang dilatih, tentang harapan yang dibangun pelan-pelan.

Ia tidak sekadar mengejar sorak kemenangan. Ia menanam masa depan.

Dalam dunia yang sering memuja gemerlap, ia memilih sunyi. Dalam dunia yang biasa memburu nama besar, ia membina pondasi.

Dalam dunia olahraga Indonesia yang gemar mengejar sorak, Kris memilih jalan tanpa peta. Di dunia yang berlomba mengumumkan prestasi, ia malah membangun sunyi.

Seperti air yang mengalir tanpa jejak, kerja itu dibiarkan meresap dalam sejarah kecil yang pelan-pelan menumbuhkan pohonnya sendiri.

“Kris Wiluan tak hanya menendang untuk menang, tapi membangun agar bangsa ini punya tempat di arena global.”

Ia mengerti bahwa prestasi bukan sekadar soal medali, tapi tentang membuat sebuah ekosistem, membangun fondasi agar generasi berikutnya bisa berdiri lebih tinggi.

Tapi kerja sunyi itu tidak berhenti di satu gelanggang. Di pesisir, ia membina olahraga layar, mengenalkan anak-anak muda pada dunia luas yang dibentangkan angin dan ombak.

Ia membangun lintasan atletik bertaraf internasional di tanah yang dulu hanya jalan berlubang, membuka ruang di mana kecepatan dan mimpi bisa bertumbuh. Stadion Gelora Citramas berdiri kokoh.

Di kaki bukit Citramas, ia mendirikan Sekolah Sepak Bola — SSB yang mengajarkan bukan sekadar cara menendang bola, tapi tentang kerja sama, karakter, dan keberanian bermimpi lebih jauh.

Gelora Citramas dan pusat pelatihan taekwondo di Batam adalah cermin nyata dari keyakinannya bahwa prestasi tak lahir dari fasilitas semata, tapi dari pembentukan karakter dan mental juara. Ia tak menunggu janji atau anggaran negara—ia bergerak lebih dulu, membangun dari hati. Fasilitas ini pun bukan untuk satu cabang saja, tapi untuk siapa saja yang ingin berjuang dan tumbuh lewat olahraga.

“Stadion dan dojo adalah tempat mencetak daya tahan. Negara ini tak akan besar kalau anak-anak mudanya lemah mental,” katanya dalam sambutan peresmian Gelora Citramas. Pada 9 Agustus 2014, Stadion Gelora Citramas di Batam resmi dibuka oleh Gubernur Kepulauan Riau kala itu, almarhum Drs. H. Muhammad Sani.

Dari semua itu, menjadi jelas: Kris Wiluan tidak membina agar Indonesia menang sekali dua kali. Ia membangun agar bangsa ini punya tempat di arena global, agar Indonesia berdiri di gelanggang dunia bukan sebagai tamu, tapi sebagai tuan rumah di masa depan. Prinsip yang ia tularkan juga kepada ketiga anaknya: Richard, Mike dan Angeline Wiluan.

Saya teringat Lao Tzu, filsuf Taois dari Tiongkok kuno, yang menulis lebih dari dua ribu tahun lalu:

“Seorang pemimpin terbaik adalah yang keberadaannya nyaris tak terasa. Ketika pekerjaannya selesai, tujuannya tercapai, orang-orang akan berkata: kami melakukannya sendiri.”

Kris Wiluan tampaknya memilih menjadi pemimpin semacam itu: membangun tanpa menagih tepuk tangan, bekerja tanpa mencatatkan namanya dalam prasasti.

Saya teringat pula Jiddu Krishnamurti, filsuf India abad ke-20 yang menolak standar dunia yang sering kali keliru:

“Bukanlah tanda kesehatan bila seseorang mampu menyesuaikan diri dengan dunia yang sakit.”

Dalam sistem olahraga yang sering terseret kepentingan sesaat, Kris Wiluan berjalan ke arah berlawanan: membangun perlahan, memupuk sabar, memilih jalan panjang yang sepi. Tanpa pretensi apapun, Kris Wiluan tetap mengabdi kepada tidak hanya taekwondo, tapi olahraga lainnya.

Kris Wiluan bersama tim taekwondo Indonesia di Olimpiade Barcelona ’92 (Foto: Istimewa)

Kris Wiluan bersama tim taekwondo Indonesia di Olimpiade Barcelona ’92 (Foto: Istimewa)

Mungkin itu sebabnya Kris lebih banyak mendengarkan daripada berbicara: mendengarkan keresahan pelatih, kebutuhan atlet muda, kerinduan Indonesia akan sebuah sistem yang berakar kuat.

Bagi Kris Wiluan, taekwondo bukan sekadar olahraga bela diri, melainkan jalan hidup yang membentuk cara berpikir dan bertindak. Nilai-nilai seperti hormat, ketekunan, integritas, dan semangat pantang menyerah tak hanya ia pelajari di atas matras, tapi ia terapkan dalam dunia bisnis dan kepemimpinan. “Taekwondo mengajarkan bahwa bahkan dalam kekalahan, ada kehormatan. Saya kira dunia bisnis juga seperti itu,” tegasnya.

Bagi Kris Wiluan, membina taekwondo bukan soal mencetak juara, tapi mencetak manusia yang tangguh, jujur, dan penuh dedikasi!

Hotel Dharmawangsa sore itu tetap diam. Angin bergerak pelan di sela taman. Kris Wiluan berpamitan karena ia harus segera terbang kembali ke Singapura, dengan kalimat sederhana:

“Semoga olahraga kita makin kuat dari dasar.”

Saya mencatatnya dalam hati — seperti mencatat ulang perjalanan kami bersama: dari rambut hitam pekat sampai uban yang pekat, dari satu sore ke sore yang lain, dari satu kepercayaan yang tidak pernah berubah: Bahwa membangun berarti menumbuhkan, bukan menguasai.

Karena yang paling berharga, sering kali hadir dalam suara yang paling pelan. Ia, pantas menyandang gelar Bapak Olahraga Indonesia, atau tepatnya Bapak Taekwondo Indonesia. Memilih melakukan diam-diam untuk kejayaan merah putih!

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu—juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!