Maung Juara di Lautan Api

Ludus01

0
0

"Setiap kemenangan adalah pengulangan dari luka-luka lama yang diingat sebagai kekuatan."
— Pramoedya Ananta Toer —

Maung bukan hanya fauna—ia adalah nyala keberanian dalam setiap denyut nadi Bandung.

Mereka menyebutnya Maung. Harimau. Binatang lambang ketangguhan yang tidak tunduk, tidak menyerah, dan tak bisa dipenjara dalam kandang kebiasaan. Tapi Persib Bandung, bukan sekadar tim sepak bola dengan julukan itu. Ia, adalah lambang dari sesuatu yang lebih luas—sebuah rasa memiliki, perlawanan, dan pulang.

Ketika wasit meniup peluit panjang, pada 24 Mei 2025, dan Persib resmi mengalahkan Persis Solo 3-2 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, itu bukan hanya kemenangan dalam klasemen. Itu, adalah klimaks dari ingatan kolektif, dari sejarah yang hidup dalam napas para Bobotoh, dari Bandung yang tak pernah kehilangan bara.

Dan, Persib menutup Liga 1 musim 2024/2025 dengan torehan tiga gol indah: gol pembuka dari Gustavo Franca di menit 46, disusul Tyronne Del Pino yang menambah keunggulan di menit 56, dan penutup dari David da Silva pada menit 78. Persis Solo berjuang keras, tetapi keperkasaan Maung tetap tak terbendung.

Gol-gol itu tercatat dalam statistik: Gustavo Franca di menit 46, Tyronne Del Pino menit 56, dan David da Silva menit 78. Persis Solo melawan, tapi Maung tak mau tidur malam itu.

Tapi, kemenangan ini, bukan sekadar angka dalam klasemen. Ia, adalah geologi yang dalam. Sebuah lapisan bumi yang membentuk identitas. Sebab apa arti kemenangan jika tak ada luka yang mendahuluinya? Dan apa arti gol jika tak ada air mata yang menetes dalam tribun-tribun kosong bertahun-tahun?

Nietzsche, yang barangkali tak pernah menonton sepak bola, pernah menulis: "He who has a why to live can bear almost any how." Mereka yang tahu mengapa hidup, bisa menanggung cara apa pun. Bobotoh tahu mengapa mereka berdiri berjam-jam di tengah hujan dan flare. Karena hidup kadang memang hanya bisa dimaknai lewat harapan kecil yang tak pernah padam.

Persib adalah salah satu harapan itu.

Bandung, kota yang pernah membakar dirinya sendiri, ternyata tak pernah kehilangan api. Hanya menyimpannya di dada. Di antara bendera biru yang robek, nyanyian yang serak, dan tribun yang goyah. Ada luka yang tidak ingin disembuhkan. Sebab seperti kata Rumi:
"Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu."

Dan dari luka itulah datang nyala.

Maka kemenangan ini, bukan soal siapa mencetak gol. Tapi siapa yang tidak berhenti percaya. Mereka yang tahu: sepak bola bukan hanya permainan dua kali 45 menit. Tapi upacara sosial yang merayakan identitas.

Albert Camus, pesepak bola yang menjadi filsuf, menulis:
"Di tengah musim dingin, aku temukan di dalam diriku, musim panas yang tak terkalahkan."
Apa yang terjadi musim ini, barangkali, adalah musim panas yang dimaksud. Setelah musim dingin panjang berupa kekalahan, kritik, manajemen yang goyah, dan rasa percaya yang diuji.

Apa yang terjadi musim ini, barangkali, adalah musim panas yang dimaksud. Setelah musim dingin panjang berupa kekalahan, kritik, manajemen yang goyah, dan rasa percaya yang diuji.

Foto: Instagram/Persib

Foto: Instagram/Persib

Umuh Muchtar, manajer tim sekaligus komisaris Persib, menangis. Pada 5 Mei 2025, saat gelar juara kembali ke Bandung, ia tak lagi bisa menyimpan haru. "Saya sampai menangis," bisiknya, kepada media yang mewawancarainya. Di masa-masa genting, gula darahnya sempat naik. Tapi saat Persib juara, syukur menenangkan tubuhnya. "Turun gula saya. Ini berkah."

Setahun sebelumnya, usai gelar musim 2023/2024, ia berkata tegas:
"Ini bukan rekayasa. Ini kerja keras dan doa Bobotoh." Bukan sekadar ucapan, tapi keyakinan. Bahwa juara lahir bukan dari keberuntungan, melainkan dari peluh, kesetiaan, dan cinta yang terus mengakar.

Pernyataan itu bukan pembelaan, tapi penegasan. Bahwa kemenangan bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi tumbuh dari tanah—dari akar yang menjulur dalam: kerja keras, kesetiaan, dan cinta yang tak berpamrih.

Luis Milla pergi. Bojan Hodak datang. Pelatih ini tidak hanya membawa strategi. Ia membawa pengertian. Ia tahu bahwa tim bukan sekadar formasi, tapi ekosistem. Ia tahu Maung tak pernah bertarung sendiri. Dan keberanian, lebih dari sekadar taktik, adalah soal mendengarkan.

Persib, akhirnya, bermain sebagai tim. Seperti hutan yang saling menghidupi, bukan pohon tunggal yang menjulang sendiri.

Dua musim. Dua kemenangan. Dan satu benang merah yang tak putus: cinta yang tak pernah berkurang, bahkan ketika tubuh menua. Bagi Umuh, Maung bukan sekadar tim. Ia adalah keluarga. Dan bobotoh, bukan sekadar suporter. Mereka adalah semesta yang menjaga bara tetap menyala.

Kini trofi kembali ke Bandung. Mempertahankan juara musim sebelumnya. Juara 2023/2024. Tapi, yang lebih penting, mungkin bukan piala. Tapi kembali utuhnya makna. Bahwa sepak bola tidak bisa dibeli dengan uang semata. Ia adalah ekspresi dari komunitas, dari cinta, dari keteguhan yang kadang terlalu gila untuk dipahami nalar. Tapi seperti semua yang benar-benar penting di dunia: ia tak perlu masuk akal.

Sore itu, ketika flare dinyalakan, dan asap memenuhi langit stadion, saya tahu: pertandingan telah selesai bukan karena waktu habis. Tapi karena waktu meledak. Ada perlawanan yang pecah dalam kabut merah. Stadion yang penuh 40 ribu jiwa berubah menjadi altar. Di sana, kemenangan dipersembahkan bukan pada statistik, tapi pada rasa.

Asap itu, bukan hanya mesiu. Ia adalah napas sejarah.

Kita kembali pada sejarah yang panjang. Persib, didirikan 14 Maret 1933. Menjadi saksi dari transformasi sepak bola nasional: dari Perserikatan hingga Liga. Dari semangat daerah, fanatisme, ke profesionalisme. Dari kesebelasan lokal menjadi kekuatan budaya. Lima gelar di era Perserikatan. Dua di Liga Indonesia. Satu di Liga 1. Dan kini satu lagi. Total: sembilan gelar. Tapi siapa yang menghitung piala, jika yang ingin dikenang adalah rasa?

Dari masa Perserikatan hingga Liga, Persib adalah simbol evolusi sepak bola Indonesia: dari akar tradisional ke era modern, dari sekadar olahraga menjadi ekspresi budaya dan sosial. Eksistensi Persib tidak hanya terukur dari piala, tapi juga dari bagaimana klub ini menjadi denyut nadi masyarakat Bandung dan Jawa Barat.

Rasa yang tak bisa dijelaskan dalam grafik. Tapi bisa dirasakan dalam denyut nadi masyarakat Bandung. Dalam julukan yang sederhana tapi penuh makna: Maung Bandung. Sebab "Maung" bukan hanya harimau. Ia adalah keteguhan yang tak pernah tunduk. Jiwa yang tak bisa dibeli.

Sejarah itu tidak ditulis oleh klub, tapi oleh wajah-wajah: Robby Darwis, Atep, Djadjang Nurdjaman. Dan di atas segalanya: Bobotoh. Yang bukan hanya penonton. Tapi pengawal identitas.

"Bobotoh" dalam bahasa Sunda berarti pendukung. Tapi kata itu terlalu sempit. Mereka adalah simpul sosial. Mereka adalah tafsir budaya atas kesetiaan. Mereka adalah penjaga rasa kebersamaan. Dalam teriakan, nyanyian, dan doa di tribun Gelora Bandung Lautan Api, bobotoh menyalakan api yang membuat Maung Bandung lebih hidup, lebih berani. Mereka adalah akar, yang menghubungkan klub dengan masyarakat, yang menjadikan Persib bukan hanya klub sepak bola, tapi identitas Jawa Barat yang berdenyut

Dalam falsafah Sunda, kita mengenal silih asah, silih asih, silih asuh. Saling mengasah. Saling menyayangi. Saling mengasuh. Dan mungkin, Persib hanyalah jalan untuk itu.

Bahwa hidup bukan untuk menang, tapi untuk saling menjaga. Bahkan ketika kalah.

Bandung bukan kota yang tenang. Ia penuh gairah. Dan gairah itu terkadang meluap. Pagar stadion diterobos. Flare menyala. Lapangan dibanjiri cinta yang tak sempat disaring. Tapi seperti semua cinta, ia harus dijaga. Agar tak membakar yang dicintai.

Akhirnya, kemenangan ini bukan tentang siapa yang bermain lebih baik. Tapi siapa yang lebih percaya. Karena percaya, seperti api, tak bisa dipadamkan oleh logika.

Persib, pada akhirnya, bukan hanya tim. Ia adalah ruang kosong yang diisi dengan impian. Dengan kenangan. Dan dengan cinta. Yang, meski tak selalu diberi balas, tetap ingin kita beri.

"Kekuatan sebuah komunitas bukan hanya diukur dari kemenangan, tapi dari kesetiaan dalam setiap kegagalan dan kemampuan bangkit kembali."

Persib adalah cermin dari kekuatan komunitas Bandung yang tidak pernah patah.

"Harimau bukanlah sekadar binatang, ia adalah simbol keberanian yang menuntut pengorbanan dan keteguhan hati."

Persib bukan sekadar warisan masa lalu, ia adalah perjuangan masa kini dan masa depan.

"Kemenangan bukan tujuan akhir, melainkan sebuah perayaan kecil di tengah perjalanan panjang pengabdian."

Setiap gelar yang diraih Maung Bandung adalah langkah kecil dari perjalanan panjang yang penuh makna. Sebab dalam sepak bola, seperti dalam hidup, bukan soal siapa menang lebih sering—tapi siapa yang terus bertahan, mencintai, dan memperjuangkan.

Bandung pernah punya bara itu secara harfiah. Pada 24 Maret 1946, Bandung membakar dirinya agar tak bisa direbut kembali oleh penjajah. Kota itu menjadi abu, tetapi tak pernah kehilangan harga diri. Maka ketika stadion yang menggelegar pada malam kemenangan itu dinamai Gelora Bandung Lautan Api, sejarah bukan hanya dikenang—ia dihidupkan kembali. Api yang sama, tapi kini dalam bentuk lain: cinta kepada klub sepak bola, warna biru, dan harapan yang kerap tertunda.

“Seperti api yang membara, semangat yang tak padam itulah yang mengubah abu menjadi kekuatan.”

Semangat itu yang terus membara dalam darah Maung dan Bobotoh.

Selamat kepada Persib Bandung—Maung yang tak pernah lelah mengaum. Selamat pula untuk Bobotoh, jiwa yang selalu membakar semangat di setiap laga, tanpa lelah, tanpa henti.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!