Janice Tjen di Grand Slam, dan Jejak Yayuk Basuki yang Tak Pernah Hilang

Ludus01

"You have to believe in yourself when no one else does, that makes you a winner right there," ujar Venus Williams, petenis legendaris yang tahu betul betapa panjang jalan menuju panggung Grand Slam.
Foto/Instagram/Janice Tjen

Foto/Instagram/Janice Tjen

Kalimat itu terdengar seperti bisikan yang ditujukan kepada siapa saja yang berdiri di persimpangan ragu. Keyakinan, bahkan sebelum orang lain percaya, adalah pintu pertama menuju kemenangan.

Hari ini, kalimat itu menemukan sosoknya pada seorang perempuan bernama Janice Tjen. Ia berdiri di bawah terik matahari New York, di lapangan Arthur Ashe yang penuh riuh. Raketnya terangkat, lengannya mengayun. Setiap servisnya, setiap pukulan forehand dan backhand, bukan sekadar usaha memenangkan pertandingan. Itu simbol dari 21 tahun penantian panjang Indonesia untuk kembali tampil di babak utama US Open tunggal putri sejak Angelique Widjaja pada 2004. Sebuah garis waktu yang terbentang lebih dari dua dekade, akhirnya ditembus oleh seorang anak muda dari Jakarta.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Grand Slam baginya bukan panggung kosong. Sejarah sudah lebih dulu menorehkan nama lain: Yayuk Basuki. Pada Wimbledon 1997, ia sampai ke perempat final, sebuah capaian yang masih menjadi tonggak tertinggi tenis putri Indonesia di turnamen itu. Dalam perjalanan itu, Yayuk menundukkan Ai Sugiyama, Inés Gorrochategui, Naoko Kijimuta, dan Patricia Hy-Boulais, sebelum langkahnya terhenti oleh Jana Novotná. Ia juga sempat mencatatkan langkah di US Open, babak kedua pada 1991 dan 1992. Angka-angka itu tidak hanya mengukur prestasi, tetapi juga menorehkan inspirasi: bahwa dari negeri yang jauh dari pusat tenis dunia, ada perempuan yang mampu masuk dalam perbincangan global.

Kini, ketika nama Janice disebut di arena yang sama, sejarah seperti membuka halaman baru tanpa menutup yang lama. Jejak Yayuk tetap di sana, memberi gema. Nietzsche pernah menulis: “Invisible threads are the strongest ties.” Benang-benang tak kasatmata justru ikatan yang paling kuat. Gema Yayuk adalah benang itu.

Yayuk Basuki ketika bertemu Jana Novotna di perempat final Wimbledon. Foto/Dok.Yayuk Basuki

Yayuk Basuki ketika bertemu Jana Novotna di perempat final Wimbledon. Foto/Dok.Yayuk Basuki

Janice menapaki jalan panjang untuk sampai ke titik ini. Lahir di Jakarta pada 6 Mei 2002, ia tumbuh dengan raket di tangannya. Dari turnamen sekolah, nasional, hingga ASEAN School Games 2019, ia sudah menunjukkan tanda: medali emas tunggal, perak ganda. Dari situ, jalannya membentang ke Amerika Serikat. Ia bergabung dengan University of Oregon Ducks, lalu Pepperdine University Waves. Di sana ia mengasah bukan hanya pukulan, tetapi juga daya tahan dan mentalitas.

Di Pepperdine, prestasinya mulai terdengar: tiga kali berturut-turut ITA All-American untuk nomor ganda, WCC Player of the Year 2023, hingga berbagai gelar di turnamen collegiate. Semua itu, jika dibaca dari jauh, mungkin hanya deret angka. Tapi angka itu sesungguhnya adalah latihan panjang, adaptasi di lapangan baru, pertemuan dengan tekanan yang tak pernah habis. Dari situlah ia membangun tubuh dan pikirannya menuju panggung dunia.

Foto/Suharyadi

Foto/Suharyadi

Dan panggung itu akhirnya terbuka di ITF World Tennis Tour. Tahun 2025 menjadi saksi: sepuluh gelar ia raih, enam tunggal dan empat ganda. Ia menjuarai ITF W15 Maanshan tanpa kehilangan satu set. Menjadi juara ITF W50 Taizhou, bahkan menyapu pula ganda bersama Priska Madelyn Nugroho. Lalu ke Korea Selatan, menaklukkan ITF W35 Goyang. Dua kali berturut-turut, Mei dan Juni 2025, ia mendapat penghargaan ITF Player of the Month. Itu bukan sekadar pengakuan, melainkan tanda bahwa konsistensinya telah sampai di lingkar internasional.

Tapi Janice bukan hanya soal turnamen individual. Ia juga membela bendera merah putih. Asian Games 2022 di Hangzhou memberinya medali perunggu ganda putri bersama Aldila Sutjiadi, plus langkah ke 16 besar tunggal. Di Billie Jean King Cup, ia ikut memperkuat tim nasional, mencatat kemenangan di ganda melawan tim tangguh seperti Tiongkok. Perjalanan itu memperlihatkan wajah lain dari tenis: bukan hanya soal ambisi pribadi, tapi juga soal kebanggaan kolektif.

Foto/Instagram/Janice Tjen

Foto/Instagram/Janice Tjen

Dan semua itu berpuncak di New York. US Open 2025. Janice melangkah dari kualifikasi. Ia menaklukkan Varvara Lepchenko 6-3, 6-1. Kemudian Aoi Ito, 6-1, 6-2, di final kualifikasi. Ia pun masuk babak utama. Usai pertandingan, ia berkata:

“Saya sangat senang dengan kemenangan ini, terutama karena ini adalah debut saya di Grand Slam. Ini baru langkah pertama, dan saya ingin tetap fokus untuk pertandingan selanjutnya.”

Kalimat sederhana, tapi mengandung lapisan makna: bahwa kemenangan sesungguhnya bukan titik akhir, melainkan gerbang untuk langkah yang lebih jauh.

Suharyadi, legenda tenis Indonesia, yang kini melatih tim nasional, menyebut pencapaian itu “luar biasa.”

“Ini adalah luar biasa. Di mana Janice merintis dengan bertanding dalam jangka waktu yang cepat, memiliki hasil yang bagus, dan masuk Grand Slam melalui babak kualifikasi hingga berhasil masuk babak utama. Selamat akan masuk di kancah profesional tennis WTA seperti Yayuk Basuki. Luar biasa.”

Soal Janice, saya berbincang khusus dengan Yayuk. Suaranya tenang, seperti seseorang yang telah lama akrab dengan riuh sepi lapangan tenis. Tetapi saya yakin matanya berbinar ketika nama Janice ia sebut. Ada sesuatu di sana, sejenis keyakinan yang jarang muncul dari seorang yang kenyang pengalaman.

“Saya merasa dia akan melesat lebih jauh,” ujar Yayuk. Nadanya semangat, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Lalu, dengan senyum tipis, ia menambahkan, “Teknik yang dia punya sama seperti saya dulu, bahkan lebih lengkap. Dari pukulannya, variasinya, sampai mentalnya di lapangan. Dia punya sesuatu yang bisa membawanya lebih jauh dari yang pernah saya capai.”
 Foto/Dok.Yayuk Basuki

 Foto/Dok.Yayuk Basuki

Pujian itu bukan datang dari seorang yang gampang terpikat. Yayuk bukan tipe yang menabur kata manis kepada sembarang pemain muda. Ia tahu persis: betapa dunia tenis profesional adalah medan yang tak pernah mengenal belas kasihan, tempat setiap angka yang tercatat di papan skor lahir dari disiplin panjang, dari keringat yang menetes pagi hingga senja, dari luka yang sembuh tapi selalu meninggalkan bekas. Maka, ketika ia bicara tentang Janice, ia sesungguhnya sedang menatap cermin masa lalu, hanya saja cermin itu kini memantulkan sosok lain, lebih muda, lebih lengkap, lebih matang.

Janice baginya bukan sekadar penerus. Ia adalah bukti bahwa mimpi yang dulu digenggam Yayuk, meski sempat berhenti di batas tertentu, kini menemukan sayap baru untuk terbang lebih jauh.

Foto/Akhmad Sef/LUDUS.id

Foto/Akhmad Sef/LUDUS.id

Yayuk Basuki, juga membela merah putih dan mengumpulkan medali emas di arena Asian Games, menambahkan bahwa Janice bukanlah kebetulan. Ia sudah matang lewat kompetisi di college, pernah ditempa Suharyadi di Ragunan, terbiasa di turnamen satelit dan challenger, hingga akhirnya siap di level profesional. “Kualitasnya lengkap,” kata Yayuk, “serba bisa, tinggal dipoles.” Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan sekaligus estafet, sebuah warisan yang tak kasatmata.

Saya membayangkan net putih di hadapan Janice. Ia bukan sekadar pita pembatas lapangan. Ia adalah garis sejarah. Garis yang menahan waktu lebih dari dua dekade, akhirnya ditembus lagi. Albert Camus pernah menulis: “Greatness consists in trying to be great.” Kebesaran bukan soal hasil, melainkan keberanian untuk mencoba, melawan waktu, melawan keraguan, melawan sunyi.

Janice adalah catatan penting dalam sejarah olahraga Indonesia. Dari Jakarta ke Pepperdine, dari Ragunan ke New York, dari ASEAN School Games hingga US Open. Perjalanannya mengingatkan kita bahwa olahraga bukanlah kilat. Ia adalah tetes-tetes kecil yang sabar, kerja keras yang berulang, dan keyakinan yang tak goyah.

Foto/Istimewa

Foto/Istimewa

Dan di situlah, barangkali, kita menemukan makna lain. Bahwa Yayuk Basuki, ikon tenis Indonesia, tak pernah benar-benar hilang. Namanya tetap di sana, menjadi bayangan yang justru memberi cahaya. Janice Tjen menulis halaman baru, tapi tetap menyisakan gema lama. Gema itu mengikat masa lalu dan masa kini, dalam benang yang tak terlihat tapi kuat.

Sejarah selalu berulang, tapi tak pernah persis sama. Kini, dalam tiap ayunan raket Janice, kita mendengar bisikan Venus Williams itu kembali: percaya, bahkan ketika tak seorang pun percaya. Karena mungkin, justru di situlah kemenangan bermula.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!