Menyelamatkan Atlet dari Jerat Dualisme: Menpora Erick Thohir Desak KOI dan KONI Tuntaskan Konflik Empat Cabor
Akhmad Sef


LUDUS - Surat itu dikirim dari kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, tanggal 1 Oktober 2025. Sebuah ultimatum. Isinya tegas, tanpa ruang bagi penafsiran ganda: empat cabang olahraga: tenis meja, anggar, tinju, dan sepak takraw, diberi waktu tiga bulan untuk menuntaskan kisruh kepengurusan yang telah bertahun-tahun mencabik tubuh olahraga nasional. Batas akhirnya: Desember 2025. Di balik kalimat diplomatis itu, tersimpan nada keras seorang menteri yang mulai kehilangan sabar melihat potensi bangsa tersandera oleh ego segelintir pengurus.

Erick Thohir, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, tak sedang memainkan retorika. Ia bicara tentang nyawa pembinaan olahraga yang terancam. Tentang para atlet yang gagal mengenakan seragam merah putih di ajang internasional hanya karena dua kepengurusan tak mau duduk satu meja.
“Masalah dualisme ini harus segera diselesaikan. Setelah itu baru kita bisa konsolidasi Desain Besar Olahraga Nasional. Selanjutnya kita bisa bicara mengenai PON, SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade akan seperti apa,” ujarnya, mengutip arah pembenahan yang tak lagi bisa ditunda.

Grafis/Pipis Fahrurizal/LUDUS.id
Di empat cabang olahraga yang menurut surat Kemenpora itu, luka dibiarkan menganga terlalu lama. Tapi sesungguhnya di lapangan, yang terjadi dualisme adalah tenis meja, tinju, anggar, kempo dan tarung campuran. Dalam tenis meja, kekisruhan tak kalah pelik. Tiga bendera organisasi saling klaim sebagai rumah sah para atlet pingpong negeri ini. Ada Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) yang dipimpin Pieter Layardi, kemudian Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) di bawah kepemimpinan Oegroseno, serta satu lagi lembaga tandingan bernama Indonesia Pingpong League (IPL) yang digerakkan oleh Pieter Golose.
Ketiganya berjalan dengan agenda dan legitimasi masing-masing, membuat para atlet muda bingung di bawah bendera siapa mereka seharusnya bernaung. Dalam kebingungan itu, bukan hanya kompetisi yang tersendat, tetapi juga masa depan yang tertunda.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As
Dalam dunia tinju Indonesia, ring bukan hanya tempat bertarung para petinju, tapi juga menjadi arena perebutan legitimasi organisasi. Sejak beberapa tahun terakhir, olahraga yang pernah melahirkan nama-nama besar seperti Pino Bahari itu terjebak dalam dualisme kepengurusan.
Di satu sisi berdiri Pengurus Besar Persatuan Tinju Indonesia (PB Pertina) di bawah kepemimpinan Hillary Brigitta Lasut, yang berafiliasi dengan KONI Pusat dan IBA (International Boxing Association). Di sisi lain, muncul Pengurus Besar Tinju Indonesia (PERBATI) yang dipimpin Ray Zulham Farras Nugraha, dengan dukungan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan World Boxing/IOC.
Rivalitas internal itu membuat atmosfer tinju nasional tak menentu. Kejuaraan resmi tersendat, pelatih dan atlet bingung di bawah bendera siapa mereka bernaung, sementara kesempatan tampil di event internasional pun sering terganjal urusan administrasi federasi. Dalam kebingungan itulah, semangat membangun tinju Indonesia justru sering kalah oleh ego kepemimpinan dan tafsir legitimasi.

Foto/Dok.Boy Pohan
Di tarung campuran, semestinya yang dipertontonkan adalah keberanian dan teknik di dalam oktagon, bukan pertarungan kepentingan di balik meja organisasi. Namun kenyataannya, arena itu kini terbelah dua.
Di satu sisi berdiri Persatuan Tarung Campuran Indonesia (PERTACAMI) di bawah komando Paulus Hermawan Lo, anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) yang juga terdaftar di GAMMA, dan menjadi induk resmi yang menaungi cabang MMA di SEA Games Thailand 2025. Di sisi lain muncul Ikatan Bela Diri Amatir Mixed Martial Arts (IBA-MMA) dengan Ketua Umum Brigjen Pol. Gatot Mangkurat Putra P.J., S.I.K., yang bernaung di bawah KONI Pusat.
Dua bendera, dua legitimasi, dan dua jalur pembinaan yang berjalan sendiri-sendiri, menyisakan atlet di persimpangan. Mereka yang seharusnya bertarung di atas matras kini justru terjebak dalam adu urat di ruang administrasi, sementara cita-cita menuju panggung dunia menunggu di luar pagar dualisme yang belum juga runtuh.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As
Di anggar, pedang tak lagi mengkilap oleh prestasi, melainkan oleh perebutan kursi organisasi. Semua itu menguap menjadi deret panjang kehilangan: kepercayaan publik, regenerasi atlet, dan kesempatan mengibarkan Merah Putih di pentas dunia. Dua kubu kini saling menghunus legitimasi. Di satu sisi, Pengurus Besar Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (PB IKASI) dipimpin oleh Amir Yanto, yang juga tercatat sebagai anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Federasi Anggar Internasional (FIE), serta masih aktif tampil di ajang SEA Games Thailand 2025.
Di sisi lain, ada kepengurusan PB IKASI versi Agus Suparmanto, yang bernaung di bawah dukungan KONI Pusat. Dualisme ini membuat arena anggar Indonesia berubah menjadi gelanggang politik internal. Dua kubu yang sama-sama mengklaim legitimasi, namun justru membuat bilah anggar nasional kehilangan tajamnya.

Dari sepak takraw, sejatinya, tidak ada dualisme di tubuh Pengurus Besar Persatuan Sepak Takraw Seluruh Indonesia (PSTI). Yang ada hanyalah satu arus sah kepengurusan yang kini dipimpin oleh Surianto, hasil Munaslub PSTI 2025.
Namun, perjalanan menuju kejelasan itu tak berjalan tanpa riak. Asnawi, sosok yang sebelumnya menjabat Ketua Umum PB PSTI selama dua periode, menolak berhenti begitu saja. Ia kembali menggelar Munas PSTI di Sukabumi dan menobatkan dirinya untuk ketiga kalinya sebagai ketua umum. Tak lama berselang, ia melayangkan gugatan ke Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia (BAKI), berharap keputusan Munaslub yang mengangkat Surianto bisa dibatalkan.
Sayangnya, langkah itu kandas di awal. Gugatan tersebut tidak diterima oleh BAKI, menandakan bahwa secara hukum olahraga, kubu Asnawi kehilangan pijakan. Namun drama belum usai. Kini, Asnawi mengalihkan gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menempuh jalur hukum umum untuk mencari pembenaran atas klaimnya.

Foto/Dok. NOC Indonesia
Di kempo, semangat shin ken sho bu, bertarung dengan hati yang jernih, seolah terbelah dua. Kini, bukan lagi soal siapa yang paling kuat di atas tatami, melainkan siapa yang berhak memimpin di balik meja organisasi. Semestinya jiwa dan raga bertemu dalam harmoni. Namun kini, harmoni itu terbelah dua. Di satu sisi berdiri Pengurus Besar Persaudaraan Shorinji Kempo Indonesia (PB PERKEMI) yang dipimpin Laksamana Madya TNI (Purn) Prof. Dr. Agus Setiadji, S.AP., M.A., bernaung di bawah KONI Pusat. Di sisi lain muncul Federasi Kempo Indonesia (FKI) di bawah komando Yasonna Laoly, yang terafiliasi dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Pedang bambu yang dahulu mengajarkan kedisiplinan kini seakan terbelah oleh kepentingan. Di tengah perebutan legitimasi itu, nilai-nilai luhur kempo, tentang kehormatan, keseimbangan, dan pengendalian diri, perlahan memudar. Yang tersisa hanyalah gema pertanyaan: siapa yang sesungguhnya bertarung demi olahraga, dan siapa yang bertarung demi kekuasaan?

Foto/PON Bela Diri 2025
Ultimatum Menpora ini bukan sekadar ancaman administratif. Ini adalah bentuk kelelahan negara menghadapi tata kelola yang gagal menempatkan atlet sebagai pusat dari segala kebijakan. “Kami di Kemenpora telah melakukan introspeksi dengan perbaikan tata kelola internal,” kata Erick. “Maka kami ingin KOI, KONI, dan para pengurus federasi olahraga juga bisa melakukan introspeksi masing-masing dan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Karena musyawarah adalah landasan membangun bangsa dan negara.”
Dalam surat resmi yang dikirim ke Ketua Umum KOI dan KONI, Erick meminta kedua lembaga itu mengambil peran strategis: menjadi penengah, memfasilitasi pertemuan, dan mendorong penyelesaian damai tanpa perlu intervensi pemerintah yang lebih jauh. Tapi waktu terus berjalan. Sebulan sudah berlalu sejak surat itu keluar, dan hanya tersisa dua bulan lagi untuk membuktikan bahwa federasi masih punya itikad baik menyelamatkan masa depan atlet mereka sendiri.

Foto/Dok.Kemenpora
Jika sampai akhir Desember 2025 dualisme itu belum tuntas, Kemenpora tak akan tinggal diam. Erick menyiratkan langkah tegas akan diambil, mungkin berupa pembekuan, penunjukan caretaker, atau pengambilalihan sementara.
“Tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan cabang olahraga ini. Jika sampai akhir tahun tidak kunjung tuntas, maka kami di Kemenpora akan mengambil alih dan membuat keputusan untuk menyelamatkan para atlet kita, menyelamatkan prestasi olahraga kita. Sudah terlalu lama para atlet menjadi korban. Maka saya ingatkan kembali kepada para pihak untuk melepaskan kepentingan pribadi dan ego masing-masing demi kejayaan olahraga kita,” tegasnya.

Foto/Dok.Boy Pohan
Di ruang-ruang latihan yang sepi, para atlet barangkali hanya ingin satu hal: kesempatan. Mereka tak peduli siapa yang memimpin federasi, siapa yang duduk di kursi ketua umum, atau siapa yang paling sering muncul di media. Mereka hanya ingin bertanding, mengibarkan bendera, dan mendengar lagu Indonesia Raya di podium tertinggi. Tapi selama para pengurus masih saling berseteru, mimpi itu akan tetap tertahan di pinggir lapangan, tergantung pada siapa yang berani melepaskan ego lebih dulu.
Erick Thohir sudah menyalakan alarm. Desember tinggal menunggu di tikungan. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!





