Selain Padel, Pemprov DKI Kenakan Pajak 10 Persen untuk 21 Fasilitas Olahraga, Inilah Daftarnya
Ludus01

LUDUS - Di tengah geliat gaya hidup sehat yang kian marak di Ibu Kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru menyodorkan kejutan. Melalui Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, sebanyak 21 fasilitas olahraga resmi dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10 persen. Kebijakan ini diberlakukan sejak 20 Mei 2025.

Salah satu yang paling disorot adalah padel, olahraga raket yang tengah naik daun di kalangan masyarakat urban, terutama anak muda Jakarta Selatan. Olahraga ini semula dipandang sebagai alternatif segar antara tenis dan squash, dengan nuansa lebih santai namun tetap kompetitif. Kini, padel justru masuk dalam kategori hiburan yang harus dipajaki.
Pada Sabtu siang, 5 Juli 2025, LUDUS.ID mengonfirmasi hal ini langsung kepada Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta. Dalam keterangan tertulis melalui siaran pers, yang disampaikan oleh Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, Lusiana Herawati, bahwa "lapangan padel termasuk dikenakan pajak daerah sesuai dengan Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025." Penarikan pajak berlaku atas sewa lapangan, tiket masuk, hingga transaksi pemesanan melalui platform digital.

Kebijakan ini bukan hanya menyasar padel. Berikut adalah daftar lengkap fasilitas olahraga yang kini masuk objek pajak hiburan 10 persen di Jakarta:
- Tempat kebugaran (fitness center)
- Tempat yoga, pilates, zumba
- Lapangan futsal/sepak bola/mini soccer
- Lapangan tenis
- Kolam renang
- Lapangan bulu tangkis
- Lapangan basket
- Lapangan voli
- Lapangan tenis meja
- Lapangan squash
- Lapangan panahan
- Lapangan bisbol/sofbol
- Lapangan tembak
- Tempat boling
- Tempat biliar
- Tempat panjat tebing
- Tempat ice skating
- Tempat berkuda
- Tempat sasana tinju/beladiri
- Tempat atletik/lari
- Jetski
- Lapangan padel
Penyedia jasa fasilitas komersial tersebut wajib memungut dan menyetorkan PBJT sebesar 10 persen dari tarif yang dibebankan ke konsumen.
Di atas kertas, pemerintah menyebut pajak ini sebagai bagian dari optimalisasi pendapatan daerah. Tapi bagi para pelaku usaha dan warga kota yang menggantungkan kesehatannya pada akses olahraga, ini terasa seperti langkah mundur.

“Jujur aja, saya nggak setuju tempat olahraga kayak lapangan tenis kena pajak 10%. Olahraga itu buat jaga kesehatan, bukan gaya hidup mewah. Harusnya difasilitasi, bukan dibebani. Kalau makin mahal, yang rugi masyarakat juga. Mau hidup sehat tapi malah dibatasi biaya. Bukannya pemerintah pengen rakyatnya sehat? Jadi, tolong deh, pikir ulang kebijakan ini ,” keluh Orich Abbe Ardiansyah, Co Founder Thunders Tennis Club, yang juga mengelola lapangan Cibinong Tennis Center.
Kritik serupa bermunculan di media sosial. Banyak yang mempertanyakan logika di balik penggolongan olahraga sebagai hiburan. Bukankah yoga lebih dekat pada terapi jiwa? Bukankah zumba menjadi sarana sosial dan pelepasan stres?

Di balik semua ini, pertanyaan yang lebih dalam menggema: jika olahraga dikenai pajak karena dianggap hiburan, lantas bagaimana dengan golf?
"Golf sudah dipungut pajak PPN oleh pemerintah pusat,"
Golf, olahraga eksklusif dengan biaya tinggi, justru tidak dikenakan pajak hiburan. Ini karena golf dianggap sebagai jasa komersial, bukan hiburan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2022.
Sebelumnya golf menjadi salah satu cabang olahraga yang dikenakan pajak hiburan sekaligus pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, pada prinsipnya, pajak tak bisa berlaku ganda terhadap objek yang sama. Oleh sebab itu, pajak hiburan golf digugat oleh asosiasi pemilik lapangan golf hingga terbit Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2012 yang menyatakan layanan lapangan dan peralatan golf bukan objek pajak hiburan

Padahal, pajak hiburan bukanlah hal baru. Ia sudah diatur sejak 1997 lewat UU Nomor 19 Tahun 1997. Pajak, dalam pengertian filosofis, adalah bentuk gotong royong warga negara untuk membiayai pembangunan dan penyelenggaraan negara. Objek pajak daerah umumnya adalah konsumsi atas barang atau jasa, termasuk hiburan, serupa dengan PPN yang dipungut pemerintah pusat.
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberi contoh objek Pajak Hiburan secara eksplisit: tontonan film, pagelaran musik, diskotek, permainan biliar, pacuan kuda, panti pijat, pusat kebugaran, hingga pertandingan olahraga. Perda DKI Jakarta Nomor 13 Tahun 2010, yang telah diubah melalui Perda Nomor 3 Tahun 2015, juga menyebutkan jenis olahraga permainan seperti renang, tenis, squash, dan futsal sebagai objek pajak.
Jadi sebenarnya, olahraga permainan sudah lama dikenai pajak hiburan. Adem ayem, tanpa kegaduhan.
Perubahan nomenklatur baru muncul melalui UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pemerintah mengelompokkan ulang jenis pajak daerah agar lebih adil. Maka lahirlah istilah PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu), yang mencakup jasa makanan/minuman, tenaga listrik, hotel, parkir, dan jasa hiburan.
Dalam klasifikasi PBJT, hiburan yang sifatnya mewah dikenai tarif tinggi 40-75 persen. Namun hiburan yang dinikmati masyarakat luas, seperti olahraga permainan, hanya dikenai tarif 10 persen, bahkan lebih rendah dari PPN.

Pemprov DKI Jakarta melalui Perda Nomor 1 Tahun 2024 mengatur olahraga permainan sebagai bentuk persewaan ruang dan alat olahraga yang dikenai bayaran, seperti tempat kebugaran, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya. Surat Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025 hanya merinci jenis-jenis olahraga permainan yang masuk objek pajak PBJT demi menciptakan kepastian dan keadilan.
Hingga kini, sudah ada tujuh lapangan padel yang terdaftar sebagai wajib pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sejak 2024. Artinya, padel bukan sedang disasar tiba-tiba, melainkan sedang diperlakukan setara dengan jenis olahraga lainnya.
Lebih lanjit, Lusiana Herawati, menyatakan dalam siaran persnya, bahwa pemungutan pajak ini harus dilihat dari prinsip keadilan dan transparansi.
"Yang paling utama, pemungutan pajak ini dilakukan secara adil dan transparan. Dan uang pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik,” ujarnya.

Bagi sebagian orang, padel hanyalah olahraga akhir pekan. Tapi bagi sebagian lainnya, ini adalah perpanjangan hidup. Yoga, futsal, hingga panjat tebing telah menjadi bagian dari mekanisme bertahan hidup masyarakat urban yang dibesarkan oleh tekanan, polusi, dan kemacetan. Kini, semua itu resmi tercatat sebagai hiburan. Dan seperti semua hiburan lainnya: dikenai pajak.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, pelaku usaha olahraga di DKI Jakarta diimbau segera menyesuaikan sistem pemungutan dan pelaporan pajaknya sesuai ketentuan terbaru dari Bapenda. (*)
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!