Warisan Cinta Eka Putra Wirya: Museum Catur Indonesia yang Tak Diwariskan ke Anak, Tapi untuk Bangsa

Ludus01

“Ada yang membangun museum untuk dikenang. Tapi ada pula yang membangun museum agar orang lain tak perlu lupa.”

Di atas papan 64 petak itu, kita sering terpukau oleh langkah ratu dan benteng. Tapi catur bukan hanya tentang bidak yang bergerak. Ia juga tentang tangan yang mengajarkan gerak itu. Tentang seseorang yang tak duduk di depan kamera, tak berdiri di podium, tapi mengangkat wajah-wajah muda untuk sampai ke sana. Seseorang seperti Eka Putra Wirya.

Nama Eka barangkali tak muncul dalam siaran langsung Olimpiade, tak disebut-sebut dalam linimasa saat medali emas catur SEA Games datang, tak tertulis di headline saat Irene Kharisma atau Susanto Megaranto mencetak sejarah. Tapi justru di sanalah letak artinya.

Eka adalah seorang pengusaha. Lulusan Universitas Trisakti Jakarta. Ia membangun Ekatama Group dari titik nol: dari menjual alat-alat industri dan hydraulic tools, hingga memimpin perusahaan teknik berskala nasional, hingga internasional. Hidupnya dikepung angka, neraca, dan jadwal rapat. Tapi di sela itu semua, ia menyimpan papan 64 petak yang tak pernah ia tinggalkan. Bukan sebagai pemain profesional, tapi sebagai pecinta, pembina, dan perawat.

Ia mendirikan Sekolah Catur Enerpac, yang kini berubah nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA), bersama dua sahabat yang telah menemaninya dalam perjalanan panjang dunia catur: Grand Master Utut Adianto dan Kristianus Liem. Tiga sahabat ini berbagi keyakinan yang sama, bahwa catur bukan sekadar permainan, tapi wadah pendidikan karakter dan intelektual. SCUA menjadi tempat di mana grandmaster Indonesia dibesarkan bukan oleh sorak penonton, melainkan oleh sistem latihan yang sabar. Ketika bisnisnya tumbuh, ia tak mengganti cintanya. Ia justru memperluasnya: dengan SCUA, dan akhirnya, dengan Museum Catur Indonesia.

Museum itu berdiri tenang di Bekasi. Bukan di tengah kota, bukan pula di halaman istana. Tapi di sisi gedung sederhana yang puluhan tahun dikenal anak-anak sebagai rumah catur. Tak ada kubah emas. Tak ada pintu berputar. Hanya rak-rak penuh papan tua, potret para grandmaster, dan kursi kecil tempat anak-anak dulu duduk merenungi langkah.

Orang mungkin bertanya: untuk apa membangun Museum Catur?
Dan pertanyaan itu, sebenarnya adalah pintu masuk untuk mengenal Eka Putra Wirya.

Museum itu bukan proyek warisan. Kedua anaknya, Christian Aditya Wirya dan Nita Nathania Wirya, tidak menjadi pecatur. Tak satu pun dari mereka melanjutkan SCUA. Tapi Eka tak pernah mempermasalahkan itu. Ia tahu, cinta tak selalu diturunkan melalui darah. Ia bisa diwariskan ke bangsa.

Dan museum itu, adalah bentuk warisan itu, untuk negeri bernama Indonesia!

Bagi Eka, museum bukan sekadar tempat menaruh benda. Ia adalah penyimpan perjalanan, bukan perjalanan orang lain, melainkan perjalanan hidupnya sendiri. Di dalamnya tersimpan jejak-jejak dirinya sebagai pengusaha yang tahu benar bahwa setiap bangunan besar selalu lahir dari fondasi kecil yang tak terlihat, dan sering kali dilupakan. Tersimpan pula batin seorang pecinta catur, yang memahami bahwa olahraga ini bukan hanya tentang strategi atau kemenangan, melainkan latihan panjang dalam berpikir, bersabar, dan menerima kekalahan dengan kepala tegak.

Dan lebih dari itu, museum itu menyimpan cerita sejarah bangsanya sendiri, sebuah bangsa dengan anak-anak cerdas, penuh potensi, namun kerap tidak diberi panggung. Ia ingin papan-papan tua, foto-foto lama, dan potongan kisah yang disusun di museum itu menjadi jembatan antara masa lalu yang pelan dan masa depan yang semoga lebih adil.

“Saya tahu museum ini tak langsung akan ramai. Tapi saya ingin, jika satu anak datang dan belajar, itu cukup,” katanya dalam satu percakapan.

Museum itu bukan soal jumlah pengunjung. Tapi soal makna yang disisihkan dari hidup yang padat.

Dalam dunia bisnis, Eka membangun pabrik dan distribusi. Tapi dalam dunia catur, ia membangun pengingat, bahwa berpikir itu penting. Bahwa ingatan bisa dipelihara. Bahwa sebuah papan bisa mengubah hidup seseorang.

Museum itu, sejatinya, adalah dirinya sendiri yang dicetak dalam dinding dan rak-rak. Ia tidak monumental. Tapi ia bernapas pelan-pelan seperti kepercayaan yang tak pernah padam. Tersimpan pula batin seorang pecinta catur, yang memahami bahwa olahraga ini bukan hanya tentang strategi atau kemenangan, melainkan latihan panjang dalam berpikir, bersabar, dan menerima kekalahan dengan kepala tegak.

Museum itu sendiri, diam, tapi bercerita.

Ia tidak hanya menyimpan barang-barang tua. Ia adalah rumah pembelajaran yang lembut, tempat nilai-nilai hidup diselipkan di antara rak dan papan. Di sana, anak-anak bisa mengenal catur bukan hanya sebagai permainan, tapi sebagai jalan berpikir, cara membaca kemungkinan, dan seni bertahan di tengah serangan. Di sana pula catur dirawat sebagai budaya, bukan sekadar olahraga: ada catur bermotif Bali, Sunda, Jawa, hingga gaya Rusia. Ada papan tua, jam pasir, dan evolusi alat hitung waktu yang kini berubah digital.

Dan ada pula diorama sejarah: wajah-wajah Grandmaster Indonesia, jejak juara dunia, hingga silsilah para ketua umum PB Percasi dari masa ke masa. Bahkan permainan kuno seperti Hnefatafl dari Eropa Utara pun diabadikan, seolah museum ini bukan hanya berbicara kepada Indonesia, tapi kepada dunia yang lebih luas.

Museum ini, secara halus dan tenang, ingin membisikkan pada siapa pun yang singgah: bahwa catur bukan hanya olahraga, tapi cara hidup.

Dan lebih dari itu, museum itu menyimpan cerita sejarah bangsanya sendiri, sebuah bangsa dengan anak-anak cerdas, penuh potensi, namun kerap tidak diberi panggung. Ia ingin papan-papan tua, foto-foto lama, dan potongan kisah yang disusun di museum itu menjadi jembatan antara masa lalu yang pelan dan masa depan yang semoga lebih adil.

Warisan tak selalu berjalan di garis bidak; anak-anaknya memilih jalan hidup tanpa kotak hitam-putih.

Dua anaknya, Christian dan Nita, tak duduk di depan papan catur. Tapi bukan berarti mereka meninggalkan jejak ayahnya. Mereka hanya memilih jalan yang lain, jalur yang mungkin tak hitam-putih, tapi tetap menyimpan napas yang sama.

Sebagai generasi ketiga Ekatama Group, Christian Aditya Wirya, putra pertama Eka Putra Wirya tak terjun langsung ke dunia catur. Foto/ludus.id

Sebagai generasi ketiga Ekatama Group, Christian Aditya Wirya, putra pertama Eka Putra Wirya tak terjun langsung ke dunia catur. Foto/ludus.id

Christian, generasi ketiga Wirya, kini memimpin Ekatama Group, menjaga agar perusahaan yang dibangun dengan peluh itu tetap hidup dan bergerak bersama ratusan karyawannya. Sementara Nita, adiknya, selain menjadi direktur akuntansi di grup usaha sang ayah, juga merintis sebuah kafe kecil di sisi museum, tempat duduk, menyeruput kopi, dan mungkin, diam-diam, mengingat.

"Hidup bukan tentang mewariskan apa yang kita miliki, tetapi tentang menanamkan apa yang kita yakini."
— Paulo Coelho

Yang menarik, dan barangkali justru menyentuh dengan cara yang tidak disangka, adalah bahwa tak satu pun dari anak-anaknya meneruskan dunia catur. Tapi di samping museum itu berdiri sebuah kafe kecil, yang tetap menyimpan napas ayah mereka: Tutur Kafe, memberikan nama kafenya bernapaskan catur, seperti sisa ingatan yang enggan benar-benar pergi.

Nita Nathania Wirya, anak kedua Eka Putra Wirya, selain menjadi Direktur Akuntansi, juga mendirikan kafe Tutut di sebelah Museum Catur Indonesia. Foto/ludus.id

Nita Nathania Wirya, anak kedua Eka Putra Wirya, selain menjadi Direktur Akuntansi, juga mendirikan kafe Tutut di sebelah Museum Catur Indonesia. Foto/ludus.id

Tak satu pun dari mereka ikut mengurus SCUA, atau mengajarkan strategi pembukaan Spanyol atau pertahanan Sisilia.

Anaknya mungkin tak ikut membina atlet, tapi ia memberi ruang untuk catur tetap hadir dalam hidup, meski sebagai latar, bukan panggung. Dan Eka, barangkali tak butuh lebih dari itu.

“Saya tak pernah ingin memaksa mereka mencintai yang sama. Tapi saya senang melihat mereka menghormati apa yang pernah membentuk saya,” katanya pelan.

Tak satu pun dari mereka menjadi pecatur. Tak satu pun yang melanjutkan kerja-kerja SCUA. Tapi Eka tidak kecewa. Karena yang ia wariskan bukan hobi, bukan profesi, tapi cinta.

Ia tahu: cinta tak harus diwariskan ke anak. Ia bisa diwariskan ke negeri.

Museum dan kafe. Yang satu adalah monumen sebagai ingatan kolektif, yang satu lagi adalah ruang pertemuan kecil untuk generasi baru yang tak terburu-buru.

Keduanya lahir bukan dari strategi bisnis. Tapi dari jalan hidup yang tak disusun rapi, melainkan dijalani dengan pelan-pelan dan kesetiaan.

Dan Eka Putra Wirya, dalam diam, tahu satu hal penting: apa yang tidak diwariskan ke anak, kadang bisa bertahan lebih lama di bangsa.

“Chess is life in miniature. Chess is a struggle, chess is battles.”
—Garry Kasparov

Catur adalah kehidupan dalam skala kecil. Catur adalah perjuangan, catur adalah pertarungan. Eka Putra Wirya tidak sedang membangun mausoleum. Ia sedang menyusun waktu yang pernah ia lewati, agar orang lain bisa memungut jejaknya. Ia tidak ingin dikenang. Tapi ia ingin catur, dan segala nilai sabarnya, tidak dilupakan.

Dan dalam dunia yang serba tergesa dan terlalu suka membuang, apa yang lebih radikal dari membangun tempat untuk mengingat?

Eka Putra Wirya, kini berusia 65 tahun. Usia di mana banyak orang mulai berhenti, tapi ia justru membangun ruang agar lebih banyak orang memulai.

Bersama Rini Anggraini, istrinya, yang selalu mendukung kiprah Eka Putra Wirya di dunia catur. Foto/ludus.id

Bersama Rini Anggraini, istrinya, yang selalu mendukung kiprah Eka Putra Wirya di dunia catur. Foto/ludus.id

Sebab di balik semua itu, ada pula Rini Anggraini, istrinya, yang berjalan bersamanya sejak langkah-langkah awal. Ia bukan hanya saksi, tapi penopang diam yang merawat cinta itu tetap menyala, bahkan ketika tak ada tepuk tangan.

Karena mungkin, dalam kisah seorang Eka Putra Wirya, kita bisa melihat cermin: bahwa yang kita bangun dalam diam, bisa jadi suluh bagi banyak orang.

Dan bangsa ini, tak kekurangan cinta. Ia hanya perlu lebih banyak yang mewariskannya. Dari seseorang yang tak hanya memindahkan bidak catur, tapi, juga, yang menggerakkan ekosistem.

“Chess is life in miniature.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!