Yusma Deswita dan Debut di Pertandingan Internasional: Kisah Perebutan Perunggu 53kg Freestyle ISG 2025
Akhmad Sef


LUDUS - Di Boulevard Arena Riyadh, yang hiruk-pikuknya menyerupai desir tak terlihat dari ribuan harapan, Yusma Deswita melangkah ke matras seolah masuk ke sebuah cerita yang belum pernah ia baca sebelumnya. Ada nama besar Islamic Solidarity Games 2025 di atas kepalanya, ada lawan-lawan dari negeri-negeri jauh yang hanya pernah ia dengar dari laporan pertandingan, dan ada degup jantung yang tak mau berkompromi: lebih cepat, lebih keras, lebih jujur.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Pertemuannya dengan Sokhida Akhmedova dari Uzbekistan di kelas 53kg freestyle putri, seperti membuka bab pertama yang pahit. Skor 0–4 membuat langkahnya terhenti. Tapi meski kalah, sistem repechage di gulat memberinya peluang untuk tetap memperebutkan medali perunggu, setelah Akhmedova menang atas Aruuke Kyzy di semifinal.
Ia masuk ke perebutan medali perunggu melawan Kyzy, menghadapi tubuh asing yang mengunci, menekan, dan memaksa setiap inci kekuatan yang ia bawa dari Sumatera Barat. Yusma mencoba mengembalikan tekanan, menggulung, menahan, mencari celah yang tak kunjung muncul. Skor 0–3 menutup perjuangannya, seperti napas panjang yang harus diterima tanpa keluh meski terasa perih.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
“Awalnya saya kalah, tapi karena lawan saya menang di pertandingan lain, saya mendapat kesempatan lagi untuk memperebutkan medali perunggu. Ini pertandingan internasional pertama saya, jadi nervous banget. Baru pertama kali lawan atlet dari negara lain, jadi pengalaman ini benar-benar baru dan luar biasa bagi saya,” ujarnya, suaranya campuran lega dan kecewa, seperti seseorang yang baru saja selesai mendaki bukit yang lebih terjal dari perkiraannya.
Yusma tahu betul apa yang kurang dari dirinya. Ia menyebutnya tanpa ragu: kekuatan fisik. Ia mengakui atlet dari negeri-negeri lain itu punya ritme berbeda, densitas berbeda, dan pengalaman yang membuat mereka tampak lebih kokoh saat benturan terjadi. “Kalau melihat lawan-lawan tadi, saya menyadari masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki di latihan, terutama soal kekuatan fisik. Dengan latihan yang lebih rajin, insya Allah saya bisa bersaing suatu hari nanti. Saya pribadi yakin, kalau latihan dan disiplin terus, suatu hari saya bisa ikut bersaing di level mereka,” katanya.
Ia tak menyalahkan siapapun ketika beberapa gerakan gagal, ketika kunci lawan membuat tubuhnya tak bergerak. “Saat pertandingan, arahan pelatih sangat membantu, meski beberapa gerakan saya sempat gagal dan lawan berhasil mengunci saya. Saat itu, saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena terkunci,” ucapnya. Pernyataannya jujur, nyaris polos, seperti seorang atlet yang baru saja mengetahui betapa luas dunia sebenarnya.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Tim Indonesia kini menunggu dua wakil lain yang akan naik ke matras: Varadisa Septi Putri Hidayat di kelas 76kg freestyle dan Desi Sinta di kelas 68kg freestyle. Di balik langkah mereka, ada gema kecil dari perjuangan Yusma: bahwa debut bukan sekadar permulaan, melainkan sebuah ruang di mana seseorang diuji bukan oleh lawan, melainkan oleh dirinya sendiri.
Dan di matras Riyadh itu, Yusma Deswita telah melewati ujian pertamanya, bukan dengan medali, tapi dengan kejelasan tentang apa yang harus dikejar. Kadang, itu jauh lebih penting.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!





