Bapak Cabang Olahraga Indonesia: Di Balik Prestasi Dunia, Ada Nama yang Tak Dicetak!

“A leader is best when people barely know he exists. When his work is done, his aim fulfilled, they will say: we did it ourselves.”
— Lao Tzu

Edisi perdana, LUDUS.ID memilih 5 tokoh dari 5 cabang olahraga atletik, sepak bola, pencak silat, catur dan bulu tangkis (Desain grafis: Pipis Fahrurizal/ludus.id)
Lao Tzu—filsuf besar dari Tiongkok kuno, dianggap sebagai bapak Taoisme—percaya bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tak memaksakan kehendak, tak mencari tepuk tangan, dan tak mengikatkan nama pada setiap keberhasilan. Bagi Lao Tzu, pemimpin terbaik adalah yang kehadirannya nyaris tak terasa, tapi hasil kerjanya menjelma menjadi kemampuan dan kepercayaan diri orang-orang yang ia tuntun. Lao Tzu, filsuf dari masa yang jauh sebelum kita mengenal makna “bangsa” dan “negara”, pernah menulis sesuatu yang hari ini terdengar seperti paradoks:
“Pemimpin terbaik adalah dia yang nyaris tak terlihat keberadaannya. Saat pekerjaannya selesai, tujuannya tercapai, orang-orang akan berkata: kami melakukannya sendiri.”
Tentu, ia tak sedang bicara tentang pemimpin yang pasif atau absen. Tapi tentang mereka yang memilih surut agar orang lain bisa tumbuh. Mereka yang paham bahwa keberhasilan sejati bukan tentang siapa yang dipuji, tapi tentang siapa yang ditumbuhkan.
Dalam olahraga, kita terbiasa melihat podium. Medali yang tergantung di leher. Sinar kamera. Teriakan kemenangan. Namun tak semua yang membentuk sejarah berdiri di sana. Ada yang bekerja dalam diam. Menyusun sistem. Menyalakan obor. Menentukan arah.
Ia tahu rasa pahit saat atlet muda kehilangan arah. Ia mengerti betapa sulitnya mengubah kultur yang usang. Tapi ia juga paham di mana harus menanam harapan—dan kepada siapa tongkat estafet itu layak diberikan.
Di negeri yang penuh bakat tapi kerap kehilangan peta, muncul satu sosok yang dijuluki Bapak Olahraga Indonesia. Ia tidak menulis sejarah dengan huruf besar. Ia tidak tampil di talkshow. Tapi ia tahu betapa getirnya mencetak juara dalam sistem yang goyah. Ia melihat sendiri bagaimana seorang atlet muda bisa tumbuh atau hancur—hanya karena tidak ada satu tangan pun yang menuntunnya.
Ia bukan pembicara. Ia penyimak. Ia bukan penentu panggung. Ia pengatur ruang. Dan di ruang itulah ia mulai menyebut nama-nama. Bukan karena popularitas. Tapi karena kontribusi.
Maka, pertanyaannya berubah. Siapa tokoh terbesar dalam sebuah cabang olahraga? Apakah mereka yang namanya dielu-elukan di arena, atau mereka yang bahkan tak duduk di bangku penonton, tapi jejaknya terasa dalam setiap langkah atlet?
Kita mengenal banyak wajah dalam olahraga. Tapi hanya sedikit yang membentuk arah. Yang diam-diam menjaga agar roda tetap berputar. Yang tahu bahwa membangun prestasi bukan sekadar latihan, tetapi soal visi, keberanian, dan kesetiaan terhadap nilai yang kadang tak laku dijual.
Tokoh-tokoh ini tak berdiri di garis depan. Tapi kehadirannya menjalar—di ruang rapat, di pelatnas, di tengah malam saat strategi dibentuk. Ia hadir sebagai kompas. Tak memaksa. Tak mengarah. Tapi menunjukkan kemungkinan.
Dan kini, sang bapak berbicara. Bukan lewat deklarasi besar atau kampanye. Tapi lewat isyarat yang tenang—menunjuk siapa yang menurutnya layak disebut sebagai pilar dalam cabang olahraga masing-masing.
Ia tidak memilih yang paling keras suara. Tidak pula yang paling gemerlap nama. Ia menyaring mereka yang menyisakan bekas: di podium, di pelatihan, di hati para atlet yang mereka bentuk.
Karena nama-nama ini, menurutnya, bukan sekadar tokoh. Mereka adalah mercusuar. Penanda zaman. Sumber inspirasi—bagi atlet muda yang baru pertama kali menyentuh lantai pelatnas, dan bagi bangsa yang masih mencari makna bangga.
Tulisan ini bukan daftar. Ini semacam deklarasi. Bahwa di balik sorak dan selebrasi, ada kerja sunyi yang harus dihargai. Bahwa olahraga bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi siapa yang membangun makna dari kemenangan itu.
Maka tulisan ini tak menawarkan sorotan. Ia mengajak kita menimbang ulang:
Siapa yang seharusnya kita ingat. Siapa yang pantas kita hormati. Karena para tokoh itu—tak ingin dikenang. Tapi justru karena itulah, mereka tak bisa dilupakan.
Mereka bukan selebritas. Mereka adalah fondasi. Dan lewat mata sang Bapak, kita melihat mereka. Bukan karena ia ingin menunjuk, tapi karena kita kadang lupa melihat.
Bapak Cabang Olahraga Indonesia adalah sosok yang bekerja di balik layar, merancang sistem pembinaan yang kokoh, dan memastikan prestasi olahraga Indonesia berkembang dengan berkelanjutan. Ia bukan pencari panggung, tetapi pemimpin yang lebih memilih memberi ruang bagi atlet dan pelatih untuk tumbuh. Dengan keputusan-keputusan strategis yang sering tak tampak, ia membangun fondasi yang kuat bagi olahraga Indonesia, mengutamakan integritas dan kesetiaan terhadap tujuan jangka panjang.
Dalam diam, ia menuntun arah—bukan dengan sorotan, tetapi dengan visi yang jelas dan kontribusi yang mendalam. Ia adalah figur yang membentuk ekosistem olahraga Indonesia, mencetak prestasi, dan menyemai harapan untuk generasi mendatang.
Pada edisi kali ini, LUDUS.ID menyebut dan memilih lima di antaranya. Bukan sebagai akhir. Tapi sebagai awal untuk melihat sejarah dengan lebih jujur. Mereka adalah:

Bob Hasan: Bapak Atletik Indonesia
“Ia tidak pernah lari di lintasan, tapi dialah yang membangun lintasan itu untuk Indonesia berlari lebih jauh.”
Di antara sorak sorai stadion dan derap langkah atlet di garis start, nama Bob Hasan berdiri tenang. Bukan sebagai atlet. Bukan pula pelatih. Tapi sebagai sosok yang membangun ekosistem atletik Indonesia dari nol menjadi kebanggaan Asia Tenggara. Ia tidak pernah lari di lintasan, tapi dialah yang membangun lintasan itu untuk Indonesia berlari lebih jauh.
Ketika banyak orang memilih cabang olahraga yang ramai penonton dan penuh pujian, Bob Hasan justru memilih atletik—olahraga dasar yang sering luput dari sorotan, padahal fondasinya semua olahraga ada di situ: berlari, melompat, melempar.
Sebagai Ketua Umum PB PASI selama lebih dari 40 tahun (1973–2020), Bob Hasan adalah contoh nyata komitmen jangka panjang yang nyaris tak tertandingi. Ia tidak hanya membina, tapi membiayai, mengorganisir, dan menciptakan sistem berkelanjutan. Ia membangun pelatnas, mendatangkan pelatih asing, menyekolahkan atlet ke luar negeri, dan mendesain regenerasi tanpa henti.
Di masa kepemimpinannya, lahirlah nama-nama besar seperti Mardi Lestari, Purnomo, Triyaningsih, Maria Natalia Londa, dan tentu saja, Lalu Muhammad Zohri, yang membawa Indonesia mencuri perhatian dunia di Kejuaraan Dunia Atletik U-20 tahun 2018, saat menjuarai nomor 100 meter.
Apa yang membuat Bob Hasan berbeda? Ia tidak hanya mengurus atletik—ia merawatnya seperti keluarga. Ia tidak peduli popularitas, tidak mengejar panggung. Ia hanya ingin melihat Merah Putih berkibar di stadion internasional, dan tahu betul bahwa semua itu dimulai dari keringat atlet-atlet muda yang dibina dari desa-desa terpencil.
Bob Hasan lahir di Semarang, 24 Februari 1931. Masa kecilnya dijalani sebagai anak angkat seorang perwira militer, yang membentuk kedisiplinan dan pandangan strategis dalam hidupnya. Selepas kemerdekaan, Bob masuk ke dunia usaha—terutama di sektor kehutanan—dan menjelma menjadi taipan kayu yang berpengaruh pada era Orde Baru. Ia dekat dengan Presiden Soeharto dan masuk dalam lingkaran elite bisnis-politik Indonesia.
Namun, warisan terbesarnya bukan di hutan industri, melainkan di lintasan atletik. Di dunia olahraga, Bob Hasan adalah figur sentral yang tak tergantikan. Ia bukan hanya tokoh nasional, tapi juga dikenal dan dihormati di lingkup internasional. Selama hampir setengah abad, ia berdiri sebagai pilar utama pembinaan atletik Indonesia, sekaligus menjalin pengaruh di berbagai organisasi olahraga dunia.
Sebagai Ketua Umum PB PASI, Bob Hasan memimpin dengan keteguhan, visi panjang, dan konsistensi yang langka. Ia menjabat selama hampir setengah abad—sebuah rekor luar biasa yang menjadikannya salah satu pemimpin federasi olahraga dengan masa jabatan terpanjang di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.
Pada tahun 1998, Bob sempat menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan VII era Presiden Soeharto. Masa jabatannya singkat, hanya sekitar tiga bulan, karena badai reformasi segera menggulung Orde Baru.
Tapi, ia tetap kembali ke dunia atletik dengan semangat yang sama, seolah tak pernah pergi. Dunia olahraga adalah rumah yang selalu ia jaga, bahkan saat badai menerpa.
Tak hanya di dalam negeri, Bob Hasan juga menorehkan pengaruhnya di level dunia. Ia dipercaya menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC)—sebuah posisi bergengsi yang hanya segelintir orang Indonesia pernah duduki. Dari sana, ia membawa suara Indonesia ke panggung global, dan membuka jalan agar atletik tanah air ikut diperhitungkan.
Ia juga menjabat sebagai anggota Dewan Eksekutif Olympic Council of Asia (OCA), badan yang menentukan arah kebijakan olahraga se-Asia. Peran ini memperkuat jejaringnya dan memosisikan Indonesia sebagai bagian penting dalam percaturan olahraga kawasan.
Sebagai Wakil Presiden Asian Athletics Association (AAA), Bob mempertegas peran Indonesia dalam percaturan atletik Asia. Ia tidak sekadar hadir dalam rapat dan kongres, tapi aktif membentuk arah pembangunan atletik di kawasan.
Puncaknya, ia mendapat kehormatan sebagai Anggota Kehormatan IAAF (kini World Athletics)—pengakuan simbolis dari dunia internasional atas dedikasinya terhadap atletik. Sebuah penghargaan yang tak bisa dibeli, hanya bisa diraih oleh mereka yang benar-benar mengabdi.
Dengan semua itu, Bob Hasan tak hanya membangun atletik Indonesia dari dalam, tapi juga menancapkan bendera Merah Putih di peta olahraga dunia. Sebuah warisan yang tak hanya panjang, tapi dalam.
Bob Hasan wafat pada 31 Maret 2020 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta, dalam usia 89 tahun. Ia meninggal karena penyakit kanker paru-paru. Tapi bahkan hingga beberapa bulan sebelum kepergiannya, ia masih memantau latihan atlet, termasuk persiapan menuju Olimpiade Tokyo 2020.
“Saya ingin lihat Indonesia punya satu juara dunia di atletik. Bukan mimpi. Kita hanya perlu kerja keras, pembinaan, dan percaya proses,” katanya dalam sebuah wawancara terakhir sebelum sakit.
Lebih dari sekadar jabatan, warisan Bob Hasan adalah sistem pembinaan jangka panjang yang konsisten dan menyeluruh. Di dunia olahraga yang kadang hanya mengejar gemerlap hasil instan, Bob Hasan membuktikan bahwa prestasi sejati dibangun dengan kesabaran, visi, dan cinta.
Ia memang tidak pernah berlari di lintasan itu. Tapi tanpa lintasan yang ia bangun, Stadion Madya Senayan, mungkin tak ada yang bisa berlari sejauh ini. Di balik setiap garis start yang dilintasi atlet Indonesia, di balik setiap podium yang ditapaki, ada jejak kerja seorang Bob Hasan—tokoh yang tak pernah berhenti berlari, bahkan ketika tubuhnya telah berhenti bernapas.
Mengapa Bob Hasan Terpilih:
- Pembinaan Total: Membangun pelatnas, mencetak juara dari level daerah hingga dunia.
- Regenerasi Berkelanjutan: Atletik tak pernah kehabisan talenta selama ia memimpin.
- Kepemimpinan Visioner: 47 tahun memimpin PASI dengan dedikasi penuh—bukan sekadar jabatan, tapi pengabdian.
- Pengaruh & Legacy: Meninggalkan sistem pembinaan yang tetap berjalan bahkan setelah ia tiada.
- Mentalitas Juang: Diam-diam bekerja keras. Tidak mengejar nama, tapi meninggalkan nama besar.

Dick Sudirman: Bapak Sepak Bola Indonesia
“Ia bukan sekadar legenda lapangan—ia adalah nama yang terus hidup di podium juara dunia.”
Dalam sejarah bulu tangkis Indonesia yang penuh kejayaan, nama-nama besar datang dan pergi. Tapi ada satu nama yang tak pernah hilang dari percakapan dunia: Sudirman. Ia bukan hanya pionir. Ia bukan hanya juara. Ia adalah penanda zaman, dan penanda jalan.
Di era awal kemerdekaan, saat Indonesia baru mencari jati dirinya, Dick Sudirman tampil sebagai sosok yang menjadikan bulutangkis bukan sekadar hiburan, tapi simbol perlawanan. Sebagai pemain, ia adalah andalan nasional di tahun-tahun pertama Indonesia bersaing di pentas internasional. Tapi warisan sejatinya lahir setelah raketnya ia gantung.
Ia menjadi Ketua Umum PBSI pertama yang benar-benar membangun sistem. Di bawah kepemimpinannya, bulu tangkis Indonesia tidak hanya mencetak juara, tapi mencetak generasi emas—mulai dari pelatih, struktur kompetisi, hingga manajemen pembinaan yang profesional.
Dan karena kontribusinya luar biasa, dunia pun mengakui. Pada tahun 1989, Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menetapkan turnamen baru: Piala Sudirman—ajang beregu campuran dunia yang menggunakan namanya. Sebuah kehormatan langka. Bayangkan—tak banyak bangsa yang punya cabang olahraga dengan turnamen dunia yang dinamai dari tokoh mereka sendiri.
Itu bukan sekadar penghargaan. Itu adalah pengakuan internasional bahwa Sudirman bukan hanya tokoh Indonesia—tapi tokoh dunia.
Sudirman tidak menuntut dikenang—tapi warisannya memaksa dunia untuk tak melupakannya. Ia adalah alasan mengapa Indonesia selalu diperhitungkan di arena bulutangkis, bahkan sebelum era Taufik Hidayat, Liliyana Natsir, dan Jonatan Christie. Ia adalah nama yang tak bisa ditulis kecil dalam sejarah olahraga nasional.
Mengapa Dick Sudirman Terpilih:
- Prestasi sebagai Atlet: Pemain nasional era awal, pilar kekuatan Merah Putih.
- Pendiri Sistem: Ketua Umum PBSI yang membentuk fondasi struktur pembinaan dan kompetisi.
- Pengaruh Global: Namanya diabadikan dalam kejuaraan dunia beregu campuran: Piala Sudirman.
- Warisan Abadi: Tokoh langka yang dihormati secara nasional dan internasional.
- Simbol Identitas: Mewakili transisi bulutangkis dari tradisi lokal menjadi kekuatan global Indonesia.

Eddie Marzuki Nalapraya: Bapak Pencak Silat Indonesia
“Ia bukan hanya pendekar—ia adalah duta budaya yang menjadikan silat bicara di panggung dunia.”
Di tengah modernisasi olahraga yang makin digital dan komersial, pencak silat seperti oase yang bertahan dengan napas panjang: mengalirkan nilai-nilai tradisi, disiplin, dan kehormatan. Tapi bertahannya pencak silat sebagai identitas Indonesia yang diterima dunia bukanlah sebuah keajaiban. Ia lahir dari kerja keras, visi tajam, dan diplomasi tak kenal lelah seorang Eddie Marzuki Nalapraya.
Bagi banyak pendekar, Eddie bukan hanya tokoh—ia adalah ayah, guru, dan pemersatu. Ia membina silat dari akar, merangkai dari pesisir hingga pegunungan, menyatukan ratusan aliran silat dalam satu misi: menjadikan silat sebagai olahraga nasional yang berkelas internasional tanpa kehilangan ruh budaya.
Sebagai Ketua Umum IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) selama hampir tiga dekade (1973–2003), Eddie tidak sekadar menjalankan organisasi—ia menghidupkannya. Ia menyusun regulasi, menyederhanakan teknik tanding untuk kompetisi, dan memperkenalkan silat sebagai olahraga prestasi tanpa meninggalkan silat sebagai warisan leluhur.
Tapi, perjuangannya yang paling monumental justru terjadi di luar arena. Eddie-lah penggagas berdirinya Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (PERSILAT) pada 1980, menyatukan Malaysia, Singapura, Brunei, dan Indonesia dalam satu federasi silat dunia. Melalui kerja diplomasi bertahun-tahun, dialah tokoh kunci yang menjadikan silat cabang resmi di SEA Games 1987, dan akhirnya membawa pencak silat diakui UNESCO pada 12 Desember 2019.
Ia tidak sekadar mempertahankan pencak silat—ia menginternasionalkannya. Dan, ia juga disebut Bapak Pencak Silat Dunia!
Lahir di Tanjung Priok pada 6 Juni 1931, Eddie tumbuh dalam era perjuangan. Ia sempat ikut mempertahankan kemerdekaan dalam Agresi Militer Belanda tahun 1947. Dari medan perang, kecintaannya pada silat lahir setelah melihat sendiri bagaimana bela diri itu menjadi bagian dari keberanian para pejuang. Ia kemudian menekuni silat dan menjadi pelayan setia nilai-nilai luhur yang dikandungnya.
Dan sampai usia senjanya, ia tak pernah berhenti. Eddie tetap mengurus silat, menghadiri agenda-agenda penting IPSI, dan tak henti memperjuangkan satu cita-cita besar yang belum sempat ia lihat terwujud: pencak silat masuk Olimpiade. Ia membawa impian itu hingga ke pengujung hidup, hingga mengembuskan napas terakhirnya pada 13 Mei 2025.
Eddie Marzuki Nalapraya wafat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, dalam usia 93 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, diantar oleh para pendekar, tokoh bangsa, dan Presiden Prabowo Subianto yang datang langsung memberikan penghormatan.
Baca Juga: Dunia Olahraga Berduka: Eddie Marzuki Nalapraya, Jejak Terakhir Sang Pendekar Bangsa
Dalam wawancara terakhirnya dengan Ludus.id, Eddie pernah berkata, “Silat bukan sekadar bela diri. Ia adalah bahasa tubuh sebuah bangsa.” Kalimat itu kini menjadi wasiat, sekaligus cermin dari seluruh hidup yang ia persembahkan.
Eddie Marzuki Nalapraya adalah contoh bagaimana olahraga bukan hanya soal medali, tapi tentang martabat. Ia membawa pencak silat dari tanah ke panggung dunia, tanpa sekali pun mencabut akar budaya yang menyatu dengan tanah itu. Ia adalah pejuang yang bertarung bukan dengan tangan, tapi dengan pikiran dan nilai.
Kini, tubuh itu telah tiada. Namun dalam tiap kuda-kuda, tiap salam penghormatan, dalam jurus yang dipentaskan di penjuru dunia—Eddie tetap hidup.
Ia bukan hanya legenda. Ia adalah denyut dari napas panjang pencak silat itu sendiri.
Mengapa Eddie Marzuki Nalapraya Terpilih:
- Pembinaan dan Organisasi: Membina pencak silat sebagai olahraga prestasi dan budaya dalam waktu panjang.
- Internasionalisasi: Pendiri PERSILAT, penggagas silat masuk SEA Games dan platform dunia.
- Pengaruh Budaya: Mempertahankan silat sebagai identitas Indonesia yang kuat secara filosofi dan kompetitif secara teknis.
- Kepemimpinan Legendaris: Memimpin IPSI selama 30 tahun dengan pengaruh yang masih terasa hingga kini.
- Warisan Global: Mewakili silat dalam konteks diplomasi budaya yang diakui UNESCO.

Eka Putra Wirya: Bapak Catur Indonesia
“Ia tak hanya memindahkan bidak—ia menggerakkan ekosistem.”
Catur bukan olahraga yang gaduh. Tak ada tepuk tangan meriah, tak ada peluit wasit. Tapi di balik diamnya bidak-bidak yang digeser pelan, ada peperangan hebat yang menuntut kecerdasan, ketenangan, dan visi panjang. Dan jika ada satu nama yang mampu menerjemahkan filosofi catur ke dalam dunia nyata—membangun sistem, mencetak juara, dan menghidupkan gairah catur nasional—nama itu adalah Eka Putra Wirya.
Ia bukan grandmaster. Tapi dialah yang menciptakan panggung untuk para grandmaster Indonesia tampil dan tumbuh. Ia bukan juara turnamen, tapi ia juara dalam membuat sistem pembinaan dan manajemen olahraga otak ini hidup, modern, dan bermartabat.
Di tangan Eka, catur tidak lagi sekadar hobi klub-klub kecil atau perlombaan sekolah. Ia menyulapnya jadi olahraga nasional yang bisa bicara di kancah dunia. Sebagai orang yang pernah menjadi pengurus PB Percasi, dan hingga sekarang menjadi Dewan Pengawas, ia menghadirkan struktur, pendanaan, kompetisi, bahkan keberpihakan pada atlet muda dan daerah. Ia membangun sistem, bukan sekadar event.
Eka paham satu hal yang jarang dimiliki oleh pengurus: bahwa olahraga bukan hanya soal medali, tapi soal membangun struktur yang tahan lama.
Dan semua itu ia lakukan dengan pendekatan profesional, dengan jiwa sosial, dan satu semangat: membuat catur Indonesia tidak hanya hebat, tapi juga sehat.
Ia bukan Grandmaster. Ia tak pernah mengangkat piala dunia. Tapi para Grandmaster Indonesia berdiri di atas panggung yang ia bangun dengan tenang dan tekun. Ia bukan jawara kompetisi, tapi ia juara dalam menciptakan sistem pembinaan yang berkelanjutan, manajemen yang profesional, dan ekosistem yang hidup. Dalam diamnya, Eka menyiapkan panggung besar bagi masa depan olahraga otak ini.
Lahir di Jakarta, 17 Maret 1959, Eka menyelesaikan pendidikan tekniknya di Universitas Trisakti. Ia kemudian memimpin Ekatama Group, menapaki dunia industri dengan penuh prestasi. Di dunia korporat, namanya juga harum. Di balik kepemimpinannya yang mapan, Eka menyimpan cinta yang tak padam pada permainan catur—sebuah kecintaan yang kelak menjadi jalan hidupnya.
Tahun 1993, bersama Grandmaster Utut Adianto dan jurnalis catur senior Kristianus Liem, Eka mendirikan Sekolah Catur Enerpac—yang kemudian tumbuh menjadi Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA). Sekolah ini bukan sekadar tempat pelatihan, tapi laboratorium intelektual tempat anak-anak ditempa menjadi pemikir strategis. Di sinilah lahir nama-nama besar: GM Susanto Megaranto, GM Irene Kharisma Sukandar, IM Muhammad Lutfi Ali, WGM Medina Warda Aulia, dan generasi berikutnya yang terus mengalir. Mereka lahir berkat ekosistem yang ia dorong. Tak hanya itu, ia juga mendorong agar catur masuk ke ruang-ruang publik digital—live streaming turnamen, pembinaan berbasis daring, dan pelibatan komunitas yang selama ini terabaikan.
SCUA tumbuh karena satu hal: Eka tidak pernah melihat catur hanya sebagai permainan. Baginya, catur adalah disiplin mental. Ia adalah ruang pendidikan karakter. “Anak-anak belajar berpikir sebelum bertindak, menghitung risiko, dan menerima kekalahan sebagai bagian dari pertumbuhan,” ujarnya. Catur membentuk manusia.
Sebagai pengurus catur, Eka membuktikan kepemimpinan bukan sekadar jabatan. Ia membangun struktur organisasi yang profesional, membuka ruang kompetisi berjenjang, memperluas pembinaan ke daerah-daerah, dan mendorong digitalisasi pembelajaran. Ia tak hanya membawa catur ke podium—ia membawa catur ke masa depan.
Di bawah arahannya, muncul generasi baru seperti IM Novendra Priasmoro dan WFM Ummi Fisabilillah. Sementara para GM senior seperti Irene dan Susanto makin matang dalam atmosfer pembinaan yang sehat. Catur bukan lagi olahraga pinggiran—ia menjadi panggung intelektual yang bergengsi.
Pada 2022, bersama GM Utut Adianto, Eka meresmikan Museum Catur Indonesia di kompleks SCUA. Museum itu adalah simbol dari kerja sunyi yang panjang. Tempat memajang sejarah, menyimpan pencapaian, dan menginspirasi generasi mendatang.
Saat pandemi melanda, Eka sigap membawa SCUA ke platform daring. Ribuan anak dari seluruh Indonesia bisa belajar dari rumah, menjadikan catur sebagai alat pembelajaran dan ketahanan mental di masa krisis. Ia membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir, melainkan peluang untuk menjangkau lebih luas.
Dan di tengah semua pencapaian struktural itu, Eka tetap seorang pemain. Dalam sebuah eksibisi pada 2024, ia mencuri perhatian publik catur ketika mengalahkan mantan Juara Dunia Wanita dua kali, GM Xie Jun, dalam pertandingan simultan. Ia yang tak bergelar FIDE resmi membuktikan bahwa semangat dan dedikasi kadang lebih penting dari sebutan formal.
Namun bagi Eka, kemenangan sejati bukan soal mengalahkan lawan. Kemenangan adalah ketika seorang anak dari desa bisa berpikir taktis, ketika seorang remaja perempuan belajar percaya diri lewat catur, ketika sebuah ekosistem bisa berjalan tanpa tergantung pada satu nama.
Ia membakar jalannya sendiri dalam sunyi, dengan satu keyakinan: bahwa jika kita ingin membangun bangsa berkarakter, kita harus mulai dari hal yang paling sederhana—mengajarkan berpikir sebelum melangkah.
Eka Putra Wirya bukan hanya tokoh di balik meja catur—ia adalah arsitek kebangkitan catur Indonesia di era modern, penggerak sistematis, dan pemimpin yang membawa catur ke level profesional dan inklusif.
Dan dari balik papan catur, ia telah melakukan jauh lebih dari itu!
Mengapa Eka Putra Wirya Terpilih:
- Pembinaan dan Sistem: Membangun sistem catur modern berbasis pembinaan jangka panjang dan kompetisi berjenjang.
- Profesionalisasi: Membawa tata kelola olahraga catur menjadi transparan, terbuka, dan melibatkan komunitas akar rumput.
- Regenerasi: Mendorong kemunculan atlet muda, memberi ruang pada bibit-bibit baru untuk berkembang.
- Pengaruh dan Inovasi: Membuat catur jadi olahraga yang tidak eksklusif, tetapi inklusif dan populer di era digital.
- Warisan Kepemimpinan: Menunjukkan bahwa pengurus yang visioner dan sistematis bisa membuat olahraga otak tampil cemerlang..

Soeratin Sosrosoegondo: Bapak Sepak Bola Indonesia
“Karena sepak bola bukan hanya tentang mencetak gol, tapi mencetak martabat bangsa.”
Di zaman ketika Indonesia belum merdeka, dan sepak bola hanya milik segelintir elite kolonial, muncullah seorang insinyur muda lulusan Jerman yang berpikir jauh melampaui taktik dan skor. Ia melihat bahwa di balik rumput lapangan dan bola yang menggelinding, ada ruang perlawanan. Ada panggung kebangkitan. Ada alat perjuangan. Dan nama itu adalah: Soeratin Sosrosoegondo.
Lahir dari semangat kebangsaan, Soeratin bukan atlet. Ia bukan pelatih. Tapi ia adalah arsitek pergerakan sepak bola nasional. Pada 19 April 1930, ia menggagas dan mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)—bukan untuk sekadar mengatur kompetisi, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan kolonial lewat olahraga yang sudah mendunia.
Ia menyadari satu hal yang tak dilihat banyak orang kala itu: bahwa sepak bola adalah bahasa universal yang bisa mempersatukan rakyat. Di saat partai politik dibatasi, media dikontrol, dan ruang kebebasan sempit, sepak bola justru menjadi titik temu antara pemuda, pergerakan, dan identitas nasional.
Soeratin mengelilingi daerah-daerah, mendorong terbentuknya klub-klub lokal sebagai embrio perlawanan. Ia mengajak pemuda-pemuda untuk tidak hanya bermain bola, tapi menjadi bagian dari perjuangan bangsa. Di tangannya, PSSI bukan sekadar organisasi olahraga—tapi organisasi nasionalis yang berani menantang dominasi kolonial KNVB (federasi sepak bola Belanda).
Meski perannya sering luput dari cerita arus utama, jejak Soeratin abadi. Nama “Soeratin Cup” untuk pembinaan pemain usia muda adalah penghormatan yang belum sepadan dengan jasanya. Ia adalah alasan mengapa sepak bola Indonesia punya akar nasionalisme yang dalam. Ia bukan pemain di lapangan, tapi pemain utama di medan sejarah.
Mengapa Soeratin Terpilih:
- Visi dan Pengaruh: Mendefinisikan ulang sepak bola sebagai alat perjuangan nasional.
- Pembinaan dan Fondasi: Pendiri PSSI dan penggerak klub-klub lokal di seluruh Nusantara.
- Dampak Sosial: Menjadikan sepak bola sebagai ruang politik, budaya, dan ekspresi rakyat.
- Konsistensi dan Legacy: Namanya abadi sebagai simbol pembinaan usia muda dan nasionalisme olahraga.
- Mentalitas Pejuang: Tak mencari panggung, tapi menciptakan panggung untuk bangsanya.

Tentu, yang disebut hari ini belum selesai menulis sejarah. Sebab sejarah selalu bergerak, dan prestasi bukan monumen, melainkan perjalanan. Akan selalu ada generasi baru yang datang dengan gagasan lain, semangat lain, cara lain. Tapi di antara yang datang dan pergi itu, kita perlu penanda: sosok yang bisa kita tunjuk dan katakan—di sanalah tonggak itu pernah ditanam.
Mereka yang disebut sebagai Bapak Cabang Olahraga Indonesia bukanlah akhir dari kisah, melainkan pengingat: bahwa kejayaan tak pernah lahir dari kebetulan. Ia lahir dari kerja panjang, dari kesabaran membangun sistem, dari keberanian mengambil keputusan yang kadang tidak populer. Dan dari keyakinan bahwa olahraga adalah urusan peradaban—bukan sekadar perolehan medali.
Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang paling bersinar di arena, tapi siapa yang hari ini sedang menyiapkan masa depan cabangnya dengan diam-diam.
Siapa yang tengah menyusun fondasi, membina tanpa berteriak, dan membentuk arah tanpa sorotan. Mungkin nama mereka belum disebut hari ini. Tapi waktu akan mencatat.
Dan kita akan kembali bertanya: siapa Bapak Cabang Olahraga berikutnya? Siapa mereka? Dari cabang olahraga apa? Tunggu di edisi berikutnya! (Bersambung….)
Penulis: Akhmad Sef
Suka dengan artikel ini?
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!