Bayangan di Sudut Matras: Ketika Reinaldy Atmanegara Bertanding dan Juara Lewat Owen Matthew
Ludus01

"Kini saya tak mengejar medali untuk diri saya. Tapi saya bertarung agar mereka bisa meraihnya."
— Reinaldy Atmanegara —

LUDUS - Di pinggir matras, ia berdiri. Tak membawa pelindung tubuh, tak mengenakan sabuk warna apa pun. Tak ada nomor di dadanya, tak ada nama dalam daftar undian. Tapi dalam dirinya, berkecamuk sesuatu yang pernah sangat ia kenal: detak jantung yang berpacu, suara peluit yang menusuk udara, dan rasa lapar akan kemenangan yang dulu pernah ia miliki.
Di antara sorak penonton dan decak kagum di tribun Kejuaraan Perang Bintang 2025, seorang lelaki berdiri diam di sisi matras. Tubuhnya tegap, tapi ada getar yang samar di wajahnya. Ia bukan penonton biasa. Ia pelatih. Ia pernah menjadi petarung. Mewakili nama Indonesia sejak 2009 hingga 2022. Namanya Reinaldy Atmanegara, peraih medali SEA Games 2015 di Singapura.

Dan, Reinaldy tak lagi bertanding. Tapi tubuhnya tetap siaga, seperti tengah bertarung ulang dengan waktu. Ia bukan lagi sang juara SEA Games yang melesat cepat di tengah laga. Kini ia pelatih, dan kemarin, Kamis (26/6/25) siang, ia bertanding lewat muridnya: Owen Matthew Salim, remaja 16 tahun dari Jakarta, sedang bertarung untuk nama yang lebih besar dari dirinya sendiri. Bukan hanya untuk medali, tapi untuk membayar kepercayaan orang yang berdiri di sudut matras, orang yang tak lagi mengejar emas untuk dirinya sendiri, tapi kini melahirkan emas dalam tubuh orang lain.
“Rasanya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata,” ujar Reinaldy sesudah pertandingan. “Dulu saya yang ada di lapangan sebagai atlet, sekarang saya ada di sisi matras melihat atlet yang saya latih tampil dan juara. Bangga banget, dan jujur, ada rasa haru juga.”

Owen menang. Lagi. Di kategori Kyorugi Semi Prestasi Junior Putra U-63 kg Kejuaraan Perang Bintang 2025, ia menyempurnakan rekor kemenangannya. Sebelumnya ia telah merebut emas di Kapolri Cup, Quantum Taekwondo Championship Piala Kemenpora RI, dan KONI Cup Series. Semua dalam waktu kurang dari dua tahun. Ia seperti mata panah yang dilepas dari busur yang tepat.
Tapi prestasi Owen tak lahir dari ruangan tertutup atau seleksi instan. Ia dibentuk pelan-pelan, di sebuah dojang kecil tapi berisi jiwa besar: Reinaldy Atmanegara Training Ground (RATG).

Tapi kemenangan ini bukan hanya angka atau medali. Ini adalah perjalanan batin seorang atlet muda dan seorang pelatih yang pernah berdiri di tempat yang sama.
“Rasanya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata,” ujar Reinaldy. “Dulu saya yang ada di lapangan sebagai atlet, sekarang saya ada di sisi matras melihat atlet yang saya latih tampil dan juara. Bangga banget, dan jujur, ada rasa haru juga.”
Owen, pelajar SMAK 6 Penabur Jakarta, adalah hasil dari proses yang sabar dan disiplin. Ia berlatih di Reinaldy Atmanegara Training Ground (RATG) secara rutin satu hingga dua kali seminggu. Tapi mendekati kejuaraan, iramanya berubah. Latihan tambahan dijalani. Sesi pemusatan latihan dijalankan. Bukan hanya untuk mengasah teknik, tapi membentuk ketahanan mental.

Bersama Reinaldy Atmanegara, Owen Matthew sedang melakukan latihan menghadapi Kejuaraan Perang Bintang. Foto/Istimewa
Dan hasilnya nyata. Di babak semifinal Kejuaraan Perang Bintang, Owen mengalahkan Akbar Habibie dari SIPJIN Bogor, laga yang menuntut strategi, ketenangan, dan refleks cepat. Lalu di final, ia menghadapi Azzar Malik Bamantara dari TBI, lawan kuat yang tidak mudah dibaca. Tapi Owen tetap tenang. Ia mendengar suara dalam kepalanya, bukan suaranya sendiri, tapi suara pelatihnya.
“Saya sangat bersyukur bisa meraih kemenangan di kejuaraan Perang Bintang kemarin,” ucap Owen. “Itu bukan hanya hasil latihan saya sendiri tapi juga arahan dan bimbingan dari sabeum saya, Reinaldy Atmanegara, yang luar biasa. Membimbing saya dengan kesabaran dan ketegasan. Saya sudah belajar sangat banyak dari sabeum Reinaldy. Terima kasih sabeum, kemenangan ini untuk kita.”
“Sabeum” bukan sekadar sapaan. Dalam tradisi bela diri, itu berarti lebih dari guru. Ia mentor, panutan, dan penjaga nilai. Dan nilai-nilai itulah yang ditanamkan Reinaldy: bahwa kemenangan tidak dibentuk di hari pertandingan, tapi berbulan-bulan sebelumnya, di setiap latihan yang diselesaikan saat tubuh ingin menyerah.
“Sebagai pelatih, melihat atlet yang kita bimbing dari nol bisa bertanding dengan percaya diri dan akhirnya juara itu kepuasan tersendiri,” ujar Reinaldy. “Saya tahu betul perjuangan mereka di balik layar: jatuh, bangkit, disiplin, dan kerja kerasnya.”

Saat semifinal, Owen sempat tertinggal. Lawannya agresif, cepat, dan penuh tekanan. Tapi di sudut matras, Reinaldy tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk. Tak ada teriakan. Tak ada drama. Hanya tatapan. Seolah mengirimkan sinyal: “Kamu sudah siap. Lakukan apa yang kita latih.” Dan Owen menjawabnya dengan satu tendangan putar, presisi, yang membalikkan semuanya.
“Ini bukan cuma soal medali,” kata Reinaldy. “Tapi soal proses. Dan ketika hasil itu datang, saya merasa semua lelah selama ini terbayar lunas. Sekarang, tugas saya bukan lagi mencari prestasi pribadi, tapi membentuk generasi berikutnya. Dan saya bangga bisa jadi bagian dari perjalanan mereka.”
Bagi Reinaldy, kemenangan Owen adalah refleksi dari masa mudanya. Tapi ia tidak cemburu. Justru di sanalah keindahan olahraga bekerja: ia menyala kembali, bukan lewat dirinya, tapi lewat muridnya.

Barangkali, saat Owen berdiri di podium dengan medali emas di dadanya, Reinaldy tak hanya melihat masa depan. Ia juga melihat masa lalunya sendiri. Dulu, ia bertarung untuk meraih emas. Kini, ia bertahan untuk melahirkan emas dalam diri orang lain.
Karena bagi Reinaldy Atmanegara, menjadi juara adalah kehormatan. Tapi mencetak juara adalah takdir yang lebih besar. Ia tak lagi bermimpi mendengar namanya dielu-elukan. Kini ia bermimpi satu hal: agar lagu Indonesia Raya berkumandang dan Merah Putih berkibar di arena dunia, karena para atlet yang telah ia latih dengan hati dan seluruh hidupnya.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!