Perunggu dari Islamic Solidarity Games Riyadh untuk Sang Ibu: Hadi Wihardja Sebut Nadita Aprilia Patriot Cut Nyak Dien Angkat Besi Indonesia
Akhmad Sef


LUDUS - Boulevard City Riyadh. Di sebuah arena yang gemanya terasa hingga ke dada, Nadita Aprilia berdiri di depan barbel yang menunggu disentuh. Tak ada yang tahu isi hatinya kala itu, selain keyakinan seorang atlet muda berusia 21 tahun, yang datang membawa nama Indonesia di kelas 63 kilogram putri Islamic Solidarity Games 2025. Ia tampak tenang, tapi matanya bercerita lain: ada gugup, ada takut, dan di balik semuanya, ada tekad yang menyala.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Dua kali sudah ia mencoba, dua kali pula ia gagal. Angkatan pertama 110 kilogram tak sampai di atas kepala, percobaan kedua 112 kilogram pun kandas di tengah jalan. Sorak penonton bercampur helaan napas kecewa. Tapi Dita, begitu ia biasa dipanggil, tak menyerah. Satu kesempatan tersisa, satu percobaan terakhir yang akan menentukan apakah namanya akan tercatat dalam sejarah atau tenggelam di antara beban yang tak terangkat.
“Tegang banget, karena dua kali gagal. Jadi angkatan ketiga jadi harapan terakhir,” ucap Dita dengan suara bergetar, air mata yang belum sempat kering di pipinya. Terus mengalir.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Ketika waktunya tiba, pelatihnya yang dipanggil Coach Rusli, mendekat, menepuk bahunya, memberi pesan pendek yang kemudian membakar seluruh keberanian yang tersisa. “Dita enggak boleh pulang, harus jadi juara.” Kalimat itu seperti mantra. Maka di percobaan ketiganya, Dita mengangkat 117 kilogram, beban yang seberat itu seperti menyimpan seluruh harapan, ketakutan, dan cinta yang ia bawa dari rumah. Barbel terangkat sempurna. Arena pun meledak dalam sorak dan tepuk tangan. Dan, perunggu sudah pasti di tangannya.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
“Medali ini buat Mama. Terima kasih buat Mama sudah selalu mendoakan Dita,” katanya, kali ini dengan senyum yang basah air mata.
Hasil akhir menempatkan lifter asal Turki, Aysel Ozkan, di posisi pertama lewat angkatan clean and jerk 118 kilogram. Perak diraih Ruth Imoleayo Ayodele dari Nigeria, peraih perunggu Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2025, yang juga mengangkat 117 kilogram, namun melakukannya lebih dulu. Dita, meski dengan berat yang sama, harus puas dengan perunggu. Tapi baginya, itu bukan sekadar medali. Itu bukti bahwa keberanian bisa datang setelah dua kali jatuh, bahwa kadang kemenangan justru tumbuh dari kegagalan yang nyaris membuat menyerah.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Di angkatan snatch, Dita menempati peringkat keempat dengan 94 kilogram, dan pada total angkatan 211 kilogram, ia juga berada di urutan keempat. Namun semua angka itu tak menghapus fakta bahwa dari tangan dan hati Dita, Indonesia menambah satu medali lagi di Riyadh, perunggu yang terasa seperti emas.

Foto/Istimewa
Tapi di balik catatan statistik itu, ada refleksi yang tak kalah penting datang dari Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PABSI, Hadi Wihardja, tentang perjalanan seorang lifter muda yang bangkit dari kegagalan.
“Ya, yang bersangkutan memang harus bangkit saat ini,” ujarnya. “Mengingat ketika ikut kejuaraan dunia lalu tidak maksimal, dan sekarang tidak ada pilihan lain selain all out jika ingin menjadi yang terbaik. Dan jadilah Nadita... patriot Cut Nyak Dien angkat besi Indonesia.”
Ia memang pernah berdiri di bawah langit China pada Asian Weightlifting Championship 2025, menantang batas tubuh dan takdir. Lalu, di Norwegia, pada IWF World Championship, ia kembali menimbang nasib di atas panggung besi, antara gagal dan gemilang. Kini, dari tanah Arab Saudi yang jauh dan panas, namanya kembali dipanggil, seakan sejarah sendiri yang meminta ia sekali lagi mengangkat Indonesia, bukan sekadar barbel, ke ketinggian dunia, sebagai penanda bahwa tekad tak pernah mengenal musim.
Dalam pandangan Hadi, semangat Dita mencerminkan filosofi lama yang selalu dipegang dalam dunia angkat besi: “The best technic, the strong women, is the winner.”

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
“Nadita sudah menjadi the strong women,” lanjutnya. “Tinggal perbaiki teknik dengan maksimal, maka patriot women akan terbentuk.”
Pernyataan itu seperti penutup yang hangat di ujung kisah perjuangan. Bahwa dalam diri Nadita, yang sempat gagal dua kali sebelum mengangkat beban ketiga, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan otot: ada keberanian untuk tidak menyerah, ada cinta untuk ibu yang menunggu di rumah, dan ada semangat untuk menjadi perempuan kuat yang tak hanya mengangkat besi, tapi juga martabat bangsanya.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah
Ia lahir di Langsa, 7 April 2004, anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan almarhum Abdul Kadir dan Suhaibah. Hidupnya sederhana, tapi takdir memilihnya untuk mengangkat besi, bukan menyerah pada beratnya hidup. Baru dua tahun sembilan bulan ia berlatih, namun langkahnya seperti dipercepat waktu. Dari perak di PON Aceh–Sumut 2024, ia melesat ke Pelatnas PB PABSI Jakarta pada Januari 2025, dan kini berdiri di panggung dunia, membawa pulang perunggu, seolah membuktikan: perjalanan pendek pun bisa menjadi kisah panjang tentang tekad dan cahaya.
Di Riyadh yang jauh dari rumah, di tengah gurun yang membakar, patriot perempuan itu lahir, dari keringat, air mata, dan angkatan terakhir yang menjelma menjadi doa.
Dengan tambahan perunggu dari Dita, hingga berita ini diturunkan, kontingen Indonesia kini mengoleksi 4 medali emas, 11 perak, dan 3 perunggu di Islamic Solidarity Games 2025.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.
Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!





