Pahlawan yang Tak Mengangkat Senjata: Salam Hormat!

Akhmad Sef

“Patriotisme bukanlah cinta yang berteriak, melainkan kesetiaan yang diam,” tulis Rabindranath Tagore.
Mungkin itulah yang tersisa dari zaman yang hiruk: bahwa cinta tanah air tak selalu harus berkibar di tengah perang, kadang justru berdenyut di tubuh-tubuh yang bekerja dalam diam, di peluh dan darah yang jatuh dan menetes di lintasan, di napas yang tertahan di bawah air, di tangan yang gemetar memegang bidak catur terakhir.
Foto/Dok.NPC Indonesia

Foto/Dok.NPC Indonesia

Dari situlah kisah ini bermula. Tentang mereka yang tak berseragam loreng, tapi menanggung beban merah putih di dada. Tentang cinta yang tidak meledak, tapi bergetar halus dalam disiplin dan kesetiaan. Ada banyak cara mencintai Indonesia. Sebagian orang melakukannya dengan menulis, sebagian dengan mengajar, sebagian lagi, dengan berjuang di gelanggang olahraga.

Mereka tak menenteng senjata, tak menembus kabut peperangan. Tapi seperti kata Ernest Hemingway, “Courage is grace under pressure.” Keberanian, pada akhirnya, adalah keanggunan di bawah tekanan, dan di situlah para atlet kita berdiri, di bawah sorotan lampu yang dingin, menanggung beban yang tak kelihatan: harapan bangsa.

Ada yang mengibarkan Merah Putih tanpa meneteskan darah, tapi dengan keringat, air mata, dan keteguhan yang nyaris mistik. Mereka bukan di medan perang, tapi di gelanggang. Bukan menenteng senjata, melainkan menanggung nama bangsa.

Di setiap podium tertinggi, saat “Indonesia Raya” mengalun di negeri orang, kita seperti diingatkan pada sesuatu yang purba: bahwa cinta tanah air tak selalu datang dari pekik perang, kadang justru dari diamnya seorang atlet yang menunduk dalam haru di hadapan bendera yang naik perlahan.

Hari Pahlawan setiap 10 November selalu mengajak kita menengok ke belakang, kepada mereka yang gugur, yang darahnya menjadi tinta sejarah. Namun zaman berubah. Setiap generasi memiliki bentuk perjuangannya sendiri. Di masa damai seperti kini, kepahlawanan lahir dari disiplin dan kesetiaan terhadap proses, bukan dari letusan senjata.

Tahun ini, kabar Hari Pahlawan beriring dengan rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sekitar sepuluh tokoh, termasuk Presiden kedua Soeharto. Isu itu ramai diperbincangkan, antara rasa hormat terhadap sejarah dan perdebatan tentang jejak masa lalu. Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada bentuk kepahlawanan lain yang sering terlewat: yang tidak hidup di monumen, tapi di tubuh-tubuh muda yang terus berjuang di lapangan, di kolam, di papan catur.

Albert Camus pernah menulis, “Kebebasan tidak lain hanyalah sebuah kesempatan untuk menjadi lebih baik.” Dan, kebebasan itu pula yang dirasakan seorang pelari ketika garis start dibunyikan, atau seorang lifter ketika menggenggam besi di panggung dunia. Mereka memikul kemerdekaan itu, sebagai kesempatan untuk menjadi lebih baik, dan untuk membuat bangsa ini lebih berarti.

Rizki Juniansyah, barangkali, tak pernah berniat menjadi simbol nasional. Ia hanya anak muda dari Serang, yang ingin mengangkat barbel lebih tinggi dari kemarin. Namun di Olimpiade Paris 2024, ia mengangkat lebih dari sekadar besi, ia mengangkat martabat bangsanya.

Emas Olimpiade itu bukan sekadar angka dalam tabel perolehan medali. Ia adalah hasil dari tahun-tahun kerja keras, dari latihan spartan tanpa kamera, dari keyakinan yang tak pernah padam bahkan ketika tak ada yang menonton. Ketika Presiden Prabowo akan menyematkan pangkat Letnan Dua TNI kepadanya, penghargaan itu terasa lebih dari simbol kehormatan, ia adalah pengakuan terhadap nilai-nilai yang semakin langka di era instan: kesabaran, kerja keras, dan konsistensi.

Di podium Olimpiade, ketika Rizki mengangkat barbel di atas kepala, itu bukan sekadar otot dan teknik. Itu adalah doa. Doa seorang anak negeri yang tumbuh dari keringat dan kesunyian latihan, dan kini mengangkat beban bangsa bersama dirinya.

Barangkali benar kata Albert Schweitzer, “Contoh bukanlah hal utama dalam memengaruhi orang lain. Ia adalah satu-satunya hal.” Rizki memberi contoh bahwa ketekunan bisa menjadi bentuk kepahlawanan.

Dari dunia yang lebih hening datang Shafira Devi Herfesa, gadis Yogyakarta yang menatap papan catur seperti menatap hidup itu sendiri: penuh strategi, sabar, dan berlapis makna. Di Asian Zone 3.3 Chess Championship 2025, Shafira mengalahkan nama-nama besar dan merebut tiket ke Piala Dunia Catur.

Kemenangannya viral, bukan karena sensasi, tetapi karena keheningan yang berbuah hasil. Di zaman yang memuja kecepatan, Shafira memuliakan ketenangan. Ia mengajarkan bahwa berpikir juga bisa menjadi bentuk perlawanan; bahwa kesabaran, dalam dunia yang riuh, bisa setangguh keberanian.

Dalam setiap langkah kudanya, Shafira sedang menulis ulang sejarah yang pernah digores GM Utut Adianto, legenda yang membuka jalan bagi generasi baru Indonesia di papan 64 kotak itu. Dan dari tangannya yang kecil, gema kepahlawanan itu menjalar ke ribuan anak di seluruh pelosok negeri yang masih bermain catur dengan papan reyot dan bidak tak lengkap.

Nietzsche pernah berkata, “Barangsiapa memiliki alasan untuk hidup, ia akan sanggup menanggung hampir segala cara untuk menjalaninya.” Mereka punya why: untuk membuat bendera itu naik lebih tinggi. Dan karena itu, mereka tahan dengan how: rasa sakit, latihan tanpa henti, sepi di asrama Pelatnas, dan kerinduan pada rumah.

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah

Sementara di Riyadh, tim renang Indonesia menulis halaman baru di Islamic Solidarity Games 2025. Di kolam yang memantulkan cahaya panas Timur Tengah, nama-nama seperti Joe Aditya dan Azzahra Permatahani membuka keran medali perak, bukan hanya bagi negara, tapi bagi keyakinan bahwa air bisa menjadi ruang kebangkitan bangsa.

Renang, lebih dari sekadar cabang olahraga, adalah metafora kehidupan. “Air itu jujur. Ia tidak memberi jalan pada yang malas,” kata seorang pelatih di pinggir kolam. Setiap tarikan napas di bawah permukaan air adalah pengingat: bahwa hidup menuntut kesabaran, ritme, dan daya tahan.

Perak yang mereka bawa raih bukan kekalahan, melainkan tanda bahwa perjuangan belum selesai. Seperti kata Confucius, “It does not matter how slowly you go as long as you do not stop.” -- Tak masalah seberapa lambat engkau melangkah, selama engkau tidak berhenti!

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah

Foto/NOC Indonesia/Rifqi Priadiansyah

Dan di tengah sorotan itu, berdirilah pula lifter muda Muhammad Husni, yang mengguncang arena dengan tiga medali emas. Bersamanya, Tita Nurcahya Melyani dan Basilia Bamerop Ninggan masing-masing menyumbangkan tiga perak, menunjukkan bahwa semangat tak selalu diukur dari warna medali, tapi dari ketulusan memberi yang terbaik. Mereka adalah wajah-wajah baru perjuangan, yang muda, yang tangguh, yang percaya bahwa kerja keras adalah bahasa universal kebanggaan.

Dari gelanggang yang lain, di GOR Manahan Solo, Minggu sore, 2 November 2025, sorak kemenangan terdengar panjang. Tim para bulu tangkis Indonesia menutup Polytron Indonesia Para Badminton International 2025 dengan gelar juara umum: enam emas, tiga perak, enam perunggu. Angka yang bukan sekadar statistik, tapi hasil dari kerja keras, disiplin, dan keberanian menghadapi dunia yang semakin kompetitif. Leani Leani Ratri Oktila, peraih medali emas di Paralimpiade Tokyo 2020 dan Paris 2024 tetap menjadi ratu. Para atlet disabilitas Indonesia menorehkan prestasi luar biasa. Dari kursi roda dan tongkat, mereka menolak dikasihani, menolak dikalahkan. Mereka adalah pengingat paling murni bahwa keterbatasan tak pernah lebih kuat dari tekad.

Dan di antara gemuruh kompetisi besar, datanglah generasi yang bahkan lebih muda: para atlet Asian Youth Games. Mereka mungkin belum genap tujuh belas tahun, tapi mereka tahu arti berdiri di podium, mendengar Indonesia Raya dengan dada bergetar.

Mereka tak datang dari sistem olahraga yang sempurna. Banyak dari mereka tumbuh di lapangan berdebu, berutang sepatu, atau berlatih di bawah sinar lampu seadanya. Namun mereka membawa sesuatu yang lebih murni dari ambisi: keikhlasan berproses.

Kita terlalu sering mengira pahlawan adalah mereka yang mati di medan perang. Padahal, banyak yang masih hidup, di gym pinggiran, di kolam latihan, di papan catur, menulis sejarah dengan tubuh dan pengorbanan. Mereka tidak menuntut gelar, cukup kesempatan untuk berjuang.

Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Tapi barangkali hari ini, kalimat itu layak diperluas: bangsa yang besar adalah bangsa yang melahirkan pahlawan baru setiap hari, dari ruang latihan yang sepi, dari anak-anak yang percaya bahwa kemenangan yang jujur lebih berharga dari segala bentuk tipu daya.

Mereka tidak mengangkat senjata, tapi mereka mengangkat beban, memecah air, menatap lawan dengan kepala tegak. Mereka menolak kalah, bukan karena ingin dikenal, tapi karena tahu: menyerah adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap potensi diri.

Di tengah dunia yang semakin riuh oleh citra dan konten, mereka memilih jalan sunyi: bekerja dalam diam. Dan dari kesunyian itulah lahir gema paling lantang tentang arti mencintai Indonesia.

Pahlawan, dalam makna terdalamnya, adalah mereka yang membuat kita percaya bahwa negeri ini masih bisa bermakna. Entah lewat peluru, entah lewat prestasi. Dan di masa yang serba cepat ini,
mungkin justru para atletlah yang mengingatkan kita pada hal yang paling lambat: bahwa perjuangan adalah proses panjang, dan kemenangan adalah buah dari kesetiaan pada jalan itu.

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Foto/NOC Indonesia/Naif Muhammad Al As

Ketika lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan di negeri orang, kita seolah mendengar gema lama dari Surabaya 1945, bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tapi perjuangan yang terus diperbarui.

Pada akhirnya, Hari Pahlawan bukan sekadar seremoni atau ziarah ke makam pahlawan. Ia adalah momen untuk menunduk hormat kepada mereka yang masih berjuang, yang dengan peluh dan kesabaran menulis bab baru tentang bangsa ini.

Karena mencintai Indonesia tak selalu berarti berperang. Kadang, cukup dengan tidak menyerah.

Dan di situlah, di tepi kolam, di papan catur, di bawah barbel yang berat, berdiri pahlawan-pahlawan baru kita: mereka yang tak mengangkat senjata, tapi memanggul harapan seluruh negeri.

Dan mungkin, pada akhirnya, di situlah ukuran sejati sebuah bangsa: bukan pada seberapa lantang kita meneriakkan kata “merdeka”, melainkan pada seberapa dalam kita menghargai mereka yang diam-diam menjaga makna kemerdekaan itu.

Bangsa yang besar bukan hanya yang mengenang para pahlawan masa lalu, tetapi juga yang menatap wajah-wajah hari ini dengan rasa hormat yang sama: kepada pelatih yang tak pernah disebut, kepada atlet yang berkeringat dan berdarah-darah dalam latihan tanpa sorotan kamera dan di arena yang penuh kobaran semangat untuk menang membawa merah putih.

Kita hidup di antara mereka, dan barangkali tanpa mereka, Indonesia hanya tinggal nama tanpa nyawa.

Maka, di hari pahlawan ini, marilah kita belajar menunduk, bukan karena kalah, tapi karena bersyukur, bahwa di setiap sudut negeri masih ada orang-orang yang berjuang, sekecil apa pun, setulus apa pun, bahkan yang tak terlihat.

Karena pahlawan sejati tidak menunggu panggilan negara, mereka hanya mengikuti panggilan hati. Dan dari hati-hati semacam itulah, Indonesia, dengan segala luka dan harapnya, terus berdiri.

Dan di antara hati-hati itu, ada mereka yang setiap hari menanggung beban Merah Putih di dadanya, para atlet yang jatuh dan bangkit di lintasan, yang menahan air mata di podium, yang berjuang bukan untuk medali, tapi untuk sebuah lagu kebangsaan yang membuat dunia menoleh.

Merekalah pahlawan olahraga: yang tak pernah menembakkan peluru, tapi menyalakan nyala bangsa. Yang tak menggenggam senjata, tapi menggenggam cita-cita Indonesia. Dan untuk setiap keringat dan darah yang jatuh di tanah ini, kita seharusnya berdiri dan berterima kasih, karena di dada mereka, Indonesia masih bernapas.

Akhmad Sef, melaporkan. Tapi lebih dari itu, juga mendengarkan.

Instagram: @akhmadsefgeboy

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!