Bonus PON Belum Cair, Rahmad Diyanto Bersuara: Gubernur Riau dan Menpora Harus Baca Ini

Ludus01

Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh–Sumut 2024 telah usai. Stadion sepi, peluit sudah tak berbunyi, dan medali telah dibagikan. Tapi bagi ratusan atlet yang berlaga di ajang olahraga nasional tertinggi itu, perjuangan belum benar-benar selesai. Mereka masih menunggu hak yang dijanjikan: bonus prestasi, imbalan dari peluh, luka, dan kerja keras yang tak selalu terekam kamera.

Gelombang itu tak datang dari laut, tapi dari ruang-ruang yang pernah dipenuhi sorak dan peluh. Dari Sulawesi Selatan, dari Nusa Tenggara Barat, dari Aceh, dan kini dari Riau. Gelombang itu bukan gelombang pasang yang menyapu daratan, tapi riak-riak kecewa yang pelan-pelan menjalar ke banyak sudut negeri, dari ruang latihan, dari podium yang kini sepi, dari janji-janji yang tertunda.

Bonus PON, seperti kado yang diumumkan di panggung kemenangan, ternyata tertahan di meja birokrasi. Atlet Hapkido dari Aceh, Yulianto, membuka suara. Lalu disusul Sulthanul Aulia Ma’ruf, peraih emas yang mengingatkan pemerintah daerah agar tidak memberi “harapan palsu.” Ia berkata: “Kami sudah selesai bertanding. Sekarang saatnya pemerintah menepati janjinya.” Kalimat itu terdengar sederhana, tapi ada kepedihan yang tak diucapkan di baliknya.

Lalu Riau, tak hanya belum mencairkan bonus, yang lebih menyakitkan, jumlahnya justru dikabarkan akan dipangkas: dari janji awal Rp300 juta untuk emas, menjadi hanya Rp129 juta. Tak ada pengumuman resmi, tak ada penjelasan ke publik. Diam menjadi kebijakan, seolah para atlet adalah anak-anak yang bisa dibujuk dengan tepuk tangan, bukan warga negara yang punya hak.


Namun ironisnya, di tengah segala keterlambatan itu, Riau justru mencatatkan lonjakan prestasi: 21 medali emas, 22 perak, 36 perunggu. Total 78 medali dan peringkat ke‑12 secara nasional, turun empat tingkat dari PON sebelumnya di Papua. Prestasi yang datang bukan dari sulap, melainkan dari bertahun-tahun latihan, pengorbanan, dan disiplin. Tapi di balik statistik itu, pertanyaan yang sama menggantung: apakah hak mereka akan sampai tepat waktu?

Di antara semua itu, muncul satu nama. Ia bukan peraih emas, bukan andalan media, dan bukan tokoh populis. Ia, hanya seorang atlet, yang juga dosen. Yang sehari-harinya selain berlatih, ia juga menjadi personal trainer squash.

Ia, telah dua kali naik podium PON: meraih perunggu di PON Jabar 2016, dan kembali mempersembahkan dua medali perunggu untuk Riau di PON Aceh–Sumut 2024. Tapi perjalanannya tak berhenti di situ. Ia pernah menjadi Juara 1 Kejurnas 2018, dan mewakili Indonesia di SEA Games 2019 Filipina, di mana ia meraih medali perunggu untuk Merah Putih.

Namanya Rahmad Diyanto. Baginya, bukan hanya soal prestasi. Ia adalah sosok yang memandang kemenangan sebagai “bonus dari sebuah proses yang dijalani.” Ia percaya bahwa perjuangan adalah tentang dedikasi, pengorbanan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah. Dan ketika gagal? “Saya akan kembali ke lapangan. Berlatih lebih keras dari orang lain.”

Dalam setiap pertandingan, ia membawa lebih dari sekadar teknik dan strategi. Ia membawa keyakinan. Keyakinan bahwa latihan tak pernah mengkhianati hasil, dan bahwa keberanian bukan hanya soal menatap lawan, tetapi juga tentang berani bersuara saat yang lain memilih diam.

Tapi keberaniannya menonjol dalam bentuk yang lain: kata-kata. Rahmad Diyanto, atlet squash asal Riau, memilih jalan: menulis surat terbuka. Mewakili rekan-rekannya yang mungkin enggan bersuara karena takut. Ia tak membawa poster, tak menggedor meja sidang, hanya mengalirkan pikirannya lewat surat yang ditujukan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Arieotedjo, serta Gubernur Riau H. Abdul Wahid.

Surat itu bukan amarah. Ia lebih mirip sebentuk martabat, yang ditulis tidak dengan emosi. Sebab, ketika terlalu lama dibungkam, menulis bisa menjadi tindakan paling radikal.

Barangkali, kita terlalu sering mengira suara hanya datang dari panggung. Tapi Rahmad menunjukkan, bahkan dari lapangan kecil yang tak disiarkan televisi pun, kebenaran bisa bergetar. Ia tidak meminta lebih. Hanya ingin dihargai. Dan suratnya, seperti squash yang dimainkan dalam ruang tertutup, tak berisik, tapi menghantam dinding-dinding yang keras.

Kini, ketika banyak atlet menahan kecewa dalam bisu, Rahmad memilih cara lain. Ia menulis. Ia berbicara, bukan untuk dirinya semata, tapi mewakili mereka yang merasa dilupakan setelah peluhnya kering di arena pertandingan. Karena bukan tidak mungkin, setelah Rahmad bersuara, ada atlet lain selanjutnya yang mengikuti keberaniannya.

Dan surat terbukanya ini, bukan sekadar pengaduan. Ini adalah pukulan paling jujur dari seorang atlet yang selama ini hanya ingin dihargai.

Berikut isi suratnya. Bacalah, dan dengarkan suara yang biasanya tak terdengar di balik sorak sorai seremoni.

Kepada Yth.
Bapak Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Bapak Gubernur Provinsi Riau

Dengan hormat,

Saya menulis surat ini dalam kondisi sedih dan kecewa terhadap perhatian Pemerintah Provinsi Riau terhadap atlet-atlet berprestasi yang berlaga pada PON Aceh–Sumut 2024. Hingga hari ini, kami belum juga menerima hak kami.

Atlet itu ibarat prajurit. Kami berlatih keras, sangat keras. Bahkan kami tidak boleh sakit, karena ketika sakit, performa jatuh ke titik terendah dan kami harus memulai ulang program latihan dari awal, untuk kembali mencapai peak performance.

Prestasi olahraga memiliki irisan yang kuat dengan harga diri bangsa. Salah satu cara mengibarkan bendera Merah Putih di kancah dunia adalah melalui prestasi olahraga. Demikian pula di tingkat daerah: salah satu bentuk marwah, gengsi, dan kehormatan Provinsi Riau adalah mengirimkan atlet terbaiknya ke Pekan Olahraga Nasional.

Kami, para atlet Riau, telah berjuang dengan keringat, air mata, bahkan darah, demi mempersembahkan medali bagi daerah ini.

Sesaat setelah penyerahan medali di podium, seorang pejabat pemerintah menyalami saya sambil berkata, "Tahun 2025 kami bayarkan bonusnya!" Saat itu kami percaya. Kami bersyukur, kami bangga. Tapi kini, bonus itu tak kunjung datang. Dan yang terjadi justru adalah serangkaian drama yang melukai perasaan kami.

Drama Pertama:
Disebutkan bahwa karena defisit anggaran, maka semua pos anggaran, including uang sagu hati atau bonus atlet PON, direlokasi. Bonus yang awalnya dijanjikan pun dipangkas hingga hanya 45%, berdasarkan salinan Peraturan Gubernur (Pergub).

Drama Kedua:
Kami mencoba audiensi dengan Kadispora. Tapi hasilnya nihil. Kami, atlet dan pelatih, justru dilempar balik ke KONI, diminta untuk "memutuskan sendiri" apakah mau menerima bonus 45% itu atau tidak.

Drama Ketiga:
Saat audiensi dengan Gubernur dan Dispora, keluar pernyataan,
"Kalau mau diambil bonusnya, silakan. Kalau tidak, juga tidak apa-apa." Sebagai atlet, saya sangat kecewa mendengar kalimat itu keluar dari pejabat publik. Namun setelah dialog dan diskusi, Bapak Gubernur memberikan arahan agar bonus ditambah. Tapi lagi-lagi, keputusan akhirnya dikembalikan ke Sekda dan Dispora, dan sampai hari ini kami masih menunggu kejelasan.

Berikut data nominal bonus berdasarkan informasi terakhir:

Bonus perorangan atlet:

  • Emas: dari Rp300 juta → hanya diterima Rp129 juta
  • Perak: dari Rp150 juta → hanya diterima Rp64,5 juta
  • Perunggu: dari Rp75 juta → hanya diterima Rp32,2 juta

Bonus beregu:

  • Emas: dari Rp150 juta → hanya diterima Rp64,5 juta
  • Perak: dari Rp75 juta → hanya diterima Rp32,2 juta
  • Perunggu: dari Rp40 juta → hanya diterima Rp17,2 juta

Bukan soal saya pribadi. Saya tidak punya rencana besar, hanya butuh sedikit untuk persiapan kelahiran istri saya. Tapi teman-teman saya yang lain ada yang batal menikah, ada yang terlilit utang, dan menggantungkan hidup dari bonus ini.

Yang lebih menyakitkan, mereka tak berani bersuara. Saya tahu, banyak dari mereka lebih butuh dari saya. Tapi mereka memilih diam, karena takut, karena tidak tahu harus bicara ke siapa. Saya menulis surat ini juga untuk mereka.

Saya berharap, Bapak Gubernur yang terhormat, Bapak Menpora yang terhormat, bisa melihat kami tidak sekadar sebagai angka dalam laporan, tapi sebagai manusia yang telah menjaga marwah Riau di tingkat nasional.

Sekian, terima kasih atas perhatian Bapak-bapak semua.


APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!