Dari Barcelona ke Kudus: Pertemuan Takdir Para Legenda Taekwondo

Ludus01

LUDUS - Waktu, kadang, punya cara untuk mempertemukan mereka yang dulu pernah berdiri di garis yang sama. Tanpa aba-aba, tanpa seremoni, hanya kebetulan yang seperti takdir. Mereka datang bukan untuk reuni. Tidak ada undangan resmi, tidak ada spanduk bertuliskan “Malam Nostalgia”. Mereka hanya kebetulan berada di kota yang sama, Kudus, karena satu hal: PON Bela Diri 2025. Namun tanpa direncanakan, di Djarum Arena, enam legenda taekwondo Indonesia itu akhirnya duduk satu meja. Dan di sanalah, waktu seperti mundur beberapa dekade ke belakang.

“Barangkali yang disebut kenangan itu bukan hal yang ingin kita kejar,” tulis Haruki Murakami dalam Kafka on the Shore, “tapi sesuatu yang tahu cara menemukan kita kembali.”

Ada Dirc Richard Talumewo, peraih medali perak Olimpiade Barcelona 1992, sosok yang namanya masih disebut dengan hormat di arena taekwondo Asia. Di sampingnya duduk Alfons T. Lung, peraih perak Asian Games Hiroshima 1994 yang kini membina atlet muda di Kalimantan Timur. Bambang Wijanarko, si emas SEA Games Kuala Lumpur 1989, datang dengan wajah yang masih menyimpan semangat pelatih. Lalu Yolanda Yolandini, yang emasnya di SEA Games Jakarta 1997 dulu disambut seperti pahlawan muda. Ada pula Hani Dian, peraih perak Taekwondo Asia Pasifik 1986 di Darwin Australia, dan Coki Tanjung, mantan atlet pelatnas Asian Games Seoul yang kini menjadi Wakil Ketua Umum Pengprov TI DKI Jakarta.

Usia mereka tak lagi muda. Namun, di mata orang yang mencintai taekwondo, mereka seperti tak pernah benar-benar menua, hanya berganti bentuk dari api menjadi bara, dari petarung menjadi penjaga nyala.

Richard, misalnya. Dulu, ia berlari menuju matras Olimpiade Barcelona 1992 dengan langkah yang masih ringan, napas yang masih panjang. Di usia 22 tahun, dunia baginya seperti matras kosong yang siap ditaklukkan. Di sana, di tengah sorak yang asing dan bendera yang berwarna-warni, ia dikalungi medali perak, sesuatu yang kemudian menjadi bab penting dalam sejarah olahraga Indonesia.
Kini, ia tak lagi bertarung, tapi ia tetap berdiri di tengah lingkaran taekwondo: menggelar Ludus Liga Taekwondo Pelajar dan Mahasiswa, Ludus Poomsae Freestyle Open Championship, hingga Ludus Taekwondo Open Championship. Sebagai anggota Asian Taekwondo Union (ATU), ia, seperti menebus waktu dengan dedikasi baru, menjaga semangat muda dari generasi yang datang setelahnya.

“Dulu aku ingin menang. Sekarang aku hanya ingin nyala ini tak padam,” katanya suatu kali.

Yolandini, di sisi lain, tahu bagaimana rasanya kalah, dan bagaimana rasanya menebusnya. Ia masih berusia 21 tahun ketika akhirnya Indonesia Raya berkumandang di Jakarta, SEA Games 1997. Saat itu, ia menebus luka lama dari Chiang Mai 1995, ketika seorang atlet Thailand mematahkan mimpinya. Kali ini, balas dendam itu tuntas. Merah Putih berkibar lagi, dan air matanya luruh di podium.

“Kadang kemenangan bukan tentang mengalahkan orang lain,” katanya, “tetapi tentang mengembalikan bagian dirimu yang dulu sempat hilang.”

Foto/Dokpri

Foto/Dokpri

Bambang Wijanarko mungkin sudah lama tidak memakai dobok di bawah lampu pertandingan, tapi bayangan dirinya di Kuala Lumpur 1989 masih jelas. Ia baru 23 tahun ketika kalung emas menyentuh dadanya. Lagu kebangsaan menggema, dan di sela dentum gendang kemenangan, ia tahu: hidupnya sudah berubah.

“Ada saatnya kau berhenti menendang orang lain,” ujarnya pelan, “dan mulai menendang rasa takutmu sendiri.”

Dan di Hiroshima 1994, seorang pemuda bernama Alfons T. Lung berdiri di final Asian Games. Kakinya berdarah, tubuhnya gemetar, tapi matanya tetap fokus. Di depannya berdiri Tran Quang Ha dari Vietnam, lawan berat yang akhirnya membuatnya berhenti di perak. Namun ketika medali itu dikalungkan, ia justru merasa damai. Karena di usia 21 tahun, ia sudah melampaui rasa sakit dan menemukan makna lain dari kata “selesai.”

“Ada kemenangan yang justru lahir dari kekalahan,” ia pernah berkata.

Hani Dian adalah satu dari sedikit perempuan yang ikut menulis sejarah taekwondo Indonesia di masa ketika nama-nama atlet perempuan belum sering disebut media. Tahun 1986, di Darwin Australia, di usia 20 tahun, ia berdiri di podium Kejuaraan Asia Pasifik. Medali perak itu menjadi saksi tentang keberanian seorang gadis muda yang melangkah tanpa tahu seberapa jauh ia akan pergi.

“Aku dulu hanya ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa menendang keras,” katanya, sambil tertawa kecil. “Kini aku tahu, yang lebih penting adalah berani berdiri.”

Sementara Coki Tanjung, tak lagi berlari di atas matras. Ia kini lebih banyak berjalan di tepi lapangan, mengamati murid-muridnya bertarung. Dari Jakarta, daerah yang dulu ia bela, ia melahirkan banyak juara. Ada kebanggaan yang tak bersuara di matanya setiap kali melihat sabuk hitam baru diikatkan di pinggang muridnya.

“Kalau dulu aku berjuang untuk diriku, sekarang aku berjuang agar mereka punya panggung sendiri,” ujarnya tegas.

Mereka tertawa: keras, lepas, seperti masa muda yang kembali sebentar.

Seseorang melempar cerita lama: tentang masa ketika uang saku atlet tak cukup untuk makan layak, hingga hiburan satu-satunya adalah menonton film di bioskop paling murah di pinggiran Jakarta. Dari Senen, Pamulang menjadi tempat rekreasi jiwa karena uang yang tak cukup ada di saku mereka.

Yang lain menimpali kisah cinta lokasi, tentang dua atlet yang diam-diam saling pandang di pelatnas. Suasana jadi riuh. Seperti jurus-jurus lama yang kembali hidup di udara.

“Lucunya ya, dulu kita nggak punya apa-apa tapi rasanya bahagia terus,” kata Alfons sambil menepuk bahu Richard. Yang lain mengangguk. Karena mereka tahu: medali yang dulu digenggam bukan sekadar logam, tapi kenangan tentang kedisiplinan, lapar, dan keyakinan muda yang nyaris suci.

Kini mereka datang dari jalur hidup yang berbeda, tapi semua masih berputar di orbit yang sama: taekwondo. Richard menjadi anggota Asian Taekwondo Union (ATU), mewakili Indonesia di tingkat internasional. Alfons menakhodai pembinaan prestasi di KONI Kalimantan Timur. Bambang, mantan pelatih nasional, kini berperan sebagai talent scout, pencari bibit yang percaya bahwa masa depan harus dicari dari akar. Hani Dian membantu Richard bersama-sama mengelola Ludus Store, toko perlengkapan bela diri yang mereka sebut sebagai “cara lain untuk tetap dekat dengan dunia taekwondo.” Yolandini kini menjadi staf di PBTI, sementara Coki menapaki peran strategis sebagai Wakil Ketua Umum Pengprov TI DKI Jakarta.

“Rasanya seperti lingkaran yang tak pernah putus,” ujar Hani Dian pelan. “Kita mulai dari tatami, dan sampai hari ini, hidup kita masih di sekitarnya.”

Namun obrolan sore itu di kompleks Djarum Arena, tempat digelarnya PON Bela Diri 2025, tak berhenti di nostalgia. Seperti setiap pertemuan para guru besar, ujungnya selalu sama: kegelisahan tentang masa depan. Tentang bagaimana agar atlet Indonesia bisa kembali berjaya di Olimpiade. Tentang bagaimana mencetak regenerasi yang bukan hanya kuat fisiknya, tapi juga jernih visinya.

“Kita sudah pernah sampai Olimpiade,” kata Richard, menatap jauh ke arah arena. “Sekarang tugas kita memastikan ada yang sampai lagi ke sana, bukan sekadar ikut, tapi berjuang untuk podium. Itu warisan yang mesti diteruskan.”

Bambang menimpali dengan nada khas pelatih yang masih menyala:
“Sekarang fasilitas jauh lebih bagus, tapi tekad seperti dulu harus diajarkan ulang. Kalau dulu kami lapar karena keterbatasan, sekarang mereka harus lapar karena mimpi.”

Alfons mengangguk, suaranya tenang tapi tajam. “Taekwondo itu bukan soal menendang lebih keras, tapi tentang membentuk karakter. Kalau karakter kuat, prestasi akan ikut. Pembinaan harus mulai dari itu, dari hati.”

Hani Dian menambahkan dengan senyum lembut: “Saya percaya anak-anak sekarang punya bakat luar biasa. Tapi mereka perlu melihat teladan, bukan cuma di arena, tapi dalam cara kita hidup. Taekwondo itu etika sebelum teknik.” Yolandini, punya kekhawatiran sendiri.
“Perempuan di taekwondo sekarang jumlahnya banyak, tapi sering masih kurang percaya diri. Saya ingin mereka tahu, kita bisa berani, bisa keras, dan tetap jadi diri sendiri. Medali itu bukan tujuan akhir, tapi bukti bahwa kita pernah melawan rasa takut.”

Coki Tanjung yang lebih banyak diam akhirnya berbicara juga, suaranya rendah tapi mantap: “Taekwondo Indonesia butuh struktur yang lebih profesional. Regenerasi pelatih, wasit, dan manajemen harus berjalan bersamaan. Jangan cuma berharap dari satu-dua bintang, tapi bangun sistem yang menyalakan banyak bintang sekaligus.”

Sore menjelang malam. Dari Djarum Arena, cahaya matahari Kudus mulai pudar. Tapi tawa mereka masih bergema. Di sela nostalgia, terselip sesuatu yang lebih halus dari sekadar kenangan: rasa tanggung jawab.

Mereka mungkin tak lagi bertanding, tapi di setiap keputusan, di setiap atlet muda yang mereka bimbing, ada percikan dari masa muda mereka, masa ketika taekwondo bukan hanya olahraga, melainkan cara untuk hidup, bertahan, dan percaya bahwa tubuh manusia bisa menaklukkan batasnya sendiri.

Di akhir pertemuan, mereka saling berpamitan. Tak ada janji kapan akan berkumpul lagi. Tapi mungkin, seperti takdir yang membawa mereka ke Kudus hari itu, taekwondo akan selalu menemukan cara untuk mempertemukan kembali anak-anak lamanya.

Karena sejauh apa pun waktu berjalan, semangat juang di atas matras itu tak pernah benar-benar pergi.

Dan sore itu, di Kudus, mereka berkumpul tanpa rencana. Enam legenda, enam kenangan. Tak ada spanduk bertuliskan “Reuni”, tak ada mikrofon, hanya tawa kecil dan sisa cahaya matahari yang memantul di botol mineral dan sepiring sate ayam. Tapi entah mengapa, waktu seperti berhenti sebentar. Semua kisah itu, semua darah, peluh, dan kemenangan, terasa berputar lagi, seperti gema jauh yang kembali pulang ke dada mereka sendiri.

Barangkali, begitulah taekwondo: bukan hanya tentang menendang, tapi tentang bertahan di antara luka dan waktu.

Silakan kunjungi LUDUS Store untuk mendapatkan berbagai perlengkapan olahraga beladiri berkualitas dari sejumlah brand ternama.

Anda juga bisa mengunjungi media sosial dan market place LUDUS Store di Shopee (Ludus Store), Tokopedia (Ludus Store), TikTok (ludusstoreofficial), dan Instagram (@ludusstoreofficial).

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!