Delapan Tahun Menuju Gelar: Sean Winshand Jadi Grandmaster Kesembilan Indonesia, Eka Putra Wirya Sebut Doa Seorang Ibu
Ludus01

LUDUS - Teks dan waktu seakan diam di ruang pertandingan Hotel Mewangi, Bandung, Minggu (27/7/25) malam, ketika papan catur menjadi saksi kelahiran Grandmaster baru Indonesia. Setelah hampir delapan tahun mengukir jalan terjal di arena kompetitif, Sean Winshand Cuhendri, 28 tahun, akhirnya berdiri di puncak yang selama ini ia daki dengan tekad yang tak pernah padam. Dengan kemenangan gemilang di Nusantara Grandmaster Tournament 2025, Sean resmi menyandang gelar Grandmaster (GM), menjadikannya pecatur kesembilan Indonesia yang berhasil menggapai titel tertinggi dalam dunia catur.

Foto/Dokpri
Namun langkah pertama Sean menuju papan 64 kotak ini bukan dimulai dari ambisi akan gelar. Ia bermula dari tubuh kecil yang rentan. Sean Winshand Cuhendri tahu itu sejak usia tiga tahun. Ia bukan anak yang tumbuh dengan peluh di lapangan, karena tubuh kecilnya harus menjaga cairan yang menekan otaknya, hydrocephalus adalah kata yang terlalu besar untuk anak sekecil itu.
Tapi hidup, kadang, membisikkan pilihan lewat jalan sempit: catur menjadi ruang aman, menjadi jawaban dari kegelisahan tubuh, sekaligus pembuka jalan bagi pikirannya yang tak mau diam.
“Catur jadi cara aman agar saya tetap aktif,” kenang Sean.

Foto/Dokpri
Di usia enam tahun, ia mulai menekuninya dengan serius. Catur bukan hanya permainan, tapi cara untuk hidup. “Idola saya waktu itu Mikhail Tal,” ujarnya. “Dari Tal saya belajar bahwa keberanian bisa jadi kekuatan.” Maka tak heran bila gaya bermain Sean tajam, eksplosif, penuh risiko dan intuisi.
Di rumah yang sederhana, tak ada suara yang lebih sabar dari suara seorang ibu yang menahan cemas. Ibu Henny, ibu Sean, bukan tokoh besar, bukan pula pecatur ternama, hanyalah seorang karyawan swasta yang pernah berjualan lontong dan membuka toko kelontong agar dapur tetap mengepul dan mimpi anaknya tetap menyala. Ia bukan pendukung di tribun, tapi sosok yang diam-diam berdiri di setiap sudut turnamen, membawa tas, membawa harap, membawa doa. “Ibu yang selalu mengantar saya bertanding sejak kecil,” kata Sean pelan, seolah tak ingin merusak keheningan kenangan itu.
Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Tapi di mata sang ibu, ia adalah satu-satunya alasan untuk percaya bahwa kesetiaan pada harapan tak pernah sia-sia. Maka malam itu, ketika gelar Grandmaster akhirnya diraih, dunia boleh bersorak. Tapi barangkali hanya satu hati yang benar-benar pecah, bukan karena bangga semata, tapi karena tahu bahwa sebuah doa panjang akhirnya telah tiba di tujuannya.
.jpeg%3F2025-07-28T15%3A45%3A54.154Z&w=3840&q=100)
Foto/Dokpri
Dan takdir pun membalas doa itu dengan hasil yang sangat indah. Sean menuntaskan turnamen ini dengan gemilang. Ia mengumpulkan 8 poin dari sembilan babak, unggul satu poin dari Grandmaster Vietnam, Tuan Minh Tran (7 poin), serta mengungguli pecatur muda berbakat Indonesia, FM Satria Duta Cahaya (5,5 poin).
Turnamen ini bukan sekadar arena kompetisi. Nusantara Grandmaster Tournament 2025 memang digelar untuk satu tujuan: memenuhi syarat teknis pecatur yang tengah mengejar norma Grandmaster dari FIDE. Sepuluh pecatur dari tiga negara, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, ikut serta, lima di antaranya sudah bergelar GM. Format ini memenuhi semua syarat regulasi FIDE untuk validasi norma.
Sean sendiri sudah lama mengantongi tiga norma GM, dari JAPFA Chess Festival 2015, serta dua turnamen di Serbia dan Novisad pada 2017. Namun, gelar itu tak bisa disahkan karena satu syarat belum terpenuhi: elo rating minimal 2500.
Ia mulai bermimpi menyandang gelar master. Tapi waktu, seperti biasa, punya kehendaknya sendiri. Ia menempuh jalan panjang, dari JAPFA Chess Festival 2015, dua turnamen di Serbia dan Novisad 2017, tiga norma Grandmaster berhasil ia genggam. Tapi bukan gelar. Karena FIDE punya syarat yang sunyi tapi keras: elo rating 2500. Dan Sean belum sampai di sana.

Foto/Dokpri
Di turnamen ini, itulah yang ia tembus. Dari elo rating 2486, Sean menambah 23 poin hingga mencapai 2509, cukup untuk menyempurnakan mimpinya yang tertunda selama delapan tahun. “Tapi saya tidak berhenti bermimpi,” katanya pelan.
Meski sempat menyimpan mimpinya karena hidup berjalan ke arah lain, Sean tak benar-benar pergi dari catur. Ia menjadi pelatih dan pengajar di Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA), bahkan dipercaya mengelola SCUA Gading Serpong. “Saya dipertemukan dengan banyak orang baik yang tiada hentinya menyemangati dan mengingatkan kembali akan mimpi itu,” ujarnya. “Dari mereka, saya belajar bahwa harapan bisa hidup kembali asal kita mau membuka hati dan berjuang lagi.”

Foto/Dokpri
Ia percaya, kemenangan bukanlah akhir. “Kemenangan adalah hadiah dari konsistensi dan keberanian untuk tetap melangkah, bahkan saat tidak ada yang melihat. Itu bukan akhir dari perjuangan, tapi titik awal untuk tujuan yang lebih besar.”
Dan bukan hanya Sean yang membawa pulang kabar baik. FM Satria Duta Cahaya, yang finis ketiga dengan 5,5 poin, juga meraih norma Internasional Master (IM) dalam turnamen ini. Dua prestasi gemilang dari satu turnamen, dua jalan panjang yang akhirnya sampai di titik terang.
Nama Sean kini menambah satu lagi dalam garis sejarah panjang Grandmaster Indonesia. Sebuah jalur yang bermula pada 1978 saat Herman Suradiradja (alm.) menjadi GM pertama Indonesia. Disusul GM Ardiansyah (alm.) dan GM Utut Adianto pada 1986, GM Edhi Handoko (alm.) pada 1994, dan GM Ruben Gunawan (alm.) pada 1997. Kemudian giliran GM Cerdas Barus (2002), GM Susanto Megaranto (2004), dan GM Novendra Priasmoro (2020). Sementara dari jalur perempuan, Indonesia juga memiliki tiga Woman Grandmaster (WGM): Irene Kharisma Sukandar (2008), Medina Warda Aulia (2013), dan Dewi Ardhianni Anastasia Citra (2022).

Foto/Dokpri
Dan Dewi Ardhianni Anastasia Citra, bukan hanya rekan seperjalanan di atas papan catur, bukan sekadar sesama pemegang gelar Woman Grandmaster, adalah istri Sean. Mereka tak hanya berbagi rumah dan waktu, tapi juga mimpi yang sama: menjadi pasangan Grandmaster pertama di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Maka ketika gelar itu akhirnya diraih, Citra tak bersorak, tak berkata panjang. Hanya mata yang pelan-pelan berkaca, menahan gemuruh yang tak bisa dijelaskan. “Saya merasa sangat bahagia dan terharu,” ucapnya. Sebab ia tahu, gelar itu bukan sekadar pencapaian, tapi perwujudan dari cinta yang tak hanya saling mendukung, tapi juga saling menunggu.
Satu gelar disusul gelar lainnya. Tapi di balik gelar, ada cinta yang tumbuh di antara papan-papan catur. Pasangan ini bukan hanya mitra hidup, tapi mitra dalam impian dan perjuangan panjang.

Dewan Pembina PB Percasi Eka Putra Wirya ketika memberikan piala kemenangan kepada Sean Winshand. Foto/Percasi
Eka Putra Wirya, anggota Dewan Pembina PB Percasi, menyebut gelar Sean ini sebagai "doa seorang ibu". Eka Putra Wirya, pemilik Sekolah Catur Utut Adianto, tahu persis kisah perjalanan prestasi Sean. “Ibunya Sean dari kecil selalu mengantar dia bertanding. Dia sangat berharap Sean meraih gelar GM,” ujarnya. “Tentu, meraih GM dalam 10 tahun itu bukan pekerjaan mudah. Kalau tidak ada tekad yang kuat, sulit untuk bangkit lagi. Sean bagus sekali. Apalagi sekarang dia jadi pengajar di SCUA, jadi perlu usaha lebih untuk kembali ke arena tanding. Sifatnya sangat baik dan bisa dipercaya.”
"Sifatnya sangat baik dan sangat bisa dipercaya, makanya Sean bersama istrinya, saya percayakan untuk mengelola SCUA di Gading Serpong."
Kini, Sean duduk di depan papan catur bukan lagi sebagai penantang mimpi, tapi sebagai Grandmaster. Tapi tak ada euforia berlebihan darinya. Hanya ketenangan yang matang. “Kalau sudah duduk di meja, saya berhenti memikirkan siapa lawannya. Fokus saya hanya pada posisi dan bagaimana saya bisa bermain sebaik mungkin,” ujarnya.
Ketika gagal pun, ia tak menyerah. “Gagal itu menyakitkan, tapi juga guru yang paling jujur. Yang penting bukan menghindari kegagalan, tapi bagaimana kita meresponsnya.”

Foto/Dokpri
Dari sakit masa kecil, mimpi yang tertunda, hingga peluh di meja-meja turnamen, Sean Winshand Cuhendri menapaki perjalanan yang tak ringan. Tapi justru dari situ, ia menemukan makna perjuangan. “Perjuangan itu tentang terus bergerak maju meski dalam keadaan lelah. Tentang bertahan, saat semuanya terasa berat. Dan tentang keyakinan bahwa setiap langkah kecil tetap berarti.”
Kini, ia punya satu mimpi yang lebih besar. “Selain menjadi Grandmaster, saya ingin menjadi manusia yang berguna. Saya ingin keberadaan saya bisa membawa manfaat lewat catur, lewat ilmu, atau bahkan lewat hal kecil yang bisa berarti besar untuk orang lain.”
Karena bagi Sean, seperti juga catur yang ia cintai sejak kecil, hidup selalu tentang satu hal: bergerak tanpa kehilangan arah.

Foto/Percasi
Friedrich Nietzsche pernah menulis bahwa, “He who has a why to live for can bear almost any how.” Mungkin Sean tak menyadari akan kutipan itu, tapi ia menjalaninya. Ia hidup karena punya alasan: ingin menjadi Grandmaster. Tapi lebih dari itu, ia ingin menjadi manusia yang berguna.
“Sukses,” katanya, “adalah ketika kamu bisa terus bertumbuh, tanpa melupakan siapa dirimu. Ketika kamu bisa membagikan semangat dan dampak positif, bukan hanya untuk dirimu sendiri tapi juga untuk orang-orang di sekitarmu.”

Foto/Dokpri
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang lebih dulu menang. Tapi siapa yang paling sabar menunggu musim mekar. Dan siapa yang berani terus bermain, bahkan saat tak ada yang menonton.
Sean memilih untuk terus bermain. Dan kali ini, seluruh dunia mencatat langkahnya.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!